11 Mei 2008

Salah Bayar, DKI Beli Ulang Lahan Sekolah

Kompas, Minggu, 11 Mei 2008- Gara-gara tidak memeriksa ulang kepemilikan tanah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus membayar ulang pembelian lahan sekolah senilai Rp 6,5 miliar. Padahal lahan tanah itu sudah dijadikan lokasi SDN 05 dan SMP 126 Batuampar sejak tahun 1980.

Bahkan, gara-gara kesembronoan itu, 1.500 siswa dari kedua sekolah tersebut terancam tidak bisa bersekolah gara-gara sekolah mereka bakal disegel pemilik tanah. Pemilik tanah, Ny Weni Azis (75), mengancam akan menyegel sekolah kalau Pemprov DKI Jakarta tidak bersedia membeli tanah mereka itu.

Weni berani mengultimatum Pemprov DKI karena dia sudah dinyatakan sebagai pemilik sah oleh Mahkamah Agung. Sementara Muhayat, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Sabtu (10/5), menegaskan Pemprov DKI akan membayar tanah tersebut sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), namun dananya harus dianggarkan lebih dahulu. "Bisa saja dianggarkan pada perubahan anggaran 2008 atau pada anggaran 2009," kata Muhayat.

Sengketa tanah seluas 6.500 meter persegi di Kelurahan Batuampar, Kramatjati, Jakarta Timur, itu sebenarnya sudah berlangsung sejak sekolah mulai dibangun tahun 1979. Namun Weni Azis, pemilik tanah, mengaku tidak tahu harus mengadu kepada siapa.

Weni mengaku beli tanah itu dari Entong dengan harga Rp 2,5 juta pada tahun 1973. Weni lalu membuat akta jual-beli yang disaksikan camat pada tahun 1975. Tanah itu kemudian dipagari dengan tanaman pagar dan dijaga orang suruhan Weni. Namun, pada tahun 1977 orang suruhan itu mengaku diusir petugas yang akan membangun sekolah. Weni yang tahu tanahnya diserobot pun tidak diam saja. "Saya sudah menghadap ke Wali Kota Jakarta Timur, waktu itu dijabat oleh Sofyan Hakim. Namun tidak ada penyelesaian sama sekali. Dia bahkan bilang, saya tidak boleh menghalangi pembangunan sekolah. Jika saya mau menuntut, bawa saja ke pengadilan. Biar pengadilan yang menentukan, siapa pemilik tanah ini yang sebenarnya," kata Weni.

Namun, membawa kasus ini ke pengadilan juga bukan hal mudah. Kasusnya tidak segera ditindaklanjuti. Weni juga sudah melaporkan ke polisi, tetapi kasus ini juga sempat tidak ada kabarnya.

Sampai pada tahun 1998, ketika reformasi masih bergaung kuat, dia memberanikan diri lagi membawa kasus ini ke pengadilan. "Hampir- hampir saya putus asa karena proses yang lama dan berbelit," aku Weni.

Satu demi satu tingkatan pengadilan dijalankan ibu empat anak ini dengan gigih. Kegigihan Weni berhasil baik. Di semua tingkat pengadilan itu, Weni dinyatakan sebagai pemilik yang sah.

Sementara itu, Muhayat mengatakan Pemprov DKI sebenarnya telah membayar penuh tanah tersebut kepada pemilik tanah. "Kami sudah membayar kepada pemilik tanah yang pertama, yakni Entong, pada tahun 1977. Tetapi rupanya, Entong sudah menjual tanah itu terlebih dulu kepada Weni Azis tahun 1975."

Sertifikat yang dibuat Pemprov DKI pun mau tidak mau dibatalkan karena dari pemeriksaan di pengadilan terdapat cacat hukum. "Ada kelemahan-kelemahan di masa lalu yang membuat sertifikat tanah itu cacat hukum dan harus dibatalkan," kata Muhayat.

Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi pemerintah dan siapa pun jika membeli tanah. Sebelum transaksi dilakukan, sebaiknya memeriksa kepemilikan tanah. Pemprov DKI sendiri, yang boleh dibilang penguasa tanah dan urusan administrasi, ternyata juga bisa mengalami hal yang konyol seperti ini.

Muhayat mengaku, untuk pembayaran kali kedua ini, pihaknya harus melapor ke Kejaksaan Agung dulu. Jangan sampai, pihaknya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (M CLARA WRESTI)

Tidak ada komentar: