22 Maret 2008

Dikmenti DKI Tolak Pendidikan Gratis

Penggratisan biaya sekolah hanya untuk siswa yang tidak mampu.



Republika, 22/3/2008
JAKARTA - Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta menolak penerapan pendidikan gratis di tingkat SMA/SMK. Kepala Dikmenti DKI, Margani M Mustar, menilai pendidikan gratis justru menimbulkan dampak negatif.

Margani menjelaskan, jika digratiskan terdapat kecenderungan orangtua akan menyerahkan seluruh kegiatan pendidikan anak-anaknya kepada sekolah. Sehingga, meminimalisasi partisipasi orangtua. Padahal, lanjutnya, pendidikan tidak hanya mengenai biaya. "Tapi ada kontribusi moral dan dukungan lain. Untuk itu, akan berbeda jika ada beban dan tanggung jawab dari orangtua," ujarnya di Jakarta, Rabu (19/3).

Biaya yang dibutuhkan untuk menggratiskan sekolah juga cukup tinggi, Ia memperkirakan dibutuhkan dana Rp 4 triliun per tahun untuk program gratis sekolah di tingkat SMA/SMK. Anggaran itu digunakan membiayai sebanyak 380 ribu siswa miskin yang tersebar di 116 SMA dan 62 SMK negeri serta 580 SMA dan 387 SMK swasta.

Untuk itu, menurut Margani, pendidikan gratis untuk siswa SMK/SMA belum perlu dilakukan. Ia menuturkan, masih banyak program prioritas Pemprov DKI yang menyangkut kepentingan publik yang mesti segera direalisasikan. Seperti, penanganan banjir dan kesehatan bagi keluarga miskin.

Selain itu, pendidikan gratis juga bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan biaya pendidikan dilakukan secara bersama antara pemerintah, dan masyarakat. Penggratisan biaya sekolah hanya dilakukan untuk siswa yang tidak mampu.

Di Jakarta, paparnya, memang masih terdapat masyarakat miskin. "Tapi, yang kaya juga banyak," imbuhnya. Untuk itu, kata Margani, pihaknya lebih memilih subsidi silang untuk memudahkan anak-anak tidak mampu agar tetap bersekolah. "Hal yang terpenting sekolah untuk semua. Sekolah murah dan terjangkau," ujarnya.

Margani menyambut baik pengembalian dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) yang termasuk dalam program prioritas Pemprov DKI. Sayangnya, tambahnya, alokasi anggaran untuk program beasiswa, inisiasi wajib belajar dan program rawan putus sekolah masih dihapus.

Dana inisiasi wajib belajar ini merupakan dana personal bagi siswa tidak mampu. Pada 2007, sebanyak 2.631 siswa dibiayai melalui program putus sekolah sebesar Rp 7,5 miliar dan 2.612 siswa mendapat dana inisiasi Rp 7,5 miliar. Sementara dari APBN, sebanyak 29.635 siswa mendapat bantuan khusus murid sebesar Rp 23,1 miliar serta 1.527 siswa mendapat bantuan dari BAZIS sebesar Rp 1,8 miliar.

''Namun, pada tahun ini dana inisiasi dan beasiswa dihapus," ungkapnya. Margani menambahkan, pihaknya akan kembali mengajukan dana inisiasi dan beasiswa ini pada perubahan APBD 2008. "Atau, kami harus mencari alternatif pendanaan lain,'' ungkapnya. Meski tidak adanya alokasi dana beasiswa dan inisiasi ini, Margani mengingatkan, para kepala sekolah untuk mengeluarkan siswa yang tidak mampu.

Soal dana inisiasi dan beasiswa dihapus, anggota Komisi E DPRD DKI, Slamet Nurdin, dan Agus Darmawan, membantah pencoretan tersebut. Dikmenti DKI tidak pernah mengajukan anggaran yang ditengarai dicoret tersebut. "Termasuk juga BOP. Itu adanya cuma di Dikdas. Dikmenti tidak ada," terangnya.

Senada dengan Nurdin, Agus menyatakan, dewan justru menambah dana pendidikan gratis yang sebelumnya tidak pernah dianggarkan Dikmenti. Ia menyebutkan, dana sebesar Rp 69 miliar tersebut dimasukkan ke pos Sekretariat Daerah. Agus mengklaim, dana tersebut bisa membiayai siswa dari keluarga miskin sekitar 30 orang dengan alokasi per murid per bulan sekitar Rp 400 ribu. Selain itu, lanjutnya, DPRD juga mengalokasikan dana tambahan sekitar Rp 9 miliar untuk pengadaan buku.

DPRD menyesalkan mekanisme pembiayaan yang dilakukan Dikmenti saat ini justru rawan pungutan. Meski para siswa tidak mampu telah mendapat alokasi dana APBD, paparnya, Dikmenti terkesan membiarkan sejumlah kepala sekolah melakukan pungutan kepada orangtua siswa.--

Tidak ada komentar: