Oleh Najamuddin Muhammad
Pada tanggal 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Saat ini, acara peringatan rutin tersebut berlangsung di tengah robohnya sekolah kita. Sekolah yang menjadi medium pendidikan nasional telah kehilangan rohnya. Sekolah kita telah digempur badai politik, ekonomi, serta pelbagai kepentingan pragmatis lainnya. Secara lambat laun sekolah kita lepas kendali dan kehilangan eksistensinya sebagai wahana pendidikan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mengopeni anak-anak untuk berlaku jujur, adil, bertanggung jawab, mandiri, toleran, serta memberikan paradigma kritis terhadap pelbagai fenomena sosial, telah tergantikan. Sekolah saat ini telah banyak menciptakan mental koruptif, manipulatif, manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak bisa mandiri, serta manusia yang tidak berkarakter.
Kasus yang paling krusial adalah tidak sehatnya alias curang dalam pelaksanaan UN. Meski pemerintah telah membentuk tim investigasi, tapi kecurangan tetap terjadi. Sebagaimana anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Daerah Sumatera Utara menggerebek SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang, Siang itu sejumlah guru tepergok sedang membetulkan lembar jawaban siswa peserta UN.
Begitu juga kasus di Solo yang dihebohkan oleh penemuan empat telepon seluler yang diaktifkan saat ujian. Padahal, sesuai dengan prosedur operasional standar, siswa dan pengawas tak diperkenankan membawa alat komuniasi itu. Memang tidak ditemukan secara jelas, tapi hal tersebut sudah menandaskan hilangnya etika siswa. Belum lagi beberapa kecurangan yang tidak terdeteksi oleh tim investigasi lantaran berkompromi atau memang tertutup sangat rapat.
Fenomena tersebut merupakan tamparan pelik bagi sekolah. Sekolah sebagai benih penanaman nilai-nilai kemanusiaan ternyata justru terbalik. Kejujuran tidak terjadi di sekolah. Yang ada kecurangan dalam mengerjakan soal. Ironisnya, semua itu terjadi tidak hanya berangkat dari niat terselubung secara personal, tapi seakan sudah menjadi kesepakatan kolektif yang telah direncanakan oleh jajaran struktural sekolah.
Kalau sekolah sebagai penyemai nilai-nilai kemanusiaan sudah roboh, maka tidak heran apabila dalam pelbagai praktik realitas kehidupan sosial sarat dengan kecurangan dan manipulasi. Karena pada dasarnya sebagaimana Ahmad Tafsir (1992) mengatakan bahwa sekolah adalah miniatur masyarakat atau masyarakat dalam bentuk mini. Jika orang ingin meneropong masyarakat teroponglah sekolahnya. Bila sekolah penuh disiplin, maka masyarakatnya tak jauh beda, dan jika sekolah penuh dengan penipuan dan kecurangan, maka penipuan dan kecurangan itu juga terjadi dalam masyarakat.
Akar Masalah
Akar persoalan terjadinya keculasan dan kecurangan di sekolah tidak lepas dari terjadinya disorentasi nilai-nilai pendidikan antara pihak sekolah dengan Depertemen Pendidikan Nasional. Banyak sekolah dari dulu memang tidak setuju dengan adanya UN sebagai patokan kelulusan siswa. Berbagai kritik bermunculan dari pihak sekolah karena dianggapnya UN tidak sesuai dengan nilai-nilai universal pendidikan dan telah merampas otoritas guru dalam mengevaluasi siswa.
Tapi, pihak pemerintah tetap tidak mengacuhkan berbagai keluhan dari pihak sekolah. Pemerintah tetap berpijak pada pendirian awalnya untuk menjadikan UN sebagai alat final evaluasi siswa. Maka sekolah yang melakukan jalan pintas dengan membocorkan jawaban UN menganggap dirinya pantas dan tidak bersalah. Karena sekolah yang melakukan hal tersebut menganggap bahwa alat evaluasi yang benar bukan UN. Sekolah mengikuti UN berangkat dari keterpaksaan. Padahal kalau ada alternatif lain, selain UN, pasti sekolah memilih hal tersebut.
Jadi, pada prinsipnya di balik robohnya tembok moral sekolah kita berakar pada parbedaan pandangan nilai-nilai universal pendidikan. Pemerintah menganggap bahwa out put peserta didik bisa dikatakan berkualitas apabila telah lulus UN. Ujian Nasional yang hanya mengandalkan kecerdasan kognitif dan beberapa lembar kertas menjadi arah utama. Peserta didik dikatakan telah terdidik apabila telah mampu menghapal beberapa materi kurikulum yang telah ditentukan dan menuangkannya dalam bentuk jawaban lembaran UN.
Sekolah menganggap paradigma pemerintah salah dalam memandang nilai-nilai pendidikan. Baginya nilai universal pendidikan terletak pada sejauh mana siswa bisa bertanggung jawab, jujur, adil, dan bisa mandiri. Tidak hanya terpaku pada lembaran-lembaran teks layaknya soal dalam UN. Premis tersebut melegitimasi sekolah untuk berbuat curang dalam pelaksanaan UN. Bagi sekolah itu, perbuatan curang tidak terlalu melanggar nilai-nilia universal pendidikan.
Dua perbedaan pandangan nilai universal pendidikan yang sama-sama egois tersebut berakhir pada robohnya sekolah kita. Pemerintah dengan segala otoritasnya tidak mengindahkan seruan dari berbagai pengamat, praktisi pendidikan dan sekolah itu sendiri. Dan sekolah yang telah berada dalam bingkai kebijakan pemerintah akhirnya terpaksa melakukan kecurangan. Semuanya berakhir pada robohnya sekolah kita.
Nasi sudah menjadi bubur. Itulah cermin pendidikan kita. Pemerintah tetap kukuh dengan pendiriannya dan banyak sekolah roboh dengan dikucilkan oleh pemerintah. Hal yang demikian setidaknya menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama pemerintah yang mempunyai otoritas kebijakan dan sekolah sebagai cermin awal pendidikan nasional. Di antara keduanya setidaknya introspeksi diri di tengah robohnya sekolah kita sebagai penyemai benih nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak selayaknya di antara keduanya mempertahankan pendirian yang pada hakikatnya telah menggerus dan melanggar niali-nilai universal pendidikan. Semunya harus saling menyatukan orentasi untuk melaksanakan pendidikan yang benar-benar holistik. Pendidikan sebagaiman Azra (2002) menegaskan, adalah upaya untuk melahirkan anak-anak manusia yang memiliki pribadi, karakter; bertanggung jawab, jujur, adil, toleran serta menjadi manusia bebas yang mampu menentukan pendapat dan berani mengambil sikap. Maka peringatan Hari Pendidikan Nasional ini adalah momentum bagi kita semua, terutama pemerintah dan sekolah, untuk sama-sama introspeksi, berbenah diri dalam memperbaiki sistem pendidikan. Semuanya harus-sama-sama mengoreksi segala tindakannya yang selama ini telah merugikan pendidikan. Mengembalikan tugas pendidikan sebagai proses penyemai nilai-nilai kemanusiaan dan proses transformasi sosial adalah tanggung jawab pemerintah, sekolah, dan kita semua yang sangat dinanti-nantikan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Penulis adalah Peneliti pada Center For Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar