27 Mei 2008

Kenaikan BBM Jangan Buramkan Wajah Pendidikan

Ahmad (39) memandang awan yang menggumpal hitam di langit Kota Gorontalo. "Sebentar lagi hujan," tutur Ahmad, kepada SP, Jumat (23/5) malam. Tak lama, hujan deras pun mengguyur wilayah itu. Pengemudi becak motor (bentor) yang biasa mangkal di Jalan Agus Salim, Gorontalo, itu mengatakan, kenaikan harga BBM membuat kondisi finansial keluarganya morat-marit.

Bagaimana tidak? Kenaikan harga BBM sangat jelas berimbas kepada semua harga kebutuhan sehari-hari. "Dapat Rp 25 ribu sehari saja sudah bersyukur untuk menghidupi keluarga sehari-hari. Untuk ongkos dan jajan sehari sekitar Rp 3.000," ucap Ahmad yang memiliki dua anak. Anak pertama masih duduk di bangku SD, anak kedua belum sekolah.

Ditanyakan bantuan operasional sekolah (BOS), dia mengaku tahu program itu. Namun, dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok dan transportasi tentu BOS tidak mencukupi.

Keluhan serupa diungkapkan pengemudi bentor lainnya, Zakir (36). Dia mengatakan, penghasilannya tidak cukup untuk membiayai sekolah anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD dengan hanya mengandalkan pekerjaan pengemudi bentor. "Bensin sekarang jadi Rp 6.000 per liter. Waduh, berat. Kalau tidak percaya, tanya saja pengemudi bentor yang lain," ujarnya.

Kenaikan harga BBM yang disusul melonjaknya harga kebutuhan hidup dan biaya transportasi semakin dirasakan oleh keluarga miskin. Keberlanjutan sekolah anak-anak dari keluarga tidak mampu itu terancam karena orangtua mereka tidak sanggup menyediakan biaya transportasi dan membayar kewajiban lainnya.

Informasi yang diperoleh SP dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan, jumlah anak putus sekolah pada 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Data itu dihimpun dari kantor Komnas PA di 33 provinsi. Dibandingkan 2006, jumlahnya sekitar 9,7 juta anak. Berarti, ada kenaikan 20 persen pada 2007 sehingga menjadi 11,7 juta anak.

Kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun 2007 terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 persen. Adapun di tingkat SD tercatat 23 persen. Sedangkan persentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 persen. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 persen. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun 2007 tak kurang dari 8 juta orang.

Selain itu, pada 2007 ada 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Komnas PA memprediksikan, kenaikan harga BBM akan menambah angka putus sekolah mencapai 15 juta. Ironis!

Mimpi Anak Indonesia

Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, saat dihubungi SP, Sabtu (24/5), menuturkan, kenaikan harga BBM yang diiringi dengan lonjakan harga kebutuhan pokok jelas membuat mimpi anak-anak yang termarjinalkan menjadi kian buram.

"Pendidikan tidak menjadi prioritas karena persentase pemotongan anggaran sama dengan departemen lainnya," ujarnya. Pemotongan anggaran tersebut juga membuat anggaran pendidikan turun drastis, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2007.

Anggaran Departemen Pendidikan Nasional sebagai departemen pengemban tugas utama di bidang pendidikan dalam pemerintahan, hanya sebesar Rp 45,9 triliun tahun lalu dan itupun belum mencapai 20 persen sesuai amanat konstitusi. Sedangkan, setelah APBN-P tahun 2008 yang disahkan hari ini, anggaran Departemen Pendidikan Nasional dari Rp 49,7 triliun terpotong hingga tersisa Rp 44,7 triliun.

"Ini jelas semakin menjauhi amanah konstitusi. Persoalan kian runyam ditambah dengan kenaikan harga BBM," ujarnya.

Anggaran fungsi pendidikan tanpa gaji guru dan di luar pendidikan kedinasan persentasenya 11,8 persen tahun 2007. Sedangkan, dengan penghitungan yang sama, anggaran pendidikan hanya 9,6 persen setelah APBN-P tahun ini. Anggaran fungsi pendidikan dengan mengikutsertakan gaji pendidik setelah pemotongan anggaran tersebut menjadi 15,6 persen.

"Dengan demikian, sudah dipastikan angka putus sekolah akan meningkat. Program BOS dan Wajar Dikdas pun akan gagal," katanya.

Namun, pemerintah berdalih naiknya harga BBM bukan hal yang diinginkan pemerintah. "Kenaikan harga BBM dan bencana itu sama saja," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di sela-sela Rapat Koordinasi Pendidikan, di Gorontalo, Jumat malam.

Dia mengatakan, kenaikan harga BBM memang berpengaruh terhadap kemungkinan bertambahnya jumlah siswa putus sekolah. "Tapi, kita harus tetap optimistis itu akan bisa diatasi dengan sejumlah bantuan yang selama ini sudah digulirkan pemerintah," katanya.

Dia menambahkan, siswa setara SD yang putus sekolah bisa dijaring dengan program paket A. Sementara, usia SMP bisa dijaring dengan program paket B. Mendiknas mengemukakan, selain BOS, pemerintah juga menggulirkan bantuan berupa beasiswa, BLT, BOS buku, dan bantuan penunjang sarana dan prasarana pendidikan.

Dia melanjutkan, pada tahun 2005, lonjakan harga BBM mencapai 100 persen dan persoalan itu bisa diselesaikan dalam dua semester, yakni dengan BOS dan BOS buku. "Sekarang lonjakan harga BBM hanya 28,7 persen. Persoalan yang lebih berat saja bisa kita atasi bersama. Kenaikan itu kan tidak sampai sepertiganya. Sampai kini, BOS sudah membebaskan biaya 70,3 persen siswa SD dan SMP dari pungutan yang membebani," ucapnya. Mendiknas pun berjanji akan segera memperbarui data BOS.

Tambah Bantuan

"Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya-biaya personal yang melekat pada setiap pelajar seperti ongkos angkutan, kebutuhan buku dan lainnya menjadi ikut membengkak," tutur Bambang Sudibyo di sela-sela sepeda sehat dalam rangka seabad Kebangkitan Nasional, di Jakarta, Minggu (25/5).

Karena itu, katanya, selain BOS, biaya operasional pendidikan (BOP) dan bantuan reguler lainnya, Depdiknas akan menambah kucuran bantuan dana melalui beasiswa pelajar miskin. Nilainya untuk siswa SD Rp 360.000 per bulan dan SMP/SMA Rp 480.000 per bulan.

"Jadi BOS, BOP dan dana-dana bantuan reguler lainnya akan tetap dilanjutkan. Di sisi lain, Depdiknas akan mengucurkan bantuan beasiswa besar-besaran bagi pelajar yang kurang mampu," ujarnya.

Dari 50 juta pelajar yang tercatat saat ini, kata Bambang, jumlah yang akan terkena dampak langsung dari kenaikan harga BBM sekitar 17 persen (atau 8,5 juta). Jumlah tersebut di luar siswa miskin yang selama ini sudah tercatat dan mendapatkan bantuan beasiswa.

Pendidikan sebagai pilar pencerdasan (soko guru) bangsa, mengisi kemerdekaan, hanya akan menjadi mata pelajaran dan materi wajib yang tidak terimplementasikan dengan baik. Pendidikan yang diimpikan oleh sebagian besar anak-anak di level marjinal untuk dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga hanya dapat menjadi penghibur dan mimpi di siang bolong.

Lonjakan harga-harga kebutuhan hidup seiring naiknya harga BBM jangan sampai memburamkan mimpi indah anak-anak untuk mengenyam pendidikan. Akibat kenaikan harga BBM, sekitar 8,5 juta pelajar Indonesia terancam putus sekolah. Mereka terdiri atas siswa SD, SMP, SMA dan mahasiswa. [SP/Willy Masaharu]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/26/index.html

Tidak ada komentar: