29 Juli 2008

Biarkan Sekolah Menggali Biaya Pendidikan

Sekolah negeri dilarang memungut biaya dari calon murid dengan dalih apa pun. Seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan ditanggung pemerintah.

Untuk menjadi "pengepul" pembelian buku pelajaran yang diperlukan murid pun, sekolah dilarang. Orang tua murid diminta belanja sendiri buku-buku yang diperlukan anak-anaknya.

Bagaimana solusinya kalau dana pendidikan pemerintah tudak cukup? Bukankah setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan juga tidak sama? Bagaimana kalau ternyata pemerintah sendiri belum bisa memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN? Sabar. "Puasa" sajalah.

Pembiayaan pendidikan di negeri ini sungguh dilematis. Kalau diurai, ibaratnya memintal benang kusut. Mbulet.

Pemerintah belajar dari pengalaman buruk selama ini. Jika dibiarkan sekolah memungut sebagian biaya pendidikan dari calon murid di luar sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pemungutannya sering tidak terkontrol. Sekolah konon jor-joran memungut biaya penyelenggaraan pendidikan.

Lalu, dicarikan solusi. Selain biaya yang masuk di APBN-APBD untuk alokasi pendidikan, masih ada dana-dana lain seperti BOS (bantuan operasional sekolah)?

Masalahnya, semua sumber pembiayaan pendidikan itu masih terlalu minim. Biaya penyelenggaraan pendidikan, baik untuk alokasi nasional maupun sektoral di APBD, jauh dari kebutuhan yang diperlukan. BOS pun belum juga menjadi solusi. Kecuali hanya menjadi semacam obat penghilang rasa sakit, tanpa bisa menghilangkan sumber sakitnya.

Ketika tahun ajaran dimulai dan saat ini kebutuhan selama setahun harus diinventaris, mau tidak mau, sekolah terkendala oleh minimnya biaya. Namun, karena tidak boleh memungut biaya dari orang tua murid di luar yang sudah ditentukan, pimpinan sekolah sering judeg.

Celakanya lagi, tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan terus mengemuka. Untuk meningkatkan kualitas -karena terkait dengan tersedianya sarana penunjang dan pengembangan mutu pendidik- haruslah tersedia biaya.

Oleh sebab itu, ketatnya larangan terhadap sekolah untuk tidak memungut biaya di luar yang sudah ditentukan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan dinas pendidikan (dispendik) setempat perlu dipikir ulang.

Kalau ternyata pemerintah memang belum mampu menyediakan anggaran 20 persen pendidikan di APBN dan APBD, seharusnya ada kelonggaran terhadap sekolah untuk menggali sumber-sumber pembiayaan yang legal.

Tentu saja, meskipun legal, penggalian dana itu jangan lepas kontrol. Misalnya, jika pemerintah melalui Depdiknas atau dispendik setempat membolehkan sekolah memungut biaya penyelenggaraan pendidikan, praktiknya perlu selektif.

Perlu ada syarat tertentu. Minimal berapa dan maksimal berapa biaya yang bisa dipungut dengan mempertimbangkan tingkat pendapatan dan daya beli setempat.

Sekolah juga -kalau perlu- tidak boleh memegang langsung uang tersebut, melainkan disimpan di bank yang hanya boleh dikeluarkan oleh pihak yang ditunjuk pihak ketiga.

Sekolah pun baru bisa menggunakan uang hasil penggaliannya setelah terlebih dahulu mengajukan surat tentang daftar kebutuhan yang harus dibeli pada waktu tertentu.

Pola pembiayaan seperti itu, agaknya, paling moderat. Dengan begitu, pemerintah terhindar dari sikap apriori, sedangkan sekolah terbatasi dari peluang penyelewengan. (*)
- jawa pos 29 juli 2008 tajuk rencana

Tidak ada komentar: