Pengantar
Anggaran pendidikan tahun 2009 akan mencapai 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyampaikan pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah soal rancangan APBN 2009 mengestimasikan akan naik sampai Rp 224 triliun. Pertanyaannya adalah, dari total anggaran pendidikan itu, berapa anggaran yang murni dikelola Departemen Pendidikan Nasional dan apakah departemen tersebut siap mengelola anggaran secara baik dan benar. Wartawan SP, Eko Budi Harsono dan Willy Masaharu menyoroti masalah itu dalam tulisan berikut.
residen Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR di Senayan, Jakarta, Jumat (15/8) mengatakan, anggaran pendidikan telah meningkat hampir dua kali lipat, dari sebelumnya Rp 78,5 triliun dua tahun lalu, saat ini menjadi Rp 154,2 triliun pada 2008.
Tambahan anggaran pendidikan yang dialokasikan pada 2009 depan tercatat sebesar Rp 46,1 triliun. Pidato itu diucapkan dua hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengultimatum pemerintah untuk segera memenuhi amanat konstitusi.
"Tahun anggaran 2009 pemerintah bertekad untuk memenuhi amanat konstitusi dalam pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen meskipun kondisi anggaran masih sangat terbatas. Dalam rangka memenuhi keputusan MK tanggal 13 Agustus 2008, tentang alokasi dana pendidikan yang harus kita hormati, maka postur RAPBN 2009 dilakukan perubahan dan pemutakhiran," ujar Presiden ketika itu.
Dalam pidato Presiden itu disebutkan bahwa total belanja negara 2009, akan mencapai Rp 1.122,2 triliun. Artinya, kalau anggaran pendidikan diasumsikan 20 persen dari Rp 1.122,2 triliun, maka hasilnya adalah Rp 224 triliun (SP, 15/8).
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, negara memprioritaskan anggaran pendidikan dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pasal ini sendiri, awalnya diusulkan oleh Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan didukung fraksi lainnya saat amendemen keempat UUD 1945 di MPR 2003.
Tetapi, persoalannya sekarang adalah apakah benar dengan anggaran pendidikan sebesar Rp 224 triliun itu, benar sudah memenuhi amanat konstitusi. Mungkin secara administrasi, klaim pemerintah itu bisa dibenarkan, artinya benar mencapai 20 persen dari total APBN (itu pun masih dalam bentuk RAPBN).
Hanya saja, secara logika dan persepsi, asumsi sudah mencapai 20 persen, masih menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Anggota Komisi X DPR, Cyprianus Aoer sendiri menilai, perlunya sebuah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR soal penghitungan anggaran baru. Sebab, jika anggaran pendidikan dan latihan di departemen lainnya di luar Depdiknas, dihitung, maka klaim angka bisa menyesatkan dan membodohi masyarakat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sebelumnya dalam keterangan pers setelah pidato kenegaraan di Jakarta, Jumat (15/8) menyebutkan, itu termasuk alokasi di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan dana alokasi umum (DAU) pendidikan di anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta dana alokasi khusus (DAK) pendidikan, dana bagi hasil (DBH) pendidikan serta dana otonomi khusus (otsus) pendidikan.
Departemen Lain
Informasi yang diperoleh SP, dari total alokasi anggaran pendidikan 20 persen Rp 224,4 triliun, sebanyak Rp 134,8 triliun dialokasikan untuk anggaran pendidikan di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Sedangkan, untuk gaji pendidik di Depdiknas, Depag dan di dalam dana alokasi umum (DAU) mencapai Rp 89,5 triliun.
Dari alokasi dana untuk di luar gaji pendidikan dan kedinasan sebesar Rp 134,8 triliun, disebutkan untuk anggaran pendidikan di semua kementerian dan lembaga mencapai Rp 70,5 triliun. Sisanya, untuk dana alokasi khusus (DAK) pendidikan sebesar Rp 8,01 triliun, DAU pendidikan non-gaji Rp 7,3 triliun, dana otonomi khusus untuk pendidikan Rp 1,8 triliun dan dana bagi hasil (DBH) untuk pendidikan Rp 982,9 miliar.
Adapun untuk gaji pendidik sebesar Rp 89,5 triliun, sebanyak Rp 3,05 triliun dialokasikan untuk gaji pendidik di Depdiknas, sebanyak Rp 3,3 triliun dialokasikan untuk gaji pendidik di Depag serta sebanyak Rp 83,1 triliun dialokasikan untuk gaji pendidik di DAU.
Sedangkan, untuk anggaran pendidikan sendiri, hanya sebesar Rp 51.53 triliun. Angka ini adalah murni anggaran pendidikan yang dikelola Depdiknas.
Dengan demikian, kalau mau dihitung, anggaran pendidikan murni yang dikelola Depdiknas, jauh dari 20 persen APBN. Kini terserah DPR, apakah setuju dengan asumsi pemerintah yang menghitung anggaran pendidikan di luar Depdiknas, termasuk anggaran diklat atau bagaimana?
Terlepas dari metode penghitungan anggaran pendidikan tersebut, masalah lain yang muncul adalah bagaimana mengelola anggaran sebesar itu. Apakah dengan naiknya anggaran tersebut, telah dibarengi dengan upaya akselerasi program sebagai bukti pemerintah memberi prioritas pada pembangunan bidang pendidikan.
Ada kekhawatiran, jangan sampai program Depdiknas masih seperti tahun-tahun sebelumnya tanpa program khusus dan hanya dananya yang dinaikkan. Kalau itu yang terjadi, akan rawan penggelembungan anggaran atau korupsi.
Semua orang pada prinsipnya menyambut gembira sikap pemerintah tersebut. Akan tetapi, tampaknya tidak sedikit orang yang menyangsikan apakah anggaran sebesar itu dapat direalisasikan dan kalaupun dapat direalisasikan apakah digunakan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Kesangsian tersebut cukup beralasan, karena anggaran yang telah disediakan tahun ini saja belum dapat diserap dengan baik.
"Apalagi tahun depan bangsa kita akan disibukkan dengan Pemilu yang pasti menyerap banyak perhatian, energi dan biaya. Para pejabat yang berafilisasi dengan parpol tidak mungkin bisa berkonsentrasi melaksanakan tugasnya karena sedikit banyak akan disibukkan untuk kampanye menyukseskan partainya. Kebijakan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen bukan produk partai politik tetapi produk pemerintah," ujar anggota DPR, Musfihin Dahlan dari Fraksi Partai Golkar.
Sementara itu, pakar anggaran pendidikan Hidayat Syarief menilai selain rumusan program yang jelas dan tajam prioritasnya, ada faktor yang sangat prinsipil perlu dipenuhi agar anggaran pendidikan digunakan dengan baik, yaitu kapasitas institusi dan pengendalian termasuk pengawasan baik di pusat maupun di daerah.
Kapasitas institusi mencakup kemampuan pejabat di instansi terkait untuk melakukan perencanaan operasional, penyaluran dana sampai kepada sasaran, dan monitoring atas pelaksanaannya dengan amanah, penuh tanggung-jawab. Kemampuan seperti ini sangat ditentukan antara lain oleh pola pikir.
Menurutnya, pola pikir berbasis proyek sangat perlu untuk dihindari, karena dengan pola pikir ini alokasi anggaran akan bersifat terpecah-pecah dan tidak sejalan dengan tujuan program pembangunan pendidikan untuk menghasilkan keluaran yang semakin berkualitas, relevan, dan berkeadilan.
Pola pikir project-based harus sudah mulai diganti dengan pola pikir performance based yang mengutamakan hasil ketimbang masukan. Masalahnya, mengubah pola pikir seperti itu tidaklah mudah. Paling tidak perlu waktu.
Selain kapasitas institusi, faktor pengendalian juga tidak kalah pentingnya. Manusia kan secara alamiah mempunyai banyak kelemahan dan bahkan serakah. Apalagi jika berhadapan dengan uang, banyak yang matanya jadi "hijau" dan air liurnya mengalir deras. Karena itu, pengendalian atas penggunaan dana pendidikan baik di pusat maupun di daerah perlu diperketat.
Transparan
Pernyataan pemerintah bahwa anggaran pendidikan bisa memenuhi amanat konstitusi, yakni 20 persen dari APBN, tentu saja disambut hangat masyarakat. Namun, kenaikan anggaran selalu mengandung risiko, misalnya masalah efisiensi, efektivitas, bahkan korupsi dalam berbagai modusnya.
"Sejauh ini, kapasitas kelembagaan Depdiknas sendiri masih diragukan untuk mengelola jumlah anggaran yang sedemikian besar. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan beberapa tahun terakhir terus menemukan berbagai penyimpangan dalam birokrasi departemen itu. Karena itulah, mutlak kiranya kenaikan anggaran diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi," ujar Agus Sunaryanto, Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, lanjutnya perdebatan masyarakat masih sebatas bahwa anggaran pendidikan harus naik, belum pada kalkulasi kegunaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, untuk apa saja, dan bagaimana skala prioritasnya.
Di luar konstitusi, kelemahan inilah yang menyebabkan perjuangan menaikkan anggaran 20 persen selalu dinegasikan oleh pemerintah, karena tak ada dasar yang kuat untuk menekannya. Akhirnya kesepakatan 20 persen anggaran pendidikan kehilangan arah. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar