|
| KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN / Kompas Images Sebanyak 1.500 siswa dan orangtua siswa peserta ujian nasional di SMU Negeri I Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (18/4), mengikuti istighotsah menjelang pelaksanaan ujian nasional. |
Budi Suwarna dan Ilham Khoiri
Kekisruhan dalam ujian nasional belakangan mungkin mencerminkan sikap bangsa yang kerap hipokrit. Di satu sisi, pemerintah ngotot mematok standar kelulusan sebagai cermin peningkatan mutu pendidikan nasional. Saat bersamaan, standar itu dicapai dengan berbagai trik, tipu muslihat, atau lewat "perang gerilya" yang melibatkan para guru.
Maya (nama samaran) tertawa sinis setiap kali mendengar pejabat mengklaim ujian nasional (UN) berlangsung sukses dan angka kelulusan tinggi. Soalnya, dia tahu benar, betapa "sukses" itu diraih bukan melalui proses belajar-mengajar di sekolah, melainkan lewat "perang gerilya" yang dilakoni para guru.
Guru sebuah SMA swasta di Jakarta itu mengungkapkan, hampir semua sekolah di rayonnya menyiapkan berbagai strategi "perang gerilya" untuk memberikan contekan kepada siswa. Tahun ini Maya mengaku masuk dalam "pasukan gerilya" bersama beberapa guru lain.
Saat hari-hari ujian, dia datang ke sekolah sekitar pukul 04.30. Mirip "operasi subuh". Begitu soal datang, ada guru yang bertugas merusak segel dan mengambil beberapa berkas soal untuk dikerjakan bersama-sama. "Kami hanya punya waktu sekitar 30 menit untuk menyelesaikan soal sebelum pengawas datang," ujarnya.
Bocoran jawaban itu lantas dibagikan kepada para siswa sebelum memasuki ruang ujian. "Kadang, bocoran jawaban kami letakkan di WC. Nanti, ada siswa yang akan mengambil jawaban itu dan menyebarkannya kepada teman-temannya," ujarnya.
Di sekolah lain, kata Maya, ada beberapa siswa terpilih yang dilibatkan dalam "perang gerilya". Setelah mendapat bocoran jawaban, dia bertugas mendistribusikannya kepada siswa lainnya.
"Perang gerilya" ini berlangsung sistematis dengan strategi yang matang dan terus diperbarui setiap tahun. Selama ini aman-aman saja. Maklum, sebelum UN, sejumlah sekolah di wilayahnya sudah bersepakat untuk saling tutup mata. "Pengawas juga sudah tahu sama tahu. Yang penting, operasinya tidak menyolok," katanya.
Di luar Jakarta, "perang gerilya" juga terjadi di Sumatera Utara. Namun, entah karena strateginya tidak canggih, operasi itu tercium Detasemen Antiteror 88. Akibatnya, para guru yang terlibat pun digerebek ketika sedang membetulkan lembar jawaban milik siswa.
Berbagai tekanan
Pembocoran jawaban atau berbagai kecurangan lain sebenarnya terjadi hampir secara massal dan bukan dilandasi motif uang. Banyak pihak sadar, perbuatan itu jelas tidak mendidik. Para guru berani berbuat curang lantaran ingin menyelamatkan siswa yang hanya menjadi korban sistem yang bermasalah.
"Kalau tak lulus, mereka tidak dapat ijazah. Padahal, ijazah perlu untuk cari kerja di pabrik," ujar Maya. Memang, sebagian besar siswa di sekolah itu berasal dari golongan menengah ke bawah yang tidak mampu melanjutkan kuliah.
Di luar pertimbangan itu, pembocoran juga dilakukan untuk mempertahankan prestise sekolah. Semakin banyak siswa gagal ujian, para guru semakin khawatir sekolahnya tak diminati lagi oleh para orangtua. Jika itu terjadi, sekolah bisa ditutup dan guru kehilangan kerja.
Terakhir, kecurangan itu dilakukan demi menyelamatkan muka pejabat. Sudah jadi rahasia umum, menteri, gubernur, bupati, wali kota, sampai kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota mematok target kelulusan UN yang tinggi. Para pejabat di bawahnya semakin rajin menekan sekolah agar mencapai target itu, bagaimanapun caranya.
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan, saat ini guru benar-benar tertekan. Banyak orangtua yang tidak mau tahu, anaknya harus lulus karena merasa telah keluar banyak uang. Begitulah, Si Umar Bakri yang sudah tertekan oleh gaji yang minim, semakin terbebani oleh pejabat dan sistem. "Alhamdulillah, hingga kini tidak ada guru yang bunuh diri karena UN," ujar Iwan.
Dia mengatakan, "perang gerilya" yang dilakukan para guru sebenarnya adalah bentuk perlawanan paling sederhana terhadap sistem.
Cobaan berat
Sekolah umumnya sadar, persiapan agar lulus UN memang tak cukup hanya mengandalkan belajar biasa. Soal-soal ujian kerap terlalu sulit untuk dikerjakan siswa biasa. Karena itu, para siswa didorong untuk menjalani berbagai macam pelajaran tambahan: try out (TO), bimbingan belajar (bimbel), simulasi ujian, sampai pendalaman materi (PM).
Dewi Fitri (15), siswa SMPN di Bandung, misalnya, mengaku menghabiskan 20 jam sehari untuk berlatih mengerjakan soal. Mulai pukul 07.00 sampai 17.30, dia suntuk belajar dan mengikuti pemantapan materi di sekolah. Sore hingga malam, dia masih belajar lagi.
Setelah bangun pukul 03.00 pun, dia meneruskan belajar. Di luar itu, dia ikut les bimbingan belajar. Di sana, dia mengunyah-ngunyah rumus menjawab soal atau jurus tebak jawaban. Pokoknya capek deh!
Belum yakin dengan berbagai persiapan ujian secara rasional, banyak sekolah yang akhirnya mendorong siswa untuk menempuh jalan spiritual. Tujuannya, menggembleng mental siswa agar lebih tenang. Maka, kini banyak sekolah yang punya tren baru, yaitu menyelenggarakan istighotsah, kegiatan doa bersama yang biasa dijalani umat Islam untuk meminta pertolongan Tuhan dari cobaan yang berat.
Tren ini dijalani hampir di semua sekolah, mulai dari sekolah pinggiran sampai sekolah unggulan seperti SMAN 31 Jakarta. Sekolah ini menggelar istighotsah satu minggu sebelum ujian. Sebanyak 435 siswa dan sejumlah guru sekolah unggulan ini menginap di sekolah.
Dini hari, mereka dibangunkan dan diajak mengerjakan shalat tahajud, zikir, muhasabah (introspeksi diri), shalat taubat (mohon ampun kepada Tuhan), dan berdoa bersama. "Banyak siswa yang mencium kaki orangtuanya setiba di rumah (untuk minta ampun)," kata Humas SMAN 31, Saur Hurabarat.
Istighotsah juga dilakukan di SMK Jakarta Pusat I. Begitu pula sejumlah sekolah di Bandung, seperti SMAN 9 dan SMPN 53. Lewat laku spiritual ini, diharapkan siswa lebih siap mental untuk menghadapi soal-soal ujian yang sulit sekalipun. Tentu, mereka juga berharap Tuhan berkenan melempangkan jalan agar siswa lulus ujian.
Bukannya tak menghargai istighotsah. Tetapi, fenomena ini menunjukkan, betapa sakralitas pendidikan telah bergeser dari krida untuk menggembleng ilmu pengetahuan ke wilayah spiritual. "Menghadapi UN hampir tidak ada bedanya dengan menghadapi bencana. Siswa begitu putus asa sampai-sampai harus ber-istighotsah," kata Iwan Hermawan.
UN baru saja dilalui. Setelah hari-hari yang berat itu, kini para siswa dan guru sedang "deg-degan" menunggu hasil ujian yang bakal diumumkan pada pertengahan Juni nanti. "Sekarang kami serahkan semuanya kepada kehendak Tuhan," kata T Iskandar, guru agama SMK Jakpus I, dengan mimik penuh permohonan. (Yulvianus Harjono/ Yenti Aprianti)
|
| KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images Siswa SMP 1 Jakarta bergembira setelah menyelesaikan ujian nasional untuk mata pelajaran Matematika. |
Ninuk M Pambudy
Kejadian yang sama setiap tahun berulang saat penyelenggaraan ujian nasional. Berkali-kali dan bukan di satu tempat muncul laporan guru-guru yang ikut membocorkan jawaban soal ujian, bahkan mengganti jawaban siswa-siswinya.
Pertanyaannya, mengapa guru-guru tersebut nekat melakukan hal yang sebetulnya tidak boleh mereka lakukan? Bukankah pendidikan seharusnya mengajarkan kejujuran?
Tampaknya, persoalan tersebut barulah puncak gunung es dari persoalan mendasar pendidikan nasional Indonesia.
Menteri Pendidikan 1978-1983 Daoed Joesoef, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dan Rektor IKIP Jakarta 1975-1980 Winarno Surakhmad, dan tokoh pendidik Arief Rachman sama-sama berpendapat, ujian nasional hanyalah detail dari sebuah konsep sistem pendidikan nasional.
"Ujian nasional itu seperti pintu dari bangunan besar sistem pendidikan nasional," tandas Daoed Joesoef. Bila sistem pendidikan nasional sudah ditata, demikian Daoed, tidak akan terjadi kisruh dalam pelaksanaan ujian nasional seperti saat ini.
Daoed menyebutkan, pendidikan sekarang dilepaskan dari tujuan menjadikan manusia yang semakin berpembawaan budaya dengan orientasi pada masa depan. Pendidikan sebagai bagian dari budaya, yaitu semua yang diciptakan manusia, mengembangkan sistem nilai dan memberi makna pada sistem nilai tersebut. Di sini pendidikan berperan mengajarkan semangat keilmuan dan pengetahuan ilmiah.
Di dalam bukunya, Dia dan Aku (2006), Daoed menyebutkan, ada delapan kondisi dasar yang menentukan kualitas pendidikan, yaitu fokus pendidikan, tujuan pendidikan, kualitas tenaga pengajar, metode mengajar, kurikulum, lingkungan kondisional sekolah, alat-alat pengajaran, termasuk buku teks di dalamnya, dan penghargaan terhadap guru.
"Konsep pendidikan sekarang hanya sepotong-sepotong. Seharusnya ada konsep integral. Ini berbahaya karena tidak hanya mencelakai generasi berikut, tetapi juga merusak masa depan bangsa," kata Daoed kepada Kompas.
Salah satu contoh lemahnya sistem pendidikan nasional saat ini adalah pengajaran berbeda-beda yang dilakukan di daerah-daerah. Keadaan yang berbeda-beda tersebut tidak memungkinkan diberlakukannya kesamaan mutu di dalam satu standar.
Daoed menyarankan untuk justru mensentralisasi pendidikan sehingga dengan demikian pemerintah sebagai pengemban misi pendidikan masyarakat mengetahui di mana terjadi ketertinggalan dalam pendidikan.
Dia tidak setuju bila dikatakan sentralisasi akan menghilangkan kesempatan daerah mengembangkan potensi lokalnya. Menurut Daoed, kesalahan Orde Baru bukan dalam sentralisasi itu sendiri, tetapi pada konsep pembangunan itu sendiri yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan berdasarkan pada social space, sehingga tidak terjadi pemerataan pembangunan. "Pendidikan itu seharusnya memberi kesempatan untuk to be more human, menjadi wong kata orang Jawa," tambah Daoed.
Tiga persoalan
Winarno Surakhmad dan Arief Rachman secara terpisah juga menyebutkan, UN yang kisruh saat ini menggambarkan kekacauan sistem pendidikan saat ini.
Kekacauan itu, menurut Winarno, tergambar jelas dalam pelaksanaan UN yang memiliki tiga persoalan. Pertama, persoalan dasar asumsi, yaitu untuk menunjukkan anak-anak Indonesia pintar, ditetapkan standar kelulusan, tidak kuat. Konstitusi mengamanatkan pertanggungjawaban dan bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Masalahnya, tidak ada bukti untuk menunjukkan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika dapat memenuhi kecerdasan sebagai dimaksudkan konstitusi.
Kedua, pendekatan UN yang lebih berorientasi pada output, hasil akhir, yaitu angka kelulusan yang semakin tinggi. Tetapi, demikian Winarno, UN kurang memerhatikan proses, sedangkan dalam dunia pendidikan proses merupakan bagian sangat penting.
"Kalau mengutamakan output, guru tidak peduli cara belajar anak. Yang penting angka ujian mencapai 4 atau 5 sesuai standar yang dimaui. Apakah siswa memperoleh jawaban dengan menerka, meniru atau cara lain, tidak jadi masalah. Karena itu, kalau anak tidak lulus, dianjurkan ujian lagi, tidak ditanyakan bagaimana cara belajar anak sampai tidak lulus," kata Winarno.
Ketiga, UN dilakukan secara nasional. "Itu bagus, tetapi ibarat UN itu ukuran mirip meteran, sedangkan yang diukur beda-beda. Ketika sekolah kondisinya—guru, fasilitas-berbeda-beda, tidak mungkin kita bisa mengharapkan menerapkan satu ukuran. Satu ukuran untuk situasi beragam itu tidak benar," tandas Winarno.
Dalam pandangan Arief Rachman, menyamakan standar kelulusan untuk seluruh siswa se-Indonesia menyalahi aturan keadilan. Banyak sekolah tidak dapat mengejar standar kelulusan karena tidak mendapat fasilitas pendidikan yang sama dan kualitas guru pun tidak semua memadai.
Arief pun mempertanyakan tataran idealisme standardisasi UN yang hanya melihat siswa dari lulus tidaknya UN. Dengan mengukur keberhasilan siswa dari lulus-tidaknya dia, maka pendidikan tidak mengukur sisi lain pendidikan, yaitu aspek afektif, psikologi, budi pekerti, dan akhlak. Semua proses pembelajaran pada mata pelajaran di luar yang diujikan dalam UN diveto oleh UN. "Kalau anak tersebut nilai UN-nya hanya kurang 0,01 pada mata pelajaran UN, maka dia akan 'mati' meskipun nilai mata pelajaran lain bagus-bagus," kata Arief.
UN vs guru
Alasan penerapan standardisasi melalui UN untuk membuat pemetaan pun dipertanyakan.
Arief menyebut, pemetaan seharusnya hanya memotret kondisi yang ada, tetapi tidak boleh berakibat anak lulus atau tidak lulus. "Jadi, urutannya, pemetaan, perbaikan, baru kemudian ujian," tandas Arief Rachman. Masalahnya, semua itu perlu proses dan waktu, sementara pemerintah tidak sabar. "Tanpa proses, pemerintah membuat gebrakan dengan langsung menstandarkan tanpa membuat pemetaan," tambah Arief.
Kasus-kasus guru-guru yang membantu siswa-siswanya dalam menjawab soal UN adalah akibat kebijakan yang tidak tepat. "Itu bukan maunya guru-guru. Mereka membantu siswa lulus karena kasihan kepada siswa. Apalagi ada tekanan dari sekolah, dari kepala dinas, dari bupati yang tidak mau kehilangan muka, agar kelulusan siswa jumlahnya meningkat. Pemerintah mestinya mau memahami persoalan ini," kata Winarno.
Untuk keluar dari kekisruhan UN, Winarno menyarankan untuk melakukan pemetaan lebih dulu sebagai dasar untuk pembinaan. Kalau pemerintah ingin menerapkan standar nasional, harus dipenuhi dulu standar komponen di setiap sekolah di pusat dan daerah, yaitu setidaknya adalah guru, kurikulum, sarana, manajemen, dan siswa. Nyatanya, demikian Winarno, daerah-daerah terpencil semakin kurang mampu memenuhi komponen tersebut.
Dengan melihat parahnya kondisi pendidikan saat ini, dengan mengutip filsuf Friedrich Nietzsche yang menyebutkan "ada satu masa satu-satunya kebijakan pemerintah adalah kebijakan pendidikan", Daoed Joesoef pun mengingatkan, sekarang adalah masanya kita memerhatikan pendidikan dengan sungguh-sungguh. (Ilham Khoiri/ Lusiana Indriasari)
Bibir mereka belum juga kelu. Setelah setahun lalu melakukannya, para guru muda yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru kembali mengungkap kecurangan ujian nasional 2008.
Tahun lalu, mereka menyaksikan kecurangan UN dengan kasatmata saat bertugas sebagai pengawas. Kesaksian jujur para guru berbalas kenyataan pahit. Alih-alih disebut pahlawan, mereka malah menjadi pecundang. Sebanyak 12 guru diberhentikan dari tempat mereka mengajar dan 15 guru dikurangi jam kerjanya.
Kini nasib mereka beragam. Dewan Pembina KAMG Denni Saragih mengatakan, untuk mewadahi guru yang diberhentikan, KAMG—dengan dana sendiri—mendirikan bimbingan belajar. Bimbingan belajar itu bernama C4 Solution (dibaca see for solution) itu cukup membantu guru yang kehilangan pendapatan.
"Lembaga ini sementara bisa mempekerjakan 12 guru privat, tiga guru bimbingan, dan seorang pegawai kantor," kata Denni. Sayangnya, hingga kini biaya operasional lembaga itu masih belum sebanding dengan pendapatan para guru. Mereka yang kehilangan banyak jam mengajar sebagian masih bertahan di sekolahnya. Sebagian yang lain memutuskan pindah sekolah karena tidak tahan perlakuan rekan kerja yang menganggap mereka "musuh dalam selimut".
Hal itu yang dilakukan Rohani Sirait, guru SMA Teladan Sumatera Utara, yang memutuskan keluar dari sekolahnya. Pascapengungkapan kecurangan UN, pihak sekolah hanya memberikan kesempatan Rohani mengajar 21 jam setiap minggu. Sebelum melaporkan kecurangan UN, dia merupakan guru favorit yang mengajar di kelas favorit selama 40 jam per minggu. Kini Rohani mengajar tanpa sekolah, dia mengajar les privat dengan pendapatan yang tidak pasti.
Patar Tambunan, guru Sekolah Menengah Negeri (SMAN) 17 Medan, tetap saja berstatus sebagai guru piket. Dia sudah mengajar dua tahun di sekolah itu, tetapi tetap belum mendapat jam mengajar. Meski begitu, dia malah mendapat gelar baru sebagai guru piket teladan lantaran rajin hadir di sekolah. Neni W Tarigan yang sebelumnya mengajar di SMA Nasrani 3 Medan harus pindah mengajar karena pihak yayasan tidak melanjutkan kontrak. Kini Neni mengajar di SMA Harapan Bangsa Medan.
Tak menyesal
Tidak ada yang menyesal dengan kesaksian tahun silam. Mereka tahu, kejujuran tak selamanya berbalas baik. Tahun ini pun mereka kembali melakukan hal yang sama. Meski banyak yang tak lagi menjadi pengawas, pengungkapan itu bisa mereka lakukan dengan membentuk tim investigasi independen. Hasil temuan itu telah mereka sampaikan ke Dinas Pendidikan Sumut.
Kini mereka semakin percaya diri. Temuan kecurangan UN bukan saja dari mereka, melainkan juga dari kepolisian. Tertangkapnya para guru di SMA 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang, oleh polisi menguatkan temuan mereka selama ini: kecurangan UN memang ada. "Saya tidak menyesal, biarlah semua terbuka dengan sendirinya nanti," tutur Rohani yang juga lulusan FMIPA, Universitas Negeri Medan (Unimed).
Rohani bertekad tetap akan meneruskan sikapnya sampai ada perubahan dari pemerintah. Begitupun dengan sikap para guru lain dalam KAMG. Mereka yang masih berusia rata-rata tidak lebih dari 35 tahun itu sudah tidak tahan melihat kecurangan UN.
Belakangan, perempuan lajang asal Porsea, Kabupaten Toba Samosir, itu meluangkan waktunya pada sore hari di markas KAMG di Jalan Sei Merah Nomor 6, Medan. Di rumah kontrakan itu, dia bersama guru lain berkoordinasi memantau jalannya UN. Mereka satu kata bahwa ada yang salah dalam pendidikan kita selama ini.
Sekolah untuk belajar
Sekolah sebagai tempat belajar lambat laun semakin luntur. Semangat belajar siswa menurun. Dia sendiri mengaku kesulitan menghadapi siswa belakangan. Keinginan siswa, tutur dia, cenderung pragmatis. Mereka hanya akan belajar pada saat ujian akan berlangsung. Mereka ingin tahu bagaimana kiat agar lolos UN. Kondisi ini terjadi lantaran UN menjadi syarat mutlak kelulusan siswa yang melemahkan otonomi sekolah.
"Lama-lama sekolah hanya menjadi tempat ujian, bukan untuk belajar. Padahal, sekolah mestinya tempat untuk belajar. Kenyataannya, siswa lebih ingin lolos menghadapi ujian daripada menerima materi pelajaran gurunya," katanya.
Pemahaman itu tertanam baik di benak para guru muda itu. Denni paham gejolak kawan-kawannya hingga akhirnya mereka meneteskan air mata saat diskusi pendidikan. Kejadian itu kemudian mengilhami pendirian Komunitas Air Mata Guru. Usaha keras guru selama proses belajar, kata dia, sepertinya tak berarti apa-apa pada tahun terakhir belajar siswa.
"Semua proses belajar hanya bertumpuk pada satu tahun terakhir. Mereka berkonsentrasi menghadapi ujian yang menentukan kelulusan," katanya. Mestinya proses belajar dinilai mulai dari awal sekolah sampai akhir. Model seperti ini menuntut peningkatan kompetensi guru. Lantaran itu, pekerjaan rumah terbesar dunia pendidikan saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidik. Kepintaran siswa tidak bisa diukur jika hanya menggelar UN, sementara kualitas guru dan sarana masih jauh berbeda antara sekolah satu dan lainnya.
Jerit hati para guru itu juga dirasakan Eka, siswa SMAN 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang. Dia memahami kemampuan siswa satu daerah dengan daerah lain berbeda karena faktor guru dan sarana. Dia meminta pemerintah meninjau ulang UN. Lantaran UN, guru-gurunya terpaksa membantu siswa menjawab soal ujian yang dinilai terlalu sulit. "Kalau begini, apa gunanya kami belajar tiga tahun," katanya.
Para pemimpin: dengar kata-kata siswa itu! (Andy Riza Hidayat)
|
| KOMPAS/BUDI SUWARNA / Kompas Images Kepala SMA Villa Mas Enny Tri Susilowati duduk di ruang kerjanya, Jumat (9/5). Angka ketidaklulusan di sekolah ini selama dua tahun berturut-turut mencapai 100 persen. |
Budi Suwarna
Namanya cukup keren: SMA Villa Mas. Namun, jejak rekam akademis sekolah ini jauh dari membanggakan. Bayangkan, selama dua tahun berturut-turut, angka kelulusan ujian nasional di sekolah yang terletak di Pulo Gadung, Jakarta Timur, itu nol persen alias 100 persen siswanya gagal ujian.
Kepala SMA Villa Mas Enny Tri Susilowati mengungkapkan, dari lima siswa yang mengikuti ujian nasional (UN) tahun 2006 lalu, tidak seorang pun yang lulus. Peristiwa serupa terulang pada UN tahun 2007. Dari 17 siswa yang ikut UN, tidak ada yang lulus. Untungnya, lima di antara mereka akhirnya lulus melalui program Kejar Paket C.
Tahun ini, ada enam siswa yang ikut UN. Enny mengaku deg-degan menunggu hasil UN pertengahan Juni nanti. Kegelisahan itu beralasan. Maklum, sekarang pemerintah menetapkan standar kelulusan yang lebih tinggi dan ujian mencakup enam mata pelajaran pokok. Seorang siswa baru lulus ujian jika nilai rata-rata mata pelajaran hasil ujiannya minimal 5,25. "Saya khawatir tidak ada yang lulus lagi," katanya sambil mengurut dada.
SMA Villa Mas adalah potret sekolah gurem di jantung ibu kota Jakarta. Letaknya bersebelahan dengan perumahan elite di kawasan Pulo Mas, Pulo Gadung. Namun, kondisinya cukup memprihatinkan. Bangunannya kusam, di beberapa tempat rusak. Lantainya banyak terkelupas. Plafon di ruang kepala sekolah, bahkan, sebagian hampir copot. Lemari yang ada di situ pun miring.
Jangan lagi bicara soal fasilitas. Perpustakaan di sekolah ini seperti tidak pernah digunakan. Lantainya kotor penuh debu. Koleksi perpustakaan itu hanya beberapa baris buku paket. Ruang laboratorium hanya berisi satu buah peraga kerangka manusia dan beberapa meja.
Siswa di sekolah ini seluruhnya berasal dari keluarga miskin. "Sebagian dari mereka terpaksa sambil bekerja. Ada yang menjadi pembantu, ada yang penjual koran," katanya.
Enny mengatakan, saking miskinnya, sebagian dari mereka tidak sanggup membayar biaya SPP dan ekstrakurikuler sebesar Rp 115.000 per bulan. "Sampai keluar dari sini pun masih banyak yang nunggak," ujarnya.
Sekolah yang berdiri sejak 1989 itu pun sedang menghadapi situasi yang sulit. Setiap tahun, jumlah siswanya merosot. Tahun ajaran 2007-2008, jumlah total siswa di SMA Villa Mas hanya 30 orang: 8 orang di kelas I, 16 orang di kelas II, dan 6 orang di kelas III.
Minimnya siswa mengakibatkan keuangan sekolah berdarah-darah. Untuk memenuhi operasional sekolah tiap bulan pun, pengelola tidak sanggup. "Saya di sini kerja bakti, sedangkan guru lain yang mengajar rata-rata dua hari sekali hanya dibayar Rp 122.000 per bulan," katanya.
UN membuat sekolah ini semakin terjepit. Dengan tingkat kelulusan nol persen, orangtua siswa mungkin berpikir puluhan kali sebelum menyekolahkan anaknya di SMA ini. Lain halnya jika mereka kepepet lantaran tidak ada biaya. Untuk tahun ajaran 2008-2009, kata Enny, pihaknya baru mendapat satu siswa. "Mudah-mudahan nanti ada lagi yang mendaftar," ujar Enny penuh harap.
Angkat tangan
Tidak hanya sekolah gurem, sekolah-sekolah yang sudah cukup mapan pun merasa terjepit oleh UN. "Setiap menjelang UN, saya deg-degan. Saya khawatir banyak siswa saya yang tidak lulus," ujar T Iskandar, guru agama di SMK Jakarta Pusat I.
Sekolah itu memang punya pengalaman buruk. Tahun lalu, sebanyak 144 dari 231 siswanya tidak lulus UN. Yang memprihatinkan, siswa yang tidak lulus melampiaskan kekesalan mereka dengan memecahkan kaca jendela dan mencorat-coret dinding sekolah. Pihak sekolah sampai harus memanggil polisi. "Kalau ingat kejadian itu, kami trauma," ujar Agus Ramdan, Ketua Panitia UN di sekolah itu.
Tety Herawati, guru SMA/ SMK Diponegoro I di kawasan Rawamangun, tak kalah deg-degan. Tahun lalu, dari 600-an siswa SMA dan SMK yang ikut UN, 101 di antaranya tidak lulus. Angka ketidaklulusan begitu tinggi, lanjut Tety, karena sekolahnya mencoba untuk jujur. "Sebelumnya kami membantu siswa agar lulus UN, tapi itu tidak kami lakukan lagi. Hasilnya, seperti ini," ujar Tety.
Sejak Arief Rachman, pakar pendidikan, menjadi penasihat di sekolah itu, praktik-praktik kecurangan dalam pelaksanaan UN di sekolah itu dilarang. "Saya sempat diprotes oleh orangtua siswa karena saya dianggap terlalu jujur. Tapi, saya katakan kejujuran dan tanggung jawab lebih penting artinya dalam dunia pendidikan," kata Arief.
SMA/SMK Diponegoro I bukan tergolong sekolah gurem. Sekolah itu sangat memadai secara fisik dan fasilitas. Gedungnya bertingkat tiga dan dilengkapi berbagai laboratorium. Bahkan, ada masjid besar dan taman-taman cantik di sekolah itu. Toh, banyak siswa di sekolah itu tidak sanggup mengerjakan soal UN.
Mengapa? Imam Parikesit, pendidik di sekolah tersebut, mengatakan, lebih dari separuh siswanya berasal dari keluarga tidak mampu. Sebagian orangtua mereka bekerja sebagai tukang cuci, sopir angkot, tukang sayur, hingga penggali kubur dengan penghasilan kurang dari Rp 1,5 juta per bulan. Dengan kondisi seperti itu, sulit bagi orangtua memberikan les tambahan untuk anaknya.
Begitulah, ketiga sekolah itu adalah korban UN. Bagaimana tidak? Pemerintah menetapkan standar kelulusan yang tinggi, bahkan cenderung ditingkatkan setiap tahun. Namun, tidak semua sekolah disokong untuk mengadakan fasilitas pendidikan yang memungkinkan target kelulusan itu tercapai.
Sialnya, pemerintah seolah tutup mata dengan perbedaan kondisi di masing-masing sekolah. (Ilham Khoiri/ Lusiana Indriasari)
http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/11/01405040/sekolah-sekolah.korban.un

Tidak ada komentar:
Posting Komentar