04 Mei 2008

Mimpi Sekolah Gratis

Lewat dana Bantuan Operasional Siswa (BOS) diharapkan kebutuhan dana operasional sekolah tercukupi. Tidak ada lagi pungutan kepada orang tua murid. Namun, survei Indonesian Corruption Watch mengungkap fakta: pungutan tetap berlangsung di SD negeri yang menerima BOS. Survei digelar di Jakarta, Semarang, Kupang, dan Garut pada 2005.

Dari grafik terlihat bahwa larangan pemerintah diabaikan. Pungutan jalan terus terhadap murid kelas 1 SD seperti uang pendaftaran masuk sekolah, uang LKS dan buku paket uang bangunan, uang SPP/komite sekolah. Jika dihitung, total semua pungutan untuk biaya langsung kegiatan belajar mengajar (KBM) mencapai Rp 1.515.740 per siswa per tahun.

Angka Rp 1,5 juta tersebut meliputi pungutan-pungutan lain (tidak ada dalam grafis) yakni uang infak (Rp 30.863), uang kebersihan (Rp 18.535), uang buku tumpukan (Rp 56.777), uang foto kopi (Rp 21.755), uang pergantian kepsek (Rp 20.107), uang perpisahan (Rp 26.755) dan uang perpustakaan (Rp 43.154) dan uang ujian (Rp 34.909).

Angka Rp 1,5 juta jauh lebih gemuk ketimbang besaran dana BOS pemerintah ke tiap siswa SD yakni Rp 235 ribu per tahun. Sehingga, meski ada dana kompensasi BBM dalam bentuk BOS, tidak serta merta beban orang tua murid lenyap. Sekolah masih akan menarik pungutan untuk menutupi defisit. Sekolah gratis sejauh ini nampaknya masih sebatas ilusi terutama orang tua murid miskin. Demikian laporan Citizen's Report Card ICW.


Dibelit Tujuh Digit
Pemerintah teriak soal sekolah gratis. Tapi uang masuk sekolah selangit.

Uang masuk sekolah, tentu saja, tidak bisa dibayar dengan pisang goreng. Namun, bagi penjual pisang goreng seperti Gita Kurnia (25 tahun), perkara uang masuk sekolah adalah murni persoalan (laris tidaknya) pisang goreng.

Sudah setahun ini, cerita Gita, naluri keibuannya bagai disetrum. Adalah si Buyung pemicunya: ia minta sekolah. Namun untuk mengabulkan keinginan putranya, Febian Indra (6), bersekolah di tengah kota, Gita mesti menyiapkan fresh money bernominal tujuh digit. Sebab, kabarnya, besar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) berikut segala tetek bengek-nya pada sebuah SD negeri di Kota Bandung mencapai Rp 2 juta hingga Rp 3 juta.

Kata Gita, kini ia hanya mengantongi Rp 1 juta, duit hasil mengetatkan ikat pinggang sepanjang berbulan-bulan. Sementara masa PSB di depan mata. Nyaris musykil, menurut dia, mengandalkan hasil penjualan pisang goreng yang 'banderol'-nya cuma 500 perak per buah. Apalagi,''Dagangan sepi melulu,'' kata warga Jl Pasirkaliki, Bandung, yang bersuamikan supir angkutan umum di Kota Kembang ini, menerawang.

Masa Penerimaan Siswa Baru (PSB) hampir dipastikan menjadi kepusingan baru bagi orangtua. Dalam tulisan citizen journalism yang dikirimkan ke redaksi Republika pekan lalu, Retno Budi Rahayu mengungkap kepusingan ganda yang dialami Titik, seorang guru sekolah di Surakarta, Jawa Tengah. Berpenghasilan pas-pasan, Titik suka tidak suka mesti ancang-ancang mengongkosi dua putrinya yang tahun ini masuk SMP dan SMU sekaligus. Dana segar Rp 7,5 juta mesti disiapkan.

Duit segitu akan ia gelontorkan andai kedua putrinya lolos ke sekolah bidikan mereka: SMPN I atau SMPN II Surakarta yang menyaratkan uang masuk Rp 3,5 juta, serta SMUN I atau SMUN IV yang membanderol dana PSB sebesar Rp 4 juta. Titik memutar otak dan berkesimpulan,''Biaya ini mungkin akan saya bayar saja lewat pinjaman bank,'' ujarnya seperti dituliskan Retno, warga Jl Bougenvill II Blok C5 No. 4 Perumahan Harapan Kita, Karawaci, Tangerang. ''Atau meminjam dari koperasi tempat saya mengajar,'' lanjut Titik.

Titik tak sendiri. Masa PSB juga membikin tekanan darah Bekti naik turun. Padahal, Bekti, yang pegawai swasta biasa ini, 'cuma' punya mimpi sederhana saja koq: mewujudkan mimpi putrinya masuk SMUN 28 atau SMUN 34 Jakarta Selatan. Itu saja. Tapi, ya itu tadi, tidak ada makan siang yang gratis. Bekti mesti punya paling sedikit Rp 8 juta untuk itu. Ia belum punya solusi.

Ini memang paradoks. Biaya PSB melangit di mana-mana, di tengah gembar-gembor pemerintah soal wacana pendidikan gratis. Sejak triwulan pertama 2005 pemerintah menggulirkan kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)--sebagai pengganti dana subsidi BBM.

Lewat BOS, pemerintah mengklaim menggratiskan biaya sekolah, secara khusus bagi SD dan SMP negeri di seantero negeri. Dan, Pemerintah Daerah tak mau ketinggalan unjuk gigi. Mereka menelurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOP). Salah satu misinya: memangkas, jika tidak melenyapkan, biaya masuk sekolah.

DKI Jakarta termasuk yang amat serius soal ini. Lewat Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta No. 32/SE/2005 tanggal 13 Juni 2005, pemda DKI melarang seluruh bentuk pungutan terkait PSB. Malah, lewat surat edaran serupa dua tahun kemudian,''Pemda melarang Sumbangan Rutin Bulanan (SRB),'' ujar Harry Syahrial dalam tulisan citizen journalism-nya.

Sayangnya, ini baru sebatas sesumbar. Dengan kasat mata, kata Harry, masyarakat bisa dengan mudah mendapati fakta pungutan biaya masuk sekolah terus berlanjut. Bahkan kian melambung. Di sekolah tempat putra Harry belajar, yakni SDNP Kompleks IKIP Rawamangun Jakarta, misalnya, siswa baru dibanderol duit PSB sebesar Rp 6,2 juta (periode 2007/2008).

Padahal, soal pungutan PSB, lanjut Harry lagi,''Dalam peraturan, sudah ada ketentuan sanksi bagi sekolah yang melanggar,'' tutur warga Jl. Flamboyan 46-A, Bendungan Jago RT. 009 RW 002, Kemayoran Serdang, Jakarta, itu. Wajar jika Harry mempertanyakan keseriusan pemerintah soal program wajib belajar sembilan tahun gratis untuk SD hingga SMP, yang pada 2009 bakal memasuki masa tuntas.

Biaya PSB bukan saja tetap dipungut oleh sekolah, tetapi kian melambung jumlahnya. Terdongraknya nominal uang PSB terjadi lantaran makin gemuknya biaya operasional pendidikan seiring dengan perkembangan dunia (pendidikan) itu sendiri. ''Bagaimana tidak melambung kalau tiba-tiba semua sekolah harus mempunyai laboratorium bahasa atau ruang multimedia,'' ujar Arief Rachman, guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang mantan kepala sekolah Labschool Jakarta.

Ini dilematis. Sekolah, misalnya, tidak mungkin tidak memperkenalkan para siswa dengan perangkat multimedia. Sebab kelak mereka akan terjun di dunia kerja yang memanfaatkan perangkat multi media. Sekolah yang baik, kata Arief, adalah sekolah yang menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut dan sarana pendukung mutakhir lainnya kendati itu berujung pada terdongkraknya biaya PSB.

Inilah dilema itu. Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan, beban biaya pendidikan yang mesti ditanggung orangtua justru kian bertambah di tengah gencarnya program BOS dan naiknya anggaran sektor pendidikan di APBN. Sepanjang 2007, kata Ketua Monitoring Pelayanan Umum ICW, Ade Irawan,''Ada peningkatan 18,9 persen beban biaya pendidikan orangtua murid SD negeri.''

Adalah muskyil beban biaya pendidikan dipikulkan secara pukul rata kepada orangtua siswa, menimbang bervariasinya taraf ekonomi mereka. Itulah perlunya program subsidi silang, beasiswa, out sourcing dan kerjasama dengan program social corporate responsibility.

Semua itu, menurut Arief Rachman, mestinya bisa dikendalikan oleh para penguasa politik di daerah masing-masing. ''Di sini pentingnya peran seorang bupati, wali kota, dan DPRD,'' tutur dia. Jika semua turun tangan, penjual pisang goreng seperti Gita Kurnia, barangkali tak mesti dibelit uang PSB tujuh digit. ren/mg09/mg10/mg11 -- Republika 3/5/2008

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=332485&kat_id=375

Tidak ada komentar: