22 Maret 2008

Mereformasi SPMB

Oleh: Darmaningtyas
Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta


Media Indonesia, 18 Maret 2008
Kisruh tentang sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB) merupakan cermin dari kegagalan reformasi pendidikan nasional, terutama pendidikan tinggi. Sebab pemberian otonomi kepada Pendidikan Tinggi untuk melaksanakan seleksi penerimaan mahasiswa baru ternyata tidak disertai dengan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Uang dari para calon mahasiswa yang mendaftar yang seharusnya masuk ke kas negara sebagai pendapatan bukan pajak, ternyata tidak disetorkan ke negara. Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah rektor PTN memilih keluar dari SPMB karena tidak ingin kena getahnya dengan dipanggil KPK atau kejaksaan.

Alasan keluar yang seperti itu bukan emosional, tapi rasional dan sehat. Sebab mereka bertaruh nama baik. Bila suatu ketika dipanggil KPK atau kejaksaan dengan tuduhan penggelapan pajak, sedangkan mereka tidak turut menikmati uangnya, nama dan kredibilitas mereka tercemar dan hancur. Jadi patutlah diapresiasi sikap mereka keluar dari SPMB itu bukan langsung dicap sebagai emosional.

Kita harus bersyukur pula karena berkat mereka keluar dari SPMB itu kisruh yang membelit pada SPMB dapat terungkap ke permukaan. Tanpa ada manuver politik mereka, masalah besar itu tidak akan pernah terungkap ke publik, karena selama ini masyarakat tahunya adalah SPMB itu dilaksanakan Departemen Pendidikan Nasional di bawah koordinasi Dirjen Pendidikan Tinggi dan dilaksanakan di setiap PTN. Departemen Pendidikan Nasional memang tidak pernah mengumumkan kepada publik bahwa SPMB itu dikelola swasta. Pertanyaannya bagi saya adalah mengapa masalah besar itu baru terungkap sekarang, padahal SPMB sudah berlangsung sejak 2002?

Ironis

Bagi saya sebagai orang awam, kasus SPMB ini suatu ironi dalam demokrasi. Sebab pengelola SPMB adalah rektor dan atau mantan rektor, yang dalam asumsi atau logika orang awam, mereka itu melek hukum, melek pajak, melek politik, dan melek segala persoalan. Dasar tindakan mereka pertama-tama mestinya adalah etika atau asas kepatutan. Apalagi di dalam kehidupan sehari-hari, di antara mereka juga bersikap kritis terhadap birokrasi pemerintah yang bobrok dan korup. Tapi mengapa mereka sendiri terjebak dalam tindakan yang melanggar asas kepatutan? Mereka jelas sangat paham terhadap persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran, paham terhadap implikasi yuridis dari suatu tindakan, paham mengenai apa yang disebut pendapatan bukan pajak dan pajak, paham bahwa demokrasi harus disertai dengan otonomi, dan sejenisnya. Tapi kepahaman mereka itu ternyata tidak mereka aplikasikan dalam tindakan konkret. Sebaliknya, apa yang mereka lakukan justru di luar hal-hal yang mereka pahami itu. Inilah ironisnya.

Kesalahan Departemen Pendidikan Nasional adalah selain melepas urusan publik itu ke swasta, juga tidak melakukan kontrol secara ketat, sehingga terlambat mengetahui masalahnya. Apa sebetulnya yang dilakukan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional selama lima tahun lebih ketika SPMB itu diterapkan? Sebab tugas menyeleksi penerimaan mahasiswa baru mereka lemparkan kepada sebuah perkumpulan para rektor dan atau mantan rektor, tapi tugas kontrol juga tidak mereka lakukan sama sekali.

Perlu ketegasan Dirjen Dikti

Proses seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN sebetulnya sama dengan proses penerimaan murid baru di SLTP dan SMTA. Yang membedakannya adalah sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN lebih terbuka dan fleksibel sehingga orang dari mana pun dapat memilih PTN yang dikehendaki tanpa dibatasi ruang, sehingga secara ekonomis sebetulnya lebih efisien. Berbeda misalnya dengan sistem penerimaan murid baru di SLTP dan SMTA yang dibatasi ruang dengan sistem rayonisasi. Tapi dasar penerimaan mahasiswa baru di PTN adalah standar nilai saja. Mendaftar di Papua untuk PTN di Jakarta, tidak ada masalah asalkan nilai tesnya mencukupi.

Bagi masyarakat awam, sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN itu sebetulnya dari tahun ke tahun hampir sama saja: dari soal persyaratan pendaftaran, proses seleksi (tes), sampai model pengumuman. Semua tersentral, sehingga ketika seseorang yang ada di Kalimantan ingin mengetahui apakah dirinya diterima di UGM atau tidak, untuk mengetahuinya tidak harus datang ke Yogyakarta, tapi cukup melihat lembar pengumuman yang disebar melalui koran-koran lokal secara nasional. Oleh karena itu, proses seleksi dan model pengumuman SPMB itu sama dengan proses seleksi dan model pengumuman pada saat ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) dan sistem penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru), masyarakat beranggapan bahwa antara sipenmaru, UPMTN, dan SPBM itu sama saja, yang berbeda hanya namanya saja.

Yang sedikit membedakan dengan sipenmaru dan UMPTN adalah SPMB tidak lagi merupakan instrumen tunggal untuk seleksi ujian masuk, terutama bagi beberapa PT ber-BHMN (badan hukum milik negeri) alias PTN yang diprivatisasi, karena mereka menyelenggarakan tes masuk model lain secara mandiri yang mereka kenal dengan sebutan UM (ujian masuk). Kuota mahasiswa yang disaring melalui SPMB di beberapa PTN yang diprivatisasi itu maksimal hanya 20% saja dari total jumlah mahasiswa baru yang mereka terima setiap tahunnya. UGM, misalnya, pada 2008 itu hanya 18% saja calon mahasiswa yang diterima melalui SPMB. Jadi bagi PTN-PTN ber-BHMN, SPMB sebetulnya tidak berdampak secara signifikan terhadap proses penerimaan mahasiswa baru di kampus mereka. Bertahannya mereka di sana sekedar untuk menjaga kerukunan antar-PTN saja agar tidak dikucilkan sebagai PTN yang arogan

Tapi bagi PTN-PTN pada umumnya, SPMB memang dijadikan instrumen utama untuk merekrut calon-calon mahasiswa baru dengan standar kualifikasi yang bersifat nasional. Sehingga bagi mereka, keberadaan sistem seperti SPMB menjadi sangat penting. Tapi karena tidak ingin terjerat hukum, mereka memilih keluar dari Perhimpunan SPMB dan memilih kembali ke UMPTN.

Menurut hemat saya, tidak ada salahnya, bahkan menjadi kewajiban, bila Dirjen Pendidikan Tinggi mengambil langkah tegas dengan menarik kembali seleksi masuk ke PTN itu dalam kendalinya secara langsung, mengingat ini menyangkut urusan publik. Jangan sampai bahwa proses seleksi yang sudah terbukti akurat dan efisien selama lebih dari 25 tahun itu hancur hanya karena Dirjen Pendidikan Tinggi gengsi untuk menarik kembali masalah tersebut dalam kendalinya. Akuilah bahwa ternyata otonomi pendidikan tinggi dengan swastanisasi SPMB gagal dan demi menjaga kredibilitas seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN, otonomi tersebut dicabut kembali.

Langkah tegas Dirjen Pendidikan Tinggi itu harus dilakukan cepat mengingat masa penerimaan mahasiswa baru tinggal sebentar lagi dan masyarakat tidak boleh disuguhi informasi yang membingungkan. Menurut saya, Dirjen Pendidikan Tinggi tidak boleh mendua, yaitu membiarkan Perkumpulan SPMB tetap eksis sambil membentuk panitia seleksi baru. Sikapnya harus jelas dan tegas: bubarkan Perhimpunan SPMB itu dan cabut haknya melakukan seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN dan BHMN, karena hak itu diambil alih lagi oleh pemerintah. Sikap mendua sama saja menoleransi kesalahan yang dilakukan para cerdik pandai. Bahwa pilihannya mau tetap memakai nama SPMB atau UPMTN, itu adalah soal nama saja, tapi substansi penerimaan mahasiswa baru di PTN harus ditangani pemerintah secara langsung, jangan diprivatisasi, demi menjamin hak-hak warga dan penyelamatan uang publik untuk publik. Bukan uang publik untuk perorangan atau kelompok. Dan harus diingatkan pula bahwa proses seleksi mahasiswa melalui SPMB bukan hak cipta Perhimpunan SPMB, tapi proses itu merupakan penyempurnaan dari model skalu (sistem kerja sama antarlima universitas), proyek perintis, sipenmaru, dan UMPTN. Pemerintah tinggal memilih sistem mana yang akan disempurnakan.

Tidak ada komentar: