17 Februari 2008

Ranjau-ranjau Dana Sekolah

Teguh Imawan,
Ketua Bidang Kelembagaan dan Humas Komite SD Negeri Percontohan Tebet Timur 15 Jakarta

Rencana pemerintah meringankan beban orangtua murid SD-SMP dari biaya pendidikan melalui pengadaan buku gratis diragukan efektivitasnya. Karena itu, perlu diwaspadai kemungkinan penyalahgunaan anggaran sekolah oleh birokrat maupun pengelola sekolah penerima dana bantuan operasional sekolah alias BOS buku tersebut. Pasalnya, alokasi dana dapat dialihkan untuk keperluan lain (Kompas, 13 Juni 2006).

Bahwa pengalihan penggunaan dana itu telah menjadi rahasia umum. Sudah jamak pula, (kepala) sekolah menganggap pengelolaan keuangan sekolah adalah zona terlarang dijamah orangtua siswa. Masih belum umum juga orangtua siswa merasa memiliki hak untuk tahu pengelolaan keuangan sekolah. Perkawinan kondisi rahasia umum dan belum umum itu berlanjut bila (kepala) sekolah tak berniat melibatkan orangtua.
Umumnya, (kepala) sekolah yang tak mau transparan berkolaborasi dengan pengurus komite sekolah (dulu BP3) yang berniat jelek memetik "keuntungan" dengan "memanfaatkan" celah ketidaktahuan/ketidakmautahuan orangtua. Buah kolaborasi apik itu biasanya adalah gelapnya penggunaan uang sekolah sehingga orangtua tak tahu persis ke mana uang mengalir dan berlabuh.
Bahwa kini orangtua siswa kaya informasi seputar aturan sekolah memang tak terbantah. Bahwa hanya sedikit orangtua peduli dan mau turun langsung ke sekolah merupakan fakta yang tak bisa dimungkiri.
Kiranya, momentum emas bangkitnya kemauan itu mencuat saat dana BOS mengalir ke sekolah. Apalagi bila media massa gencar memberitakan pentingnya sisi pengawasan dana agar tak "bocor" di lapangan.
Seiring datangnya BOS, gelombang pergantian masa kepengurusan komite sekolah menerjang seantero Jakarta. Kalau menyimak liputan dan ulasan media soal proses pemilihan pengurus komite, sungguh memprihatinkan. Dalam beberapa kasus, proses pemilihan terkesan direkayasa atau dicukongi karena kepentingan dan alasan tertentu.

Komite sekolah
Biasanya, pada saat mengawali masa kerja komite, pengurus bertanya, apa program yang layak digulirkan. Lazimnya, ada harapan betapa orangtua ingin transparansi aktivitas dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM), termasuk pengelolaan keuangan sekolah. Di tengah pekatnya kultur ketertutupan sekolah, komite bisa menetapkan program kerja, yang salah satunya adalah pengelolaan keuangan secara amanah, jujur, transparan, dan akuntabel.
Pilar program itu menjadi landasan komite mengajak sekolah untuk menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang melibatkan orangtua. Ini karena, sebelumnya, RAPBS dibuat hanya untuk kepentingan pelaporan ke dinas pendidikan, bukan ke orangtua.
Memang, tekad berpartisipasi itu mendapat tantangan berat, khususnya dari pihak (kepala) sekolah yang ogah-ogahan merespons program komite. Indikatornya, atas inisiatif sendiri kepala sekolah tak pernah mau memberikan informasi seputar persekolahan.
Beruntung pula untuk awal kepengurusan komite sekolah yang berbarengan dengan masa penyusunan RAPBS. Penyusunan RAPBS dapat ditancapkan sebagai tonggak penegakan prinsip pengelolaan keuangan secara amanah, jujur, transparan, dan akuntabel. Karena prinsip normatif diajukan oleh komite yang diakui keberadaannya di sekolah, maka (kepala) sekolah tiada pilihan lain kecuali mengakomodasi.

Ranjau APBS
Upaya menyusun APBS partisipatif masih menghadapi medan ranjau problematika. Pertama, ranjau regulasi. Secara "teori" APBS memang cantik. Tapi, jujur harus disebutkan, ia masih begitu lemah saat implementasi.
Kelemahan mendasar terletak pada rendahnya kompetensi teknis pihak (kepala) sekolah mengelola keuangan sekolah secara baik. Kadang niat sekolah mengacu juklak-juknis tak mulus karena harus mengikuti "juklak-juknis" dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/kota, yang di-"tekak-tekuk" karena alasan tertentu.
Imbasnya adalah adanya persepsi di kalangan komunitas sekolah betapa susah, bertele-tele, dan rumitnya menyusun APBS. Negatifnya, ada guru dan orangtua memandang menyusun APBS identik ribet, bahkan bisa dipolitisasi bahwa menyusun RAPBS partisipatif hanyalah cara pengurus komite hendak mengobok-obok manajemen sekolah.
Kedua, ranjau pencairan. Kenyataannya, pencairan dana BOS atau bantuan operasional pendidikan (BOP, untuk DKI Jakarta) ke rekening bank sekolah tidak di awal bulan KBM, tapi cair di bulan kedua dan ketiga. Ini sungguh berbahaya karena membuat sekolah kelabakan menutup biaya langsung KBM.
Bisa jadi, pola pencairan seperti itu melahirkan—sebut saja—"bandar sekolah". Bandar ini menalangi kebutuhan uang tunai sekolah selama uang BOS-BOP belum cair. Hanya saja, bandar menetapkan syarat tertentu. Misalnya, pelaporan pengeluaran keuangan sesuai besar angka anggaran, bukan angka riil pengeluaran.
Nah, selisih antara angka anggaran dan angka riil itulah keuntungan bandar. Bila sekolah—atas permintaan bandar—merekayasa pelaporan keuangan untuk memaksimumkan keuntungan, maka APBS sungguh rawan. Logika dagang itu berdampak pada rendah atau anjloknya kualitas barang dan mutu layanan riil yang diterima siswa/sekolah.
Pada gilirannya, APBS partisipatif bagus di atas kertas, namun tak bisa dilaksanakan. Tak jarang APBS partisipatif hanya menjadi dokumen melegalkan bandar mengeruk uang BOS dan BOP. Dengan demikian, niat luhur meningkatkan kualitas layanan pendidikan terkubur.
Ketiga, ranjau pengawasan. Pengawasan keuangan sekolah merupakan tahap akhir yang penuh waswas. Rasa waswas niscaya menghantui (kepala) sekolah yang menyusun APBS secara tak jujur, gelap, dan tidak akuntabel.

Tahap pengawasan
Dari sudut pandang komite sekolah, rasanya tahap pengawasan ini perlu dimonitor. Alangkah baiknya bila pejabat pengawas sekolah melibatkan komite (minimum dimintai pendapat atau informasi) saat melakukan monitoring, evaluasi, pengawasan, dan pelaporan keuangan.
Tujuannya, satuan pengawas kecamatan, kota, dan provinsi benar-benar memperoleh data secara utuh, tidak sepihak. Ini perlu karena APBS mencantumkan belanja uang untuk kegiatan monitoring, evaluasi, dan pengawasan. Orangtua perlu tahu aktivitas riil kegiatan tersebut sehingga pos belanja itu menjadi akuntabel.
Mengembangkan pengelolaan keuangan sekolah secara amanah, jujur, transparan, dan akuntabel adalah pekerjaan berat, melelahkan, serta banyak tantangan dan godaan. Upaya menyusun APBS partisipatif acapkali menjadi bahan tertawaan di kalangan (kepala) sekolah, guru, orangtua, dan birokrasi pendidikan yang berkultur "gelap" dan mengomersialkan sekolah demi menebalkan kantong diri sendiri.
Di tengah medan ranjau APBS partisipatif, masih mencuat harapan. Siapa pun yang peduli dan mau merealisasikannya, minimal telah melakukan sesuatu yang bermakna. APBS partisipatif yang dilaksanakan secara konsisten merupakan teladan langsung ke anak-anak kita mengenai keanggunan nilai kejujuran dan sikap konsisten. Sebuah nilai dunia pendidikan yang terkikis oleh mengerutnya idealisme dan perkasanya dorongan komersialisasi sekolah.

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0608/26/Didaktika/2903592.htm

Tidak ada komentar: