07 Februari 2009

"Habitus" Bertanya (Opini P ARI SUBAGYO)

Bertanya dan teruslah bertanya, tentang apa pun di sekelilingmu, juga tentang dirimu!" Itulah petuah YB Mangunwijaya (Romo Mangun)—10 Februari 2009 nanti genap 10 tahun meninggal—kepada siswa-siswi SD Mangunan, Sleman, Yogyakarta. Pelajaran unik pun dijalankan di SD eksperimen itu selain seni musik, yakni pelajaran bertanya.

Para siswa boleh bertanya tentang apa pun. Mereka dilatih berpikir dengan menyusun pertanyaan yang cerdas-esensial dalam suasana nalar dan budi polos-merdeka. Melalui berbagai pertanyaan yang dirumuskan sendiri, mereka diajak berimajinasi, melintasi aneka pengalaman individual, lalu bersama-sama menemukan rahasia alam dan kehidupan.

Romo Mangun (1929-1999) meninggalkan karya-karya monumental di bidang sastra dan arsitektur. Namun, warisan lain yang tidak boleh dilupakan: habitus bertanya. Apakah daya kalimat tanya? Sedemikian pentingkah habitus bertanya?

Daya komunikasi

Secara sintaktis, kalimat tanya (interogatif) memiliki struktur dan intonasi yang membedakannya dari kalimat berita (deklaratif) dan kalimat perintah (imperatif). Namun, secara pragmatis—dalam komunikasi empiris—kalimat tanya memiliki daya komunikasi yang mengantar mengemban sejumlah fungsi.

Pertama, kalimat tanya memantik komunikasi. Bermula dari sebuah pertanyaan, terjadilah komunikasi verbal, panjang atau pendek, lisan maupun tulisan, serius atau santai, ringan maupun berbobot. Di atas fondasi komunikasi, dapat dibangun budaya dialog yang—syukur-syukur—terbuka dan tulus. Komunikasi dan dialog amat diperlukan mulai dari ranah antar-individu, keluarga, korporasi, negara, hingga "kampung" global-mondial.

Kedua, kalimat tanya memuat empati. Ada perhatian dan kepedulian penanya yang bermuara pada terciptanya relasi. Di dalamnya termasuk basa-basi yang oleh Malinowski dicakup konsep komunikasi fatis (phatic communion). Komunikasi fatis adalah penggunaan bahasa yang tidak berorientasi pada isi pembicaraan, tetapi demi mewujudkan relasi sosial. Jika diracik sesuai takaran, basa-basi merupakan bumbu harmoni sosial.

Ketiga, kalimat tanya etis dan estetis. Meski bermodus interogatif, kalimat tanya berkekuatan imperatif. Perintah dapat dikemukakan dengan kalimat tanya. Ucapan guru "Siapa yang piket mengambil kapur?" adalah perintah, bukan pertanyaan. Dibandingkan kalimat perintah "Ambilkan kapur!", kalimat tanya terasa lebih etis dan estetis. Menurut Deborah Tannen (That's Not What I Meant!, 1986), tuturan tidak langsung (indirect speech) semacam itu memang kurang lugas, tetapi sopan, solider, dan berselera seni ketimbang tuturan langsung (direct speech) yang terasa menonjolkan kekuasaan.

Daya nalar

Lebih dari sekadar berdaya komunikasi, kalimat tanya juga memiliki daya nalar. Naluri bertanya merupakan kekhasan manusia sebagai makhluk berpikir. Aktivitas berpikir secara inisial dan orisinal berwujud pertanyaan. Dengan bertanya, manusia berpikir. Pernyataan Rene Descartes "Aku berpikir maka aku ada" (Cogito ergo sum) merupakan ungkapan senada dari "Aku bertanya maka aku ada". Dengan bertanya, manusia meng-ada.

Habitus bertanya sudah mentradisi jauh sebelum masa Descartes (1596-1650). Plato, Socrates, Aristoteles, dan para filsuf awal telah menggumuli berbagai pertanyaan ontologis, fenomenologis, epistemologis, hingga aksiologis sejak lebih dari 2.000 tahun lalu. Berkat pertanyaan-pertanyaan nakal-eksistensialnya, ilmu pengetahuan berkembang dan peradaban umat manusia tinggi menjulang.

Berbeda dengan daya komunikasi yang perlu diungkapkan, daya nalar kalimat tanya dapat hidup subur dalam ke-diam-an manusia. Diam bukan berarti tidak berpikir. Mulut terkunci, tetapi pikiran terus bergerak. Sekadar contoh, rakyat Indonesia semasa Orde Baru dikenal sebagai "masyarakat diam" (silent community)—atau disebut Arief Budiman sebagai "masyarakat ketakutan". Demi menyelamatkan diri dari represi negara yang otoriter, rakyat memilih diam. Diam adalah emas. Prinsipnya: ABS "asli" (asal bapak senang). Namun, sejatinya nalar tetap menjalar, hasrat berpikir terus bergulir, meski harus dibatin. Dalam keadaan "normal", habitus membatin seyogianya dipupus, sebab menyuburkan kemunafikan kolektif dan otoritarianisme. Jadi, diam agaknya tidak selalu emas.

Daya refleksi

Menurut Montigue, La plus grande chose du monde c'est de scavoir être â say. Masalah paling sulit dalam hidup ialah mengenal diri sendiri. Karena itu, berani bertanya tentang diri menunjukkan kearifan manusia. Dalam olah spiritual, lazimnya kita dipandu pertanyaan sederhana "Siapakah aku?", "Apa kekuatanku?", "Apa kelemahanku?", "Apa kesempatanku?", "Apa saja ancaman yang siap melumatku?". Akhirnya, "Aku di mana dan akan menuju ke mana (visi hidup)?"

Lagi-lagi, kalimat tanya memperlihatkan dayanya, yakni daya refleksi. Refleksi menyehatkan jiwa—lalu raga—manusia. Dalam ranah sosial-politik dan kehidupan bersama, refleksi diri secara kolektif pun perlu dilakukan demi menjaga kesehatan jiwa raga kolektif masyarakat.

Situasi Indonesia mutakhir seharusnya menginkubasi kalimat-kalimat tanya reflektif-kolektif mulai dari "Apakah aku menaruh sampah di tempatnya?", "Apakah aku membayar pajak sesuai aturan?", "Apakah aku menghemat listrik dan BBM?", "Apakah aku berlalu lintas dengan tertib?", "Apakah aku mencuri hak orang lain?", "Bersihkah aku dari korupsi?", "Layakkah aku menjadi wakil rakyat?", Pantaskah aku menjadi presiden?"

John F Kennedy menyodorkan pemandu untuk refleksi diri kolektif sebagai bangsa, "Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kau berikan untuk negaramu!".

Hidup dan karya Romo Mangun boleh jadi digerakkan imperasi JFK. Yang pasti, habitus bertanya mengasah kemanusiaan manusia dan menjadi fondasi peradaban. Atau, kita masih mempertanyakan kebenaran simpulan ini?

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/07/00340451/habitus.bertanya

1 komentar:

KIEL mengatakan...

Keseharian mayoritas masyarakat yang terperangkap dengan kesibukan untuk mempertahankan hidup menjadi penghalang lahirnya pertanyaan2 reflektif-kolektif. Tidak dapat juga masyarakat disalahkan.