28 Agustus 2008

Republik Korupsi? (Opini Todung Mulya Lubis)

Sp/Ignatius Liliek

Oleh Todung Mulya Lubis, Advokat Senior, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Silih berganti kasus korupsi terbongkar, dan orang-orang yang selama ini terlihat seperti dewa tiba-tiba menutup wajahnya karena menahan malu akibat kelakuannya. Sungguh saya gundah dan cemas melihat republik tercinta ini: betapa korupsi itu sangat endemic, systematic dan widespread, menjadi wabah di mana- mana, di pusat dan daerah.

Saya tak ingin bersikap sinis tetapi betapa sukarnya untuk tak menarik kesimpulan, negeri ini sesungguhnya adalah sebuah republik korupsi. Tidak ada hari tanpa korupsi.

Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar di Jambi, saya begitu bangga menjadi orang Indonesia. Ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan, semua kita berdiri tegak. Ketika Soekarno berpidato, semua kita terbakar oleh semangat yang menyala.

Ketika kesebelasan Indonesia berlaga di Olimpiade Melbourne, kita semua merasa betapa berartinya republik ini padahal kita masih miskin, masih terbelakang, dan para pejabat kita masih hidup dengan sederhana.

Rakyat merasa berarti dan bermartabat. Namun perasaan itu semakin tergerus hari demi hari. Kita semakin me-rasa dikhianati oleh perilaku para pejabat negara yang merampok uang negara dengan semua baju kekuasaan yang melekat di badan mereka.

Buruk

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 adalah 2,6. Angka ini termasuk buruk kalau kita melihat rentang 0-10 yang digunakan oleh Tranparency International Indonesia hanya lebih baik dari Pakistan (2,2), Kamboja (2,1), Bangladesh (2,0) dan Myanmar (1,9) untuk sekadar menyebut beberapa negara di kawasan Asia. Negara- negara seperti Singapura (9,4), Hong Kong (8,3), Jepang (7,6), Korea Selatan (5,1), Thailand (3,6) dan Vietnam (2,6) berada di atas Indonesia. Saya kira tidak salah jika kita merasa malu dengan Indeks Per-sepsi Korupsi yang rendah ini.

Genderang perang melawan korupsi sudah ditabuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetapi celakanya Indeks Persepsi Korupsi 2007 justru menempatkan Indonesia pada angka yang lebih buruk, 2,3. Praktis Indonesia tak beranjak maju.

Di mata para responden survei, Indonesia masih jadi surga bagi korupsi. Para pengusaha

yang berinvestasi di sini tak bisa mengerti kenapa ber- bisnis di negeri ini begitu penuh dengan korupsi meski mata rantai perizinan telah

dipangkas. Tetapi pemangkasan itu tak mengurangi birahi korupsi yang menohok kantong pengusaha.

Perilaku birokrasi pusat dan daerah setali tiga uang: ujung-ujungnya uang. Terkadang saya berpikir bahwa per- lombaan yang terjadi sekarang ini adalah per- lom-baan mengusir investasi walau retorikanya tetap mengundang investasi.

Saya tak bermaksud bersikap kejam terhadap negeri saya sendiri. Apapun yang terjadi di negeri ini adalah tumpah darah saya. Tetapi salahkah jika semakin hari saya semakin kehilangan kepercayaan kepada niat baik para pejabat dan politisi, yang seharusnya menjalankan tugasnya karena semata-mata untuk melakukan public goods, tetapi sebaliknya menjadi pejabat dan politisi yang mengkhianati fitrahnya? Betapa kita tidak sedih melihat skandal korupsi yang konon melibatkan 42 anggota DPR dan sejumlah petinggi Bank Indonesia sampai pada gubernurnya.

Pengakuan Dosa

Beberapa hari yang lalu Agus Condro, juga seorang anggota DPR, entah diburu rasa bersalah membuat pengakuan dosa telah menerima traveler checks senilai Rp 500 juta untuk ikut meloloskan Miranda Swaray Gultom sebagai orang nomor dua di Bank Indonesia? Menariknya, Agus Condro menyebut pula banyak nama anggota DPR yang lain. Tentu pengakuan itu segera dibantah oleh mereka yang namanya disebut tetapi pertanyaan sudah menempel di benak rakyat bahwa pasti ada korupsi. Ibaratnya kalau kita membaca pepatah lama maka kita akan berkata: tak ada asap kalau tak ada api.

Harga jabatan begitu mahalnya baik yang diperoleh melalui pemilu dan pilkada maupun yang melalui fit and proper test DPR. Kalau harga jabatan itu memang mahal sekali, maka logika ekonominya adalah investasi itu harus kembali: return of investment mutlak ada. Mana tahu investasi itu berasal dari kredit para pengusaha yang diberikan dengan bunga yang tinggi.

Dalam keadaan seperti ini di mana gaji dan tunjangan pejabat masih belum besar maka yang terjadi adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Perang melawan korupsi akan sia-sia jika yang berperang itu adalah mereka yang seharusnya diperangi. Akhirnya yang kita akan peroleh adalah headlines di surat kabar tetapi pemberantasan korupsi itu tak akan pernah berhasil. Orang-orang yang akan melakukan korupsi akan semakin paham bagaimana mensiasati pemberantasan korupsi. Bahwa ada yang bernasib sial tertangkap oleh aparat itu adalah bagian dari proses pembelajaran untuk bisa menemukan modus operandi keluar dari pukat pemberantasan korupsi.

Saya kira modus korupsi di masa depan akan lebih canggih lagi karena korupsi tradisional dalam bentuk mark up, komisi dan uang jalan misalnya, sudah bukan zamannya. Bukan mustahil korupsi itu akan bermain di tataran off shore atau pasar modal. Perdagangan saham di lantai bursa bisa menjadi modus operandi baru untuk korupsi, dan ini tak akan mudah dilacak. Ini tentu korupsi dalam skala besar. Sementara itu korupsi dalam skala kecil akan terus berlangsung dan untuk jangka waktu yang lama tak akan bisa diberantas karena yang selalu disasar adalah korupsi dalam skala besar, big fish, yang diharapkan menjadikan orang takut untuk korupsi.

Mudah-mudahan iklim takut korupsi itu bisa terwujud walau kalau melihat apa yang terjadi sekarang orang nampaknya masih belum takut korupsi. Adanya nama-nama besar yang tak tersentuh membuat banyak orang pesimis bahwa korupsi akan berakhir. Tangan perkasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nampaknya terbatas pada korupsi yang di luar lingkar kekuasaan. Buktinya yang diseret sekarang adalah para pejabat yang berasal dari rezim sebelumnya.

Memberi Contoh

Pejabat rezim sekarang masih berlindung di bawah asas praduga tidak bersalah. Dilupakan bahwa etika politik seharusnya juga berlaku bagi pejabat untuk mundur ketika diduga melakukan korupsi. Para pejabat seharusnya memberikan contoh kepada rakyat untuk menghargai jabatannya dengan tak membiarkannya ternoda oleh dugaan korupsi yang menimpanya. Sayangnya para pejabat kita tak siap untuk menjadi orang yang sungguh-sungguh memelihara kebersihan jabatan publik yang diembannya.

Inilah republik tercinta yang dikelola oleh orang- orang yang semakin hari semakin tak mengerti arti kita berbangsa dan bernegara, tak mengerti sejarah yang melahirkan negeri ini. Jangan salahkan rakyat kalau mereka kehilangan kepercayaan atau rasa bangga menjadi orang Indonesia.

Saya pun tak luput dari perasaan seperti itu, kecewa karena merasa dikhianati oleh para pejabat dan politisi yang korupsi. Terus terang saya tak tahu apa masih ada harapan di tengah kemiskinan yang masih membengkak, biaya hidup yang mahal, korupsi yang meraja lela, dan penguasa yang sok kuasa.

Syukur, di tengah rasa gundah dan cemas ini kita di bangunkan oleh kebanggaan sebagai orang Indonesia ketika melihat anak-anak kita berhasil menjadi juara Olimpiade Fisika misalnya, atau ketika Markis Kido dan Hendra Setiawan merebut medali emas di Olimpiade Beijing dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Di situ kita merasa berarti, disitu kita merasa masih ada Indonesia. *

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/27/index.html

Tidak ada komentar: