
Petugas Lapas mengawasi siswa yang sedang mengerjakan soal Ujian Nasional di Lapas Anak Tangerang, Banten, Senin (5/5). Mata pelajaran yang diuji adalah Bahasa Indonesia. Ujian berlangsung dengan tertib dengan pengawasan petugas dari Dirjen Pendidikan Nasional. Didit Majalolo
Sekolah Dasar (SD) Istimewa Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria (LPAP) Tangerang yang berlokasi di Jl Daan Mogot No 29 C Kalideres, Jakarta Barat, terlihat biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa di lembaga pendidikan yang membina 48 siswa "bermasalah" itu.
Tetapi SD Istimewa itu terbilang sangat istimewa. Tidak ada kelas I, II, dan III di sana. Yang ada hanya kelas IV, V, dan VI. "Di sini tidak ada kelas I, II, dan III karena rata-rata anak didiknya putus sekolah. Mungkin itu istimewanya," kata guru Kelas V, Nunik Royani.
Anak-anak itu dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelas IV sebanyak 10 siswa, kelas V sebanyak 13 siswa, dan kelas VI sebanyak 30 siswa. Penempatan anak pun, kata Nunik, ditentukan bukan saja oleh lamanya masa pidana, melainkan juga pendidikan terakhir mereka sebelum masuk LP.
Mendidik anak-anak LP ini susah-susah gampang. Agus Nurhasan, guru Kelas VI mengungkapkan, kemampuan IQ tiap anak didik berbeda. Ada yang cepat sekali menangkap materi pelajaran, tetapi ada pula yang sangat lamban. Rata-rata penyerapan materi pelajaran mereka berkisar antara 60 hingga 75 persen. Itu artinya dibutuhkan seorang guru yang sabar dan ulet.
"Anak-anak dengan kasus narkoba sering lambat dalam mencerna pelajaran. Jika duduk selama setengah jam saja, pantat mereka panas dan ingin tidur," tutur Agus yang telah mengajar di SD Istimewa selama 18 tahun. Waktu belajar dimulai pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 11.30 WIB. "Itu waktu belajar yang maksimal. Jika lebih dari itu, anak-anak didik mulai gelisah. Bahkan ada yang tidur," katanya.
Sebagai guru, kata Agus, tugas membimbing dan mendidik anak-anak itu hanya sampai pukul 14.00 WIB, dan selebihnya di bawah kontrol petugas jaga. Para guru yang mengajar di sekolah istimewa itu mengaku mendidik anak-anak itu dengan sabar dan tidak lagi menggunakan metode batu-kayu seperti zaman Belanda dulu. Pasalnya, segala perilaku guru saat belajar-mengajar, dikontrol oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM. Jika sebelumnya para guru bisa mencubit siswa yang nakal, kini harus lebih lembut dan sopan. Hal itu didukung pula oleh visi Kepala LPAP, Haru Tamtomo, yang ingin menjadikan LPAP sebagai LP ramah anak. "Pengalaman saya selama mengajar di sini, ada anak didik yang izin ke WC, ternyata di sana ia merokok. Ada juga yang adu mulut di kelas karena bermasalah di blok," tandas Agus.
Awal kariernya di LPAP, Agus ditugaskan mengurus administrasi. Seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan guru yang mendesak, ia ditugaskan mengajar di SD. Semula ia ragu akan kemampuannya. Tetapi lama-kelamaan, Agus mengaku sangat menikmati profesinya itu. Dari delapan guru di LP, hanya dua yang berlatar pendidikan S1 keguruan, tetapi statusnya honorer. Sedangkan yang lain berlatar pendidikan SMA, SMK, dan SMEA. "Dua guru honorer itu adalah individu yang ingin berbakti kepada anak didik dan mengaplikasikan ilmu keguruan yang dipelajari," kata Agus.
Selain masalah dari anak didik, faktor lain yang menjadi tantangan tersendiri dalam mendidik anak di LP adalah ketiadaan buku pelajaran. Anak-anak tersebut mengandalkan sumbangan buku dari departemen atau instansi lain. Demikian pula dengan alat tulis kantor, seragam, dan sepatu. "Buku pelajaran saja sangat kurang, sehingga satu buku dipegang oleh dua hingga tiga anak didik," keluh Agus yang mengaku bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp 1 juta untuk pengadaan buku pelajaran diberikan satu tahun sekali.
Ikut UASBN
Perihal nama SD Istimewa, Kepala SD Istimewa, Subiasri Wardani mengatakan, nama itu sendiri sudah sangat istimewa, yang artinya walau seorang anak dihukum di balik penjara dengan segala keterbatasan kapasitas dan sebagainya, tetapi mereka memiliki kelebihan, yaitu selalu lulus UASBN. Prestasi itu bukan tanpa alasan. Subiasri mengaku mendidik anak-anak itu dari yang belum bisa membaca hingga mampu membaca dengan lancar.
Berkaitan dengan hal itu, pada pelaksanaan UASBN yang diadakan pada 13-15 Mei, para guru di sana berupaya membuka akses dan mendidik anak-anak itu supaya dapat mengikuti UASBN dan lulus. Kali ini, terdapat 25 dari 30 anak didik yang pada Desember 2007 didaftarkan mengikuti UASBN. Lima orang yang telah didaftarkan bebas sebelum UASBN digelar. Mereka berencana datang saat UASBN, namun hingga waktunya UASBN, batang hidung mereka tak tampak
Apa kiat sukses para guru di sana sehingga anak-anak jebolan LPAP selalu lulus memuaskan saat ujian akhir? Subiasri mengatakan, selama tiga minggu sebelum ujian dimulai, mereka menggodok anak-anak itu untuk lebih memahami lagi persoalan di bidang bahasa Indonesia, matematika, dan IPA. Berbagai metode bimbingan belajar diberikan, termasuk tray out. "Saat try out antusias anak besar. Mereka berlomba-lomba mendapatkan nilai baik. Tetapi karena daya pikir mereka terbatas, nilai try out masih di bawah rata-rata atau standar," ungkap Agus.
Budi (bukan nama sebenarnya, Red), siswa SD Istimewa, menyatakan, setiap Rabu mereka mendapatkan bimbingan belajar matematika, dan Kamis diadakan bahasa Inggris. Masing-masing diadakan selama tiga jam, mulai pukul 14.00 hingga 17.00. "Relawan PKBI yang memberikan bimbingan belajar," tutur Budi.
Subiasri berharap seluruh anak didik yang mengikuti UASBN kali ini bisa lulus. Sebagaimana halnya pada tahun 2007, ada 30 anak didik yang mengikuti ujian nasional SD dan seluruhnya lulus. Sama halnya pada 1966 hingga 2007 semua anak didik yang mengikuti ujian nasional SD lulus.
Harapan Subiasri tak berbeda dengan Rafni, guru SD Semanan 12 Pagi yang menjadi pengawas UASBN. Ia berharap, semua anak didik yang mengikuti UASBN lulus sehingga memperoleh ijazah entah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau melamar pekerjaan. "Jangan sampai mereka terlunta-lunta. Mudah-mudahan setelah memperoleh ijazah mereka keluar dan menjadi orang baik," katanya.
Guru yang telah mengajar selama 31 tahun itu menceritakan, semula ia membayangkan anak didik di LP sama dengan anak jalanan. Selain itu, ia membayangkan mereka yang bebas dari LP perilakunya semakin buruk. Bayangan itu salah dan terbantahkan setelah melihat anak-anak itu sangat tertib dan sopan seperti siswa di sekolah lainnya. Bahkan sebelum memulai ujian tak lupa mereka berdoa.
"Apa yang saya bayangkan tidak benar. Tidak ada kesan mereka badung. Pendidikan di sini bagus sehingga mereka tertib. Bukti-buktinya saya lihat sendiri seperti keterampilan komputer dan batik. Saya berharap, dengan cara itu mereka sadar sebab sudah ada bekal untuk mereka," papar Rafni yang untuk pertama kalinya menjadi pengawas UASBN di SD Istimewa.
Rafni mengaku memiliki pengalaman berhadapan dengan siswa yang terancam putus sekolah akibat tak memiliki biaya. Peristiwa yang terjadi 10 tahun lalu masih diingatnya. Saat itu, siswa yang diajarnya, seorang anak yatim kelas VI SD tidak mampu membayar biaya pendidikan. Rafni mengatakan kepada anak itu untuk membicarakan permasalahannya dengan kepala sekolah. Setelah bertemu kepala sekolah, ia memperoleh ijazah. Kini dengan ijazah yang dimilikinya, anak itu bekerja sebagai tukang kebun hingga pekerja di catering maskapai penerbangan. Pada malam harinya ia melanjutkan pendidikan SMP dan kemudian ke SMA.
"Ia mencari saya dan mengucapkan terima kasih. Katanya, jika saya tidak membantunya, ia tidak bisa memperoleh ijazah dan tidak mungkin menjadi seperti sekarang. Saya bangga kepadanya," ujar Rafni dengan mata berkaca-kaca.
Memasukkan seorang anak ke LP merupakan pilihan terakhir. Tetapi perlu diingat bahwa pidana penjara sebisa mungkin dihindari dibebankan kepada anak-anak. Dikhawatirkan stigma sebagai mantan penghuni LP menghambat perjalanan hidup mereka kelak. [IGK/L-8]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar