Ki Supriyoko
"Sesungguhnya alam keluarga itu bukannya pusat pendidikan individual semata, tetapi juga suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Untuk jaman sekarang haruslah ibu-bapa melakukan pendidikan itu tidak dengan sendirian atau berpisahan dengan pusat-pusat pendidikan lain, akan tetapi haruslah selalu berhubungan diri dengan kaum guru dan pengajar" (Ki Hadjar Dewantara)
Pemerintah boleh saja membangun gedung sekolah yang megah, boleh mengisi dengan peralatan yang sophisticated, juga boleh membuat sistem pendidikan yang hebat; namun ada satu hal yang tak boleh dilupakan bahwa pusat pendidikan yang paling utama bagi sang anak adalah keluarga.
Konsep keluarga sebagai pusat pendidikan yang dinyatakan Ki Hadjar Dewantara, yang hari lahirnya 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional, telah diakui para pakar pendidikan di dunia. Interaksi antarpersonal di keluarga memang spesifik: bersifat emosional (dalam konotasi positif), akrab, tidak formal, tidak birokratis, namun penuh harapan. Situasi seperti ini memikat sekaligus mengikat sang anak untuk mengembangkan potensi dan kepribadiannya secara konstruktif.
Dari karakter seperti itulah maka muncul konsep pendidikan keluarga, yang dalam UU Sisdiknas diistilahkan sebagai pendidikan informal.
Temuan Ilmiah
Pentingnya pendidikan keluarga bagi pengembangan potensi sang anak memang tidak perlu diragukan lagi. Beberapa pakar dan praktisi pendidikan sependapat bahwa anak merupakan sumber harapan bagi seluruh anggota keluarga, karena itu segala yang dianggap paling baik untuk mengembang-kan potensi maka keluarga tidak segan- segan melakukannya.
Marjoribanks melukiskan adanya delapan variable sosio-psikologis di dalam keluarga: (1) aspirasi masa depan sang anak, (2) aspirasi orang tua, (3) perhatian akan kegunaan "bahasa", (4) penguatan atas aspirasi sang anak, (5) kesadaran kemajuan pendidikan sang anak, (6) dorongan untuk kemajuan pendidikan sang anak, (7) kebebasan, dan (8) orientasi nilai (Marjoribanks, "Families and Their Learning Environments: An Empi-rical Analysis",1979). Pendapat ini melukiskan betapa besarnya harapan terhadap pengembangan potensi sang anak.
Keharmonisan yang tercipta dalam sebuah keluarga secara otomatis akan meningkatkan intensitas pendidikan keluarga yang bersangkutan yang akan membawa dampak positif bagi banyak hal terhadap sang anak: misalnya dalam hal pengembangan kepribadian, pengembangan keterampilan sosial, peningkatan prestasi belajar, peningkatan karier, dan sebagainya (Aldendorf, "De Psychologie van Het Sociale Leven", 1973).
Kalau keharmonisan membawa dampak positif bagi pendidikan sang anak maka sebaliknya "kebrengsekan" keluarga membawa dampak negatif bagi pendidikan sang anak.
Dalam bukunya Simanjuntak, "Etiologi Juvenile Delinquency" (2004) disebutkan: Breckinridge and Abbot mengatakan bahwa 34 persen dari 13.000 anak nakal di Amerika Serikat (AS) berasal dari keluarga "brengsek"; Municipal of Court of Philadelphia mengidentifikasi 47 persen remaja nakal berasal dari keluarga berantakan, dan dari yang nakal ini kebanyakan wanita. Angka serupa yang diidentifikasi California Youth Authority bahkan mencapai 62 persen, dan angka versi US New Children Burreau menunjukkan angka yang hampir sama besarnya. Semua ini membuktikan bahwa pendidikan keluarga pada keluarga berantakan memang tidak efektif.
Digalakkan di Indonesia
Pendidikan keluarga bisa produktif. tetapi mengapa di Indonesia tidak dijalankan secara efektif? Karena banyak pakar kita yang mengacu teori klasik dengan mengatakan bahwa pendidikan keluarga itu manifestasi dari sistem pendidikan informal yang tertandai operasionalisasinya tanpa kuri-kulum yang jelas, tidak sistematis, tidak inovatif, alami dan tertutup. Batasan seperti itu sesungguhnya tidak selamanya tepat dan mengham-bat inovasi pendidikan keluarga itu sendiri.
Kalau kita kembali kepada konsep Ki Hadjar; seharusnya orang tua (keluarga) melakukan kerja sama dengan para guru, pakar, dan pusat-pusat pendidikan di luar keluarga untuk mencari alternatif bagaimana menjadikan pendidikan keluarga lebih produktif. Jadi tidak benar kalau pendidikan keluarga itu bersifat tertutup.
Konsep Ki Hadjar yang kurang "laku" di Indonesia konon justru telah dipraktikkan di Amerika Serikat. Banyak orang tua di kota-kota besar, seperti di Pasadena (California), Cambridge (Massachusetts), Princeton (New Jersey), Bloomfield (Michigan), Irondale (Alabama), Arlington (Vir-ginia), Dallas (Texas), Jericho (New York), dan sebagainya, yang mendidik anaknya secara mandiri. Mereka mendidik sendiri anaknya; tetapi banyak pula yang mengundang guru matematika, fisika, komputer, musik, ke rumah untuk mengajar anaknya dengan kurikulum yang jelas.
Bahkan di AS banyak ditemukan orang tua yang "fanatik"; tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah umum, tetapi memilih "menyekolahkan" anaknya di rumah sendiri melalui pendidikan keluarga.
Di kota-kota besar Indonesia bahkan muncul fenomena yang sebaliknya, yaitu orang tua yang melepaskan tanggung jawab atas pendidikan anaknya, tanpa menciptakan iklim pendidikan di rumah, karena merasa sudah memberikan tanggung jawab tersebut pada sekolah. Hal yang begini sudah barang tentu salah besar.
Sudah saatnya pendidikan keluarga digalakkan di Indonesia. Depdiknas sendiri kiranya perlu segera membuat formulasi bagaimana menjalankan pendidikan keluarga secara produktif!
Penulis adalah dosen Universitas Tamansiswa Yogyakarta serta mantan Ketua Majelis Luhur Tamansiswa
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/02/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar