04 Mei 2008

Berorientasi Pragmatis, Pendidikan Lahirkan Individu Egoistis

BOGOR - Orientasi pendidikan saat ini cenderung mengarah kepada pembentukan pribadi anak didik yang egoistis. Kesuksesan pendidikan diukur semata dari munculnya para siswa dengan prestasi akademik gemilang, namun mengabaikan perkembangan interaksi sosial mereka dengan lingkungannya.

Pluralisme bangsa tidak lagi dipandang sebagai unsur penting pendidikan. Padahal, dalam konteks Indonesia, pendidikan seharusnya mengajarkan paradigma inklusifisme agar seorang anak bisa belajar menghargai keberagaman.

"Apa di masa mendatang Indonesia mau dipenuhi oleh lihat anak-anak super, yang pintar, bisa bahasa Mandarin, Inggris, tapi tidak bisa menghargai orang lain, tidak bisa menghargai perbedaan?" ujar Dewan Pembina Komunitas Air Mata Guru (KAMG) Denni B Saragih yang ditemui dalam sebuah kegiatan, di Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/5).

Menurut Denni, saat ini prinsip yang terkandung dalam kebijakan pendidikan nasional bersifat pragmatis. Anak didik diajar menempatkan target kelulusan sebagai satu-satunya tujuan akhir pendidikan. Dampaknya, para siswa menjadi terasing dengan lingkungannya, karena tuntutan mengikuti sejumlah les guna mendongkrak prestasi dalam ujian nasional (UN).

"Anak-anak itu sudah kurikulumnya padat, diberi lagi les tambahan, ada UN, akibatnya anak-anak jadi stres, depresi, padahal seharusnya sekolah itu jadi penjamin mereka punya waktu luang, waktu bermain, interaksi," tandas Denni yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Agama dan Pemasyarakatan Poros Pemikiran Transformasi dan dewan pembina di Masyarakat Pendidikan Sumatera Utara.

Denni mengatakan kebijakan UN tidak memandang proses pendidikan sebagai hal penting. Lewat UN, para siswa justru dilatih menghalalkan segala cara untuk mencapai standar kelulusan. Perilaku siswa akhirnya justru kontraproduktif dengan nilai-nilai pendidikan itu sendiri.

Mercusuar

Kebijakan UN, kata Denni, telah menciptakan kurikulum tersembunyi, yakni ajaran berbuat curang. Hal tersebut bertentangan dengan harapan pemerintah untuk menjadikan UN sebagai ujian kejujuran.

"Jangan buat kebijakan pendidikan seperti mercusuar, kelihatannya hebat padahal di dasarnya rapuh. Tidak semua anak jenius, banyak anak yang narkoba, miskin, orang tuanya kawin cerai," tutur Denni.

Denni menegaskan sistem pendidikan juga harus diprioritaskan kepada pembangunan kultur bangsa. Di dalamnya, anak didik dilatih menggali kekayaan bangsa sehingga dapat menanamkan semangat nasionalisme.

"Kita ingin punya anak bahagia, bisa hidup bersama antara Budha, Islam, Kristen, Hindu, dengan orang dari berbagai suku, bisa membaca buku bersama," harapnya.

Selain itu, Denni mengatakan pendidikan seharusnya juga meningkatkan kualitas hidup siswa. Menurutnya, saat ini sebagian besar siswa berasal dari keluarga miskin. Mereka umumnya tidak mendapatkan hak atas pendidikan yang layak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Sekolah, Roder Nababan SH kepada SP di Medan, Sumatera Utara mengatakan, kebijakan pemerintah dalam menerapkan pendidikan secara nasional masih belum jelas. Budi pekerti yang seharusnya ditanamkan mulai dari sekolah malah tidak dilakukan, sehingga akibatnya anak didik lebih gampang mengingat budaya yang masuk dari pada menelaah ajaran guru di sekolah. [NCW/AHS/M-15]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/03/index.html

Tidak ada komentar: