Kompas, Sabtu, 3 Mei 2008
Ujian nasional menjadi ritual yang begitu menakutkan. Birokrasi negara menempatkan UN sebagai upacara edukasi yang amat sakral.
Seluruh guru dan siswa wajib mengikuti ujian nasional (UN). Siapa yang menentangnya pasti menghadapi kekonyolan. Mempertanyakan UN sama dengan membenturkan kepala ke tembok. Di situlah UN menjelma sebagai berhala pendidikan yang tak memuat kebenaran sesuai situasi sosial yang melingkupinya.
Sebagai berhala pendidikan yang diyakini kebenarannya oleh negara, semua sumber keuangan, kecerdasan, bahkan keamanan harus dipasrahkan bagi UN. Tidak mengherankan bila dikatakan, UN menciptakan kekerasan struktural dalam tatanan birokratis pendidikan. Kepala sekolah mewajibkan para guru melatih kognisi siswa dengan metode drill agar siswa mahir merespons soal- soal yang diujikan.
Dalam keadaan represif semacam itu, para guru tidak lagi berperan sebagai pendidik yang punya otoritas untuk mengajarkan dan menilai kembali kemampuan siswa. Guru tidak lebih dari tutor yang mendoktrinkan aneka strategi jitu menjawab soal-soal ujian secara efisien. Sekolah pun bertransformasi sebagai lembaga bimbingan belajar, tak lebih dari lembaga kursus.
Emansipasi sirna
Korban utama akibat UN yang represif adalah siswa. Pendidikan yang seharusnya menghadirkan emansipasi, pencerahan, dan kegembiraan sirna. Kalangan siswa dicekoki latihan. Drilling (konsep pelatihan yang hanya dikenal dalam institusi militer) menggeser learning (pembelajaran secara intensif dalam lembaga pendidikan). Semua ini terjadi akibat UN diberhalakan sebagai satu-satunya kualifikasi untuk menentukan kelulusan. Guru yang merasa kasihan jika siswanya tidak lulus dan kepala sekolah yang dibebani target kelulusan bersiasat mempraktikkan kecurangan.
Tragisnya, praktik ketidakjujuran itu diketahui aparat keamanan. Detasemen Khusus 88 Antiteror melakukan penyergapan. Kalangan pendidik terancam dipidanakan karena dinilai telah membocorkan rahasia negara.
Pantaskah aksi-aksi itu dijalankan untuk menangkap oknum pendidik? Bukankah yang menciptakan terorisme, yang bermakna menggulirkan ancaman yang menakutkan, adalah negara yang mengokohkan UN sebagai berhala pendidikan? Tragisnya, negara tidak pernah peduli jika UN sudah menjelma sebagai berhala berwatak teroristik.
Sikap keras kepala pejabat negara yang tetap menjadikan UN sebagai berhala menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti filsafat dasar pendidikan. Harold H Titur dalam (Living Issues in Philosophy, 1995:15) mengatakan, filsafat pendidikan adalah penerapan posisi-posisi filosofis secara umum pada persoalan pokok pendidikan, yaitu (1) tujuan dasar dan sasaran spesifik pendidikan; (2) metode pengajaran dan belajar; dan (3) kurikulum.
Ketika UN dijadikan kualifikasi absolut kelulusan, persoalan manakah yang berhasil dijawabnya? Boleh jadi hanya pada problem kurikulum. Ironisnya, kurikulum merupakan persoalan tersier dalam pendidikan. Artinya, negara menyangkal sendiri filsafat pendidikan saat dengan berbusa-busa menegaskan tujuan pendidikan adalah "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa".
Tujuan mulia itu hanya dapat diterapkan jika negara memahami masalah utama pedagogi, seperti kualitas pendidik, kondisi sosial-ekonomi siswa, proses belajar-mengajar, dan ketersediaan sarana edukasi yang memadai.
Sumber ketidakmengertian
Mengapa banyak pejabat negara menunjukkan watak keras kepala sehingga tetap menjadikan UN sebagai kebenaran tunggal yang tidak boleh disangkal?
Jawabannya, ketika suatu kebijakan telah diberhalakan, para penentu juga dikuasai aneka berhala pemikiran. Merujuk pemikiran Francis Bacon (1561-1626), berhala dalam hal ini merupakan tipuan potensial atau sumber ketidakmengertian yang menyelubungi dan mengacaukan pengetahuan kita terhadap kenyataan eksternal. Ada empat jenis berhala yang berkuasa.
Pertama, berhala suku, yang berarti kelemahan dan kecenderungan yang secara alamiah ada dalam diri manusia. Contohnya, pikiran penuh harap karena manusia bertendensi menerima, meyakini, dan membuktikan hal yang lebih disukai sebagai kebenaran.
Kedua, berhala gua yang ditunjukkan distorsi, prasangka, dan keyakinan akibat latar belakang keluarga, pengalaman, kelas sosial, dan sebagainya.
Ketiga, berhala arena pasar yang muncul dari kerja sama dan perpaduan antarmanusia, seperti kosakata dan jargon-jargon dari komunitas akademis dan disiplin ilmu tertentu.
Keempat, berhala drama yang merefleksikan peniruan kebenaran artifisial yang berasal dari gagasan yang dipenuhi takhayul.
Pemberhalaan UN menunjukkan betapa para penentu kebijakan hanya melandaskan pada kepentingan preferensi sepihak. Selain itu, penerapan UN yang bersifat absolut didasarkan pengalaman partikular pejabat, slogan akademis dari disiplin ilmu tertentu, dan gagasan yang tidak sudi membuka terhadap kebenaran alternatif.
Sebagai berhala, UN menuntut pengorbanan, entah kecurangan, pemidanaan, atau kecemasan yang menghardik kewarasan.
Triyono Lukmantoro Pengajar Filsafat Ilmu pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar