03 Mei 2008

Pendidikan Nasional, Aspek Moralitas Terabaikan

Pendidikan yang kita terapkan belum memberikan tempat bagi terciptanya sinergi antara pendidikan berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikanberbasis afektif ((Rektor Atma Jaya Jakarta FG Winarno)

Didit Majalolo

Ribuan guru dan pegawai honorer berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, Jumat (2/5), menuntut pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur pengangkatan menjadi CPNS/PNS. Mereka juga mengeluhkan penghasilan yang sangat rendah.

[JAKARTA] Pendidikan nasional di Indonesia telah terjebak pada orientasi mengedepankan aspek kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderung terabaikan. Selain itu, pendidikan nasional mulai kehilangan roh keindonesiaannya yang berfalsafah Pancasila.

Akibatnya, pembangunan pendidikan nasional yang sudah berjalan selama 63 tahun kemerdekaan, gagal melahirkan manusia Indonesia yang bertanggung jawab, jujur, dan berintegritas tinggi. Tidak heran bila kini Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi dan kriminalitas yang tinggi, perusak lingkungan, serta sejumlah cap negatif lainnya.

Demikian benang merah pemikiran Rektor Atma Jaya Jakarta FG Winarno, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Endang Sumantri, dosen FISIP Uncen Jayapura Beatus Tambaib, Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman, serta pakar pendidikan HAR Tilaar, yang dihubungi SP secara terpisah terkait peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008.

"Selain tidak memiliki cetak biru yang jelas, benang kusut pendidikan nasional juga dikarenakan pendidikan yang kita terapkan belum memberikan tempat bagi terciptanya sinergi antara pendidikan berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikan berbasis afektif," ujar Winarno.

Padahal, amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas sangat jelas, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilandasi dengan falsafah Pancasila.

"Sesungguhnya, fondasi dasar pendidikan kita secara filosofi dan falsafah sudah sangat bagus," tuturnya.

Untuk itu, kata Winarno, perlu ditemukan konsep pendidikan yang dapat memberikan gambaran orientasi yang utuh sebagai jalan keluar dalam upaya memanusiakan manusia Indonesia yang kita idam-idamkan.

Endang Sumantri mengatakan, paradigma pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi, dan semangat. "Kesemuanya itu bakal berjalan baik apabila didasari oleh Pancasila untuk tetap menjaga bangsa Indonesia dalam ideologinya sendiri," ujarnya.

Endang merekomendasikan, untuk dapat melaksanakan paradigma pendidikan tersebut, generasi muda harus mendapatkan pendidikan nilai yang di dalamnya ada agama, ideologi dan budaya bangsa, serta pendidikan karakter dan politik.

"Pelaksanaannya dipercayakan kepada sekolah untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis karakter kebangsaan," ucapnya.

Pendidikan yang berkarakter ini, sambung Endang, menekankan pada tiga komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan bermoral.

"Ini diperlukan agar siswa mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan," katanya.

Namun, dia mengingatkan, semua hal baik itu bakal sia-sia jika tidak dibarengi dengan pendidikan politik bagi generasi muda. Menurutnya, dari pendidikan politik itu bisa didapatkan generasi yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga memiliki kesadaran yang tinggi sebagai warga negara.

Terjebak Liberalisasi

Senada dengan itu, Beatus Tambaib menilai arah kebijakan sistem pendidikan nasional mulai terjebak dalam sistem pendidikan dengan modernisasi, liberalisasi ekonomi, politik, demokrasi, dan globalisasi yang mengedepankan tawaran-tawaran yang bersifat individual, materialistis, dan konsumerisme. Pendidikan lebih banyak mengejar aspek kecerdasan intelektual (kognitif), tanpa diimbangi dengan pendidikan moral dan kebudayaan yang menjadi karakter Indonesia.

''Karena sistemnya diarahkan seperti itu, dapat dilihat bahwa banyak orang pintar dan cerdas, namun banyak melakukan perbuatan tak beradab dan tidak punya rasa malu jika melakukan korupsi,'' ujarnya.

Sementara Suparman berpendapat, ketidakmampuan pemerintah menyediakan anggaran pendidikan yang tidak diikuti adanya cetak biru atau grand design merupakan penyebab makin terpuruknya kondisi pendidikan nasional.

Konsep pendidikan yang dimiliki pemerintah saat ini belum mempunyai visi yang jelas. Akibatnya, baik pelaku maupun penyelenggara pendidikan masih perlu meraba-raba arah dan tujuan pendidikan nasional yang diinginkan.

"Seharusnya seluruh pemangku kepentingan pendidikan mulai dari Departemen Pendidikan, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya, serta pemerintah daerah, dapat bersama-sama merumuskan cetak biru kebutuhan pendidikan nasional terkait pembangunan moral dan etika kebangsaan, di samping mempersiapkan manusia Indonesia mandiri dan berjiwa kewirausahaan," katanya.

HAR Tilaar menambahkan, perbaikan pendidikan yang selama ini dilakukan terasa hanya tambal sulam. "Kita belum menyentuh masalah yang prinsip, yakni masalah-masalah yang harus diperbaharui. Kita seakan-akan hanya jatuh cinta pada hal-hal baru, tetapi tidak membuat perbaikan, mulai dari masalah-masalah yang mendasar," ujarnya.

Manusia Seutuhnya

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengungkapkan, paradigma pendidikan Indonesia saat ini adalah ingin membangun manusia seutuhnya, bukan lagi paradigma pendidikan yang hendak membangun sumber daya manusia (SDM) yang lebih besar. Sebab, SDM dalam istilah sehari-harinya adalah pekerja.

"Melalui pendidikan kita tidak hanya sekadar mencetak para pekerja, tapi kita ingin mencetak manusia yang seutuh-utuhnya dari pendidikan kita, tidak hanya ingin menghasilkan pekerja. Kita ingin menghasilkan politisi, cendekiawan, budayawan, sastrawan, olahragawan, alim ulama, dan sebagainya," ujarnya kepada SP se-usai memimpin upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional, di Jakarta, Jumat (2/5).

"Mau mencari orang Indonesia yang bisa jadi bupati atau anggota DPR sangat sulit, Mentalnya adalah mental pekerja yang menunggu perintah, tidak berani mengambil risiko, dan tidak berani mengambil kebijakan. Ini sangat berisiko kalau kita hanya mencetak para pekerja saja," ujarnya. [GAB/153/W-12/E-5]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/02/index.html

Tidak ada komentar: