
Judul Buku: Kesadaran Nasional, dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (Jilid I dan II)
Penulis: Prof Dr Slamet Muljana
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan: I, Mei 2008
Tebal: Jilid I 357 Halaman, Jilid II 285 Halaman
Lewat sudah gempita peringatan satu abad kebangkitan nasional dan kini diganti peringatan hari kemerdekaan ke-63 RI. Keduanya seolah tak terkait, padahal sejarah membuktikan bahwa kebangkitan nasional merupakan bibit kemerdekaan. Bibit tersebut tampak ketika Bung Karno dan Bung Hatta beserta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) lainnya begadang menyusun dan mempersiapkan naskah proklamasi kemerdekaan, di mana mereka mengacu pada Budi Utomo (20 Mei 1908) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) guna menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harkat untuk merdeka. Hasilnya, Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan merdeka pun diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Naskah proklamasi kemerdekaan itu berisi dua kalimat saja. Kalimat pertama merupakan buah pemikiran Bung Hatta: ''Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.'' Kalimat itu dimaksudkan sebagai deklarasi, pernyataan tegas, dan maknanya tunggal. Kalimat itu bertalian erat dengan kalimat pertama naskah mukadimah konstitusi yang sudah dirancang dua bulan sebelumnya: ''Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.''
Kalimat kedua, ''Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,'' dirumuskan sendiri oleh Bung Karno.
Mengacu pada paparan di atas, di tengah krisis yang kita hadapi, masih relevankah kita memperingati proklamasi kemerdekaan? Pertanyaan ini sengaja diajukan (tanpa sebuah jawaban) agar kita lebih serius merefleksikan bahwa, bisakah kita merasakan makna kemerdekaan tanpa sebuah peringatan. Di sini kita bisa menyimak pernyataan Slamet Muljana, penulis buku dua jilid ini, yang berbicara tentang fungsi pengawetan peristiwa bersejarah, bahwa makna diperingatinya sebuah peristiwa menunjukkan kita masih tetap sama seperti dulu dan akan tetap seperti itu pada masa mendatang (hlm. 27).
Dari pernyataan Muljana tersebut, menjadi jelas bahwa tidak ada yang salah dalam peringatan dengan segala seremoni dan ritualnya. Sebagai elemen budaya, seremoni dan ritual dibutuhkan untuk mendukung sisi emosional dari sebuah peristiwa. Dampak yang diharapkan dari peringatan itu adalah lahirnya sikap optimistis guna memupuk nasionalisme anak bangsa.
Oleh karena itu, kehadiran buku dua jilid ini menemukan momentumnya dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI yang ke-63. Kedua buku yang masing-masingnya terbagi dalam 10 bab ini merekam dan memaparkan secara sistematis sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia, sejak masa awal kebangkitan nasional yang berkilau membutakan hingga perbedaan pendapat di sekitar proklamasi kemerdekaan, sekaligus memperterang pengertian nasionalisme yang redup oleh informasi yang sebelumnya kurang memadai.
Suatu rekaman sejarah dipandang perlu tidak hanya dalam rangka mengetahui tentang masa lalu, tapi juga usaha dalam memberikan perspektif dan ingatan kolektif bangsa tentang apa dan bagaimana seharusnya nasionalisme itu diberi konteks kekinian. Bagi Indonesia yang saat ini sedang berada dalam efek domino krisis multidimensi, barangkali pemahaman dan penggalian terhadap sejarah bangsa menemukan titik momentumnya untuk tidak sekadar dihargai sebagai medium refleksi semata, tapi juga disadari sebagai semangat perjuangan kebangsaan yang akan terus berlanjut hingga kapan pun.
Di sinilah arti penting memaknai nasionalisme dalam konteks sejarah. Dengan kata lain, nasionalisme tidak hanya diartikan sebagai antitesis dari kolonialisme, tapi juga konseptualisasi dari kesadaran nasional yang butuh pemaknaan secara terus-menerus. Jadi, menurut Muljana, memahami nasionalisme terletak pada aspek bagaimana sejarah menjadi media pembelajaran terhadap generasi bangsa dalam menjunjung tinggi nilai kesatuan dan persatuan demi tujuan dan cita-cita bangsa (hlm. 81).
Hal ini sejalan dengan beberapa teoretisi lain yang berpendapat bahwa bangsa pada mulanya bukanlah suatu pengertian politis. Sebab, bangsa dapat terbentuk berdasarkan kesamaan nasib sebagaimana dikatakan Otto Bauer, atau kesamaan imajinasi sebagaimana dikatakan Ben Anderson. Misalnya, orang dapat hidup sebagai bangsa karena kesamaan bahasa, daerah, asal-usul, atau kesamaan mitos yang mereka hayati bersama. Munculnya nasionalisme mengubah bangsa (nation) sebagai satuan yang prapolitis menjadi suatu unit politik. Dalam nasionalisme dihidupkan kesadaran sekelompok orang untuk menentukan nasibnya sendiri berdasarkan kehendak politik yang sadar.
Untuk memakai model Yunani Antik, dapat dikatakan bahwa bangsa yang tadinya masih merupakan suatu oikos semata, yaitu suatu rumah tangga yang menempati ruang privat, oleh nasionalisme diubah menjadi polis, yaitu suatu ruang publik, dan bahkan ruang politik. Bangsa dalam pengertian politik inilah yang kemudian digalakkan sosialisasinya oleh para pemikir dan pejuang kemerdekaan kita. Bung Karno, misalnya, dengan amat mahir menjadikan nasionalisme sebagai sarana untuk nation-building. Segala perbedaan menyangkut kebudayaan, etnisitas, kesukuan, agama dan daerah, menjadi sekunder dan tampaknya harus dikorbankan untuk apa yang dinamakan Bung Karno, ''penyatupaduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner.''
Dalam retorika seperti itu, kemerdekaan, bangsa, nasionalisme, dan persatuan seakan-akan menjadi sinonim dalam maknanya. Karena itu, kehadiran dua buku ini selayaknya ditempatkan pada konteks pemupukan nasionalisme.(*)
*) Tasyriq Hifzillah Peminat sejarah asal Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP)
Jawa Pos [ Minggu, 17 Agustus 2008 ]
Penulis: Prof Dr Slamet Muljana
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan: I, Mei 2008
Tebal: Jilid I 357 Halaman, Jilid II 285 Halaman
Lewat sudah gempita peringatan satu abad kebangkitan nasional dan kini diganti peringatan hari kemerdekaan ke-63 RI. Keduanya seolah tak terkait, padahal sejarah membuktikan bahwa kebangkitan nasional merupakan bibit kemerdekaan. Bibit tersebut tampak ketika Bung Karno dan Bung Hatta beserta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) lainnya begadang menyusun dan mempersiapkan naskah proklamasi kemerdekaan, di mana mereka mengacu pada Budi Utomo (20 Mei 1908) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) guna menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harkat untuk merdeka. Hasilnya, Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan merdeka pun diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Naskah proklamasi kemerdekaan itu berisi dua kalimat saja. Kalimat pertama merupakan buah pemikiran Bung Hatta: ''Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.'' Kalimat itu dimaksudkan sebagai deklarasi, pernyataan tegas, dan maknanya tunggal. Kalimat itu bertalian erat dengan kalimat pertama naskah mukadimah konstitusi yang sudah dirancang dua bulan sebelumnya: ''Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.''
Kalimat kedua, ''Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,'' dirumuskan sendiri oleh Bung Karno.
Mengacu pada paparan di atas, di tengah krisis yang kita hadapi, masih relevankah kita memperingati proklamasi kemerdekaan? Pertanyaan ini sengaja diajukan (tanpa sebuah jawaban) agar kita lebih serius merefleksikan bahwa, bisakah kita merasakan makna kemerdekaan tanpa sebuah peringatan. Di sini kita bisa menyimak pernyataan Slamet Muljana, penulis buku dua jilid ini, yang berbicara tentang fungsi pengawetan peristiwa bersejarah, bahwa makna diperingatinya sebuah peristiwa menunjukkan kita masih tetap sama seperti dulu dan akan tetap seperti itu pada masa mendatang (hlm. 27).
Dari pernyataan Muljana tersebut, menjadi jelas bahwa tidak ada yang salah dalam peringatan dengan segala seremoni dan ritualnya. Sebagai elemen budaya, seremoni dan ritual dibutuhkan untuk mendukung sisi emosional dari sebuah peristiwa. Dampak yang diharapkan dari peringatan itu adalah lahirnya sikap optimistis guna memupuk nasionalisme anak bangsa.
Oleh karena itu, kehadiran buku dua jilid ini menemukan momentumnya dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI yang ke-63. Kedua buku yang masing-masingnya terbagi dalam 10 bab ini merekam dan memaparkan secara sistematis sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia, sejak masa awal kebangkitan nasional yang berkilau membutakan hingga perbedaan pendapat di sekitar proklamasi kemerdekaan, sekaligus memperterang pengertian nasionalisme yang redup oleh informasi yang sebelumnya kurang memadai.
Suatu rekaman sejarah dipandang perlu tidak hanya dalam rangka mengetahui tentang masa lalu, tapi juga usaha dalam memberikan perspektif dan ingatan kolektif bangsa tentang apa dan bagaimana seharusnya nasionalisme itu diberi konteks kekinian. Bagi Indonesia yang saat ini sedang berada dalam efek domino krisis multidimensi, barangkali pemahaman dan penggalian terhadap sejarah bangsa menemukan titik momentumnya untuk tidak sekadar dihargai sebagai medium refleksi semata, tapi juga disadari sebagai semangat perjuangan kebangsaan yang akan terus berlanjut hingga kapan pun.
Di sinilah arti penting memaknai nasionalisme dalam konteks sejarah. Dengan kata lain, nasionalisme tidak hanya diartikan sebagai antitesis dari kolonialisme, tapi juga konseptualisasi dari kesadaran nasional yang butuh pemaknaan secara terus-menerus. Jadi, menurut Muljana, memahami nasionalisme terletak pada aspek bagaimana sejarah menjadi media pembelajaran terhadap generasi bangsa dalam menjunjung tinggi nilai kesatuan dan persatuan demi tujuan dan cita-cita bangsa (hlm. 81).
Hal ini sejalan dengan beberapa teoretisi lain yang berpendapat bahwa bangsa pada mulanya bukanlah suatu pengertian politis. Sebab, bangsa dapat terbentuk berdasarkan kesamaan nasib sebagaimana dikatakan Otto Bauer, atau kesamaan imajinasi sebagaimana dikatakan Ben Anderson. Misalnya, orang dapat hidup sebagai bangsa karena kesamaan bahasa, daerah, asal-usul, atau kesamaan mitos yang mereka hayati bersama. Munculnya nasionalisme mengubah bangsa (nation) sebagai satuan yang prapolitis menjadi suatu unit politik. Dalam nasionalisme dihidupkan kesadaran sekelompok orang untuk menentukan nasibnya sendiri berdasarkan kehendak politik yang sadar.
Untuk memakai model Yunani Antik, dapat dikatakan bahwa bangsa yang tadinya masih merupakan suatu oikos semata, yaitu suatu rumah tangga yang menempati ruang privat, oleh nasionalisme diubah menjadi polis, yaitu suatu ruang publik, dan bahkan ruang politik. Bangsa dalam pengertian politik inilah yang kemudian digalakkan sosialisasinya oleh para pemikir dan pejuang kemerdekaan kita. Bung Karno, misalnya, dengan amat mahir menjadikan nasionalisme sebagai sarana untuk nation-building. Segala perbedaan menyangkut kebudayaan, etnisitas, kesukuan, agama dan daerah, menjadi sekunder dan tampaknya harus dikorbankan untuk apa yang dinamakan Bung Karno, ''penyatupaduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner.''
Dalam retorika seperti itu, kemerdekaan, bangsa, nasionalisme, dan persatuan seakan-akan menjadi sinonim dalam maknanya. Karena itu, kehadiran dua buku ini selayaknya ditempatkan pada konteks pemupukan nasionalisme.(*)
*) Tasyriq Hifzillah Peminat sejarah asal Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP)
Jawa Pos [ Minggu, 17 Agustus 2008 ]
1 komentar:
Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation
Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”
-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
Dikutip Kompas di tulisan pembuka liputan khusus Anjer-Panarukan
Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Koran Kompas dan juga kalangan pers pada umumnya yang secara intens dan kental mendorong munculnya kesadaran historis sekaligus harapan dan optimisme akan masa depan Indonesia. Mempertautkan makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini nampak paling tidak sejak bulan Mei secara rutin Kompas memuat tulisan wartawan-wartawan seniornya dan mungkin beberapa orang non wartawan kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional . Patut diapresiasi pula liputan besar Kompas “Ekspedisi 200 Tahun Jalan Pos Anjer-Panaroekan”.
Daniel Dhakidae yang juga menjadi salah satu penulis seri 100 Tahun Kebangkitan Nasional Kompas ini pernah mengatakan bahwa “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memperoyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat disini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhdap masa lalu dan memeriksa kembali masa lalu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian”. (Cendekiawan dan Kekuasaan : Dalam Negara Orde Baru; Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal xxxii)
Dalam bukunya itu contoh gamblang diperlihatkan oleh Dhakidae, dimana sebelum sampai pada bahasan masa Orde Baru ia melakukan pemeriksaaan wacana politik etis sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander vs Nederlander, antara boemipoetra dan orang Olanda. Baginya zaman kolonial menjadi penting bukan semata sebagai latarbelakang, akan tetapi wacana itu begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu akan tetapi masa kini.
Kompas saya pikir telah mengerjakan ini dengan sangat baik dan saya mendapatkan pencerahan dari sana (o iya Bung Daniel adalah juga kepala litbang Kompas)
Untuk meningkatkan akses publik ke seluruh tulisan-tulisan berharga ini, saya menghimpun link seri artikel Kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini. Sebelumnya saya juga telah menghimpun link seri liputan Kompas Ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya Pos Anjer-Panaroekan : Jalan (untuk) Perubahan.
Demikian juga saya telah menghimpun link-link ke artikel-artikel Edisi Khusus Kemerdekaan Majalah Tempo tentang Tan Malaka “BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN. Sebagai catatan tulisan tentang Tan Malaka juga ada di dalam seri tulisan Kompas seputar 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Apresiasi tinggi pula untuk Majalah Tempo.
Akhir kata secara khusus saya menaruh hormat kepada Pramoedya Ananta Toer yang telah menjadi ‘guru sejarah’ saya melalui karya-karya sastra dan buku-buku sejarah yang ditulisnya. Saya pikir bukan sebuah kebetulan Kompas mengutip roman Jejak Langkah sebagai pengantar liputan khususnya, juga dari buku Pram Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.
Tidak lain juga sebuah penghormatan kalau tidak pengakuan terhadap sumbangan Pram untuk negeri ini. Diakui atau tidak.
Salam Pembebasan
Andreas Iswinarto
Untuk seri tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo; Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa; Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara; Menemukan Kembali Boedi Oetomo; Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati; Pohon Rimbun di Tanah yang Makin Gembur; Mencari Jejak Pemikiran Hatta; Membangun Bangsa yang Humanis; Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional; Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"; Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis, Menolak Kutukan Bangsa Kuli; Pendidikan dan Pemerdekaan; Kembali ke PR Gelombang Ketiga; Kebudayaan dan Kebangsaan; Musik Pun Menggugah Kebangsaan...
Silah link ke
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/jejak-langkah-sebuah-bangsa-sebuah.html
Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html
Edisi Kemerdekaan Tempo : Tan Malaka
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html
Posting Komentar