Jawa Pos 20/4/2008 -- Sejak dua puluh tahun lalu, kelompok umur di bawah 18 tahun menjadi sasaran utama kampanye industri rokok. Itu karena mereka memiliki karakteristik yang serbaingin tahu, keinginan kuat untuk independen, dan memimpikan kebebasan. Apa dampaknya?
Mengutip dokumen rahasia "Perokok Remaja: Strategi dan Peluang", RJ Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984, perokok remaja adalah faktor penting kehidupan industri rokok. Mereka adalah sumber potensial untuk menggantikan pasar perokok veteran yang meninggal akibat penyakit-penyakit yang dibawa rokok.
Strategi industri rokok untuk membuka pasar baru sekaligus memperluas pasar terbukti berhasil. Setidaknya, data pertumbuhan perokok di Indonesia membuktikan bahwa perokok dari kalangan remaja terus meningkat. Deputi Perlindungan Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencatat, pada periode 70-an, perokok termuda adalah kelompok umur 15 tahun. Tapi, pada 2004, perokok termuda sudah pada kelompok usia tujuh tahun.
"Prevelensinya sekitar 13,62 persen. Artinya, dari 141 juta perokok di Indonesia, terdapat 1,92 juta anak yang menjadi perokok aktif sejak berusia tujuh tahun," ujar Ketua Umum Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia dr Rachmat Sentika di Jakarta beberapa waktu lalu.
Data Badan Pusat Statistik dua tahun lalu menyebutkan, pada 2004 populasi perokok pada usia anak-anak cukup tinggi, yakni perokok aktif pada usia 13-15 tahun sebanyak 26,8 persen dan pada usia 5-9 tahun 2,8 persen.
Global Youth Tobbaco Survey (GYTS) WHO juga melaporkan, lebih dari 37,3 persen pelajar di Indonesia adalah perokok aktif. Tiga di antara sepuluh pelajar mengaku mengenal rokok sejak berusia di bawah 10 tahun dan 61,3 persen dari populasi perokok remaja adalah laki-laki. "Dalam survei GYTS 2006, jumlah perokok usia 13-15 tahun di Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia," paparnya.
Besarnya angka perokok anak berbanding lurus dengan perkembangan jumlah perokok di Indonesia. Hasil survei Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, jumlah perokok aktif di Indonesia sekitar 141,4 juta orang dari 234 juta penduduk. Di Asia, Indonesia hanya kalah dari Tiongkok yang memiliki 300 juta perokok di antara 1,2 miliar penduduknya.
"Berita buruknya, dari 141,4 juta perokok di Indonesia, sekitar 84,4 juta adalah warga miskin yang berpenghasilan kurang dari Rp 20 ribu per hari," terang Rachmat Sentika. Dalam survei KPAI juga ditemukan, lebih dari 43 juta anak Indonesia (64,2 persen) hidup serumah dengan perokok sehingga terpapar asap tembakau pasif. Risiko gangguan kesehatan mereka meningkat, karena anak-anak yang terpapar asap tembakau sejak dini rentan mengalami pertumbuhan paru yang lambat, lebih mudah terkena bronkitis, infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga, serta asma.
"Akibatnya, sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan. Kesehatan yang buruk di usia dini juga menjadi salah satu penyebab buruknya kesehatan di saat dewasa," terang Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam diskusi Perlindungan Anak terhadap Bahaya Rokok di Jakarta Rabu lalu.
Rachmat menambahkan, penyebab inisiasi rokok sejak dini di Indonesia adalah coba-coba, pengaruh teman, meningkatkan kepercayaan ketika bergaul dengan orang lain, mengikuti teladan orang tua, dan ingin terlihat gagah. "Persepsi ini dipengaruhi iklan rokok di televisi yang menonjolkan kegagahan dan kejantanan," katanya.
Negara-negara maju yang lebih peduli dengan kesehatan warganya kini mulai menerapkan kontrol ketat terhadap konsumsi rokok. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan pelarangan iklan rokok di tempat dan waktu strategis, edukasi bahaya rokok yang masif, dan konsistensi penegakan hukum pembatasan rokok di tempat umum. "Upaya itu terbukti menurunkan prevelensi pria yang menjadi perokok aktif," katanya.
Di Jepang, prevelensi perokok laki-laki usia 15 tahun turun dari 81 persen pada 1961 menjadi 54 persen pada 2000.(noe/iro)
Tiga dari 10 Anak Indonesia Perokok
Bagaimana remaja bisa mencoba-coba dan selanjutnya mencandu rokok? Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menuding gencarnya promosi dengan jargon-jargon populer yang menyasar pasar remaja adalah umpan efektif. Jargon iklan dirancang sesuai karakteristik remaja yang menginginkan kebebasan, independensi, dan pemberontakan pada norma-norma.
Tak puas lewat iklan di media massa dan media luar ruang, industri rokok juga masuk menjadi sponsor even-even anak muda, seperti konser musik, pemutaran film, seni, budaya, keagamaan, dan olahraga. Mereka juga tak segan membagikan rokok gratis sebagai imbalan pembelian tiket masuk.
"Iklan rokok adalah monster bagi anak-anak. Karena jiwanya masih labil, secara naluri mereka memang mudah terpengaruh," ujar Ketua KPAI Seto Mulyadi dalam paparan hasil penelitian KPAI dan Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sepanjang 2007.
Selama ini belanja iklan nasional memang didominasi rokok. Pada 2006, menurut hasil survei AC Nielsen, belanja iklan rokok mencapai Rp 1,6 triliun, atau sedikit di bawah belanja iklan sektor telekomunikasi yang mencapai Rp 1,9 triliun.
Dalam pantauan KPAI, sepanjang Januari-Oktober 2007 terdapat 2.848 tayangan televisi yang disponsori rokok di 13 stasiun televisi. Juga tercatat 1.350 kegiatan yang diselenggarakan atau disponsori industri rokok. "Pada acara-acara ini kerap kali industri rokok membagi-bagikan rokok gratis kepada pengunjung tanpa pandang usia, kendati bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003," kata psikolog tenar itu.
Riset yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan sepanjang 2007 juga menunjukkan tren yang sama. Sepanjang tahun itu, 9.230 iklan rokok tayang di televisi, 1.780 iklan di media cetak, dan 3.239 iklan di media luar ruang. Dari jumlah tersebut, 5.534 materi iklan melanggar ketentuan. "Ada yang masih menampilkan bungkus rokok, tidak sedikit pula beriklan di area pendidikan," tegas Kepala Badan POM Husniah Rubiana Thamrin.
Gencarnya promo beberapa produsen rokok menuai hasil signifikan. Jumlah perokok pemula, sekitar umur 5-9 tahun, dilaporkan melonjak. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004), menurut Badan Pusat Statistik, persentase perokok pemula naik tujuh kali lipat dari 0,5 menjadi 2,8 persen. "Hampir tiga dari sepuluh anak Indonesia adalah perokok," ujar Kepala Badan POM Husniah Rubiana Thamrin.
Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey (GYTC) 2006, iklan rokok di media massa menjangkau 92,9 persen. Anak-anak terekspos iklan di papan reklame dan 82,8 persen terekspos iklan yang berada di majalah dan koran. (noe/iro)
Indonesia Lima Besar Konsumen Rokok
Remaja di seluruh dunia memang telah menjadi pasar empuk industri rokok untuk menggantikan konsumen loyal yang meninggal akibat dampak buruk rokok. Survei WHO menemukan lima juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit degeneratif akibat rokok, seperti kanker paru dan jantung koroner. Di Indonesia sendiri, survei demografi Universitas Indonesia mencatat 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang dipicu konsumsi rokok.
Besarnya angka itu tak terlepas dari tingginya konsumsi rokok di republik ini. Dalam daftar negara konsumen rokok terbesar 2002, Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dengan 208 miliar batang per tahun. Indonesia hanya kalah dari negara-negara kaya seperti Tiongkok yang melahap 1,634 triliun batang, Amerika Serikat dengan 451 miliar batang, Jepang dengan 328 miliar batang, dan Rusia 258 miliar batang.
Dengan tingkat konsumsi tersebut, tak heran bila 69 persen pria Indonesia adalah perokok aktif. Angka itu tertinggi di Asia, seperti Tiongkok yang 53,4 persen, India 29,4 persen, dan Thailand 39,3 persen.
Tingginya konsumsi rokok suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kematian warganya. Ini tak lain karena dalam sebatang rokok ditemukan lebih dari 4 ribu kimia berbahaya dan 43 zat pemicu kanker. Dalam sebatang rokok sepanjang telunjuk itu, hampir separonya berisi zat beracun seperti hidrokarbon, karbon monoksida, logam berat, tar, dan nikotin yang memicu kecanduan.(noe/iro)
Mengutip dokumen rahasia "Perokok Remaja: Strategi dan Peluang", RJ Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984, perokok remaja adalah faktor penting kehidupan industri rokok. Mereka adalah sumber potensial untuk menggantikan pasar perokok veteran yang meninggal akibat penyakit-penyakit yang dibawa rokok.
Strategi industri rokok untuk membuka pasar baru sekaligus memperluas pasar terbukti berhasil. Setidaknya, data pertumbuhan perokok di Indonesia membuktikan bahwa perokok dari kalangan remaja terus meningkat. Deputi Perlindungan Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencatat, pada periode 70-an, perokok termuda adalah kelompok umur 15 tahun. Tapi, pada 2004, perokok termuda sudah pada kelompok usia tujuh tahun.
"Prevelensinya sekitar 13,62 persen. Artinya, dari 141 juta perokok di Indonesia, terdapat 1,92 juta anak yang menjadi perokok aktif sejak berusia tujuh tahun," ujar Ketua Umum Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia dr Rachmat Sentika di Jakarta beberapa waktu lalu.
Data Badan Pusat Statistik dua tahun lalu menyebutkan, pada 2004 populasi perokok pada usia anak-anak cukup tinggi, yakni perokok aktif pada usia 13-15 tahun sebanyak 26,8 persen dan pada usia 5-9 tahun 2,8 persen.
Global Youth Tobbaco Survey (GYTS) WHO juga melaporkan, lebih dari 37,3 persen pelajar di Indonesia adalah perokok aktif. Tiga di antara sepuluh pelajar mengaku mengenal rokok sejak berusia di bawah 10 tahun dan 61,3 persen dari populasi perokok remaja adalah laki-laki. "Dalam survei GYTS 2006, jumlah perokok usia 13-15 tahun di Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia," paparnya.
Besarnya angka perokok anak berbanding lurus dengan perkembangan jumlah perokok di Indonesia. Hasil survei Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, jumlah perokok aktif di Indonesia sekitar 141,4 juta orang dari 234 juta penduduk. Di Asia, Indonesia hanya kalah dari Tiongkok yang memiliki 300 juta perokok di antara 1,2 miliar penduduknya.
"Berita buruknya, dari 141,4 juta perokok di Indonesia, sekitar 84,4 juta adalah warga miskin yang berpenghasilan kurang dari Rp 20 ribu per hari," terang Rachmat Sentika. Dalam survei KPAI juga ditemukan, lebih dari 43 juta anak Indonesia (64,2 persen) hidup serumah dengan perokok sehingga terpapar asap tembakau pasif. Risiko gangguan kesehatan mereka meningkat, karena anak-anak yang terpapar asap tembakau sejak dini rentan mengalami pertumbuhan paru yang lambat, lebih mudah terkena bronkitis, infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga, serta asma.
"Akibatnya, sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan. Kesehatan yang buruk di usia dini juga menjadi salah satu penyebab buruknya kesehatan di saat dewasa," terang Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam diskusi Perlindungan Anak terhadap Bahaya Rokok di Jakarta Rabu lalu.
Rachmat menambahkan, penyebab inisiasi rokok sejak dini di Indonesia adalah coba-coba, pengaruh teman, meningkatkan kepercayaan ketika bergaul dengan orang lain, mengikuti teladan orang tua, dan ingin terlihat gagah. "Persepsi ini dipengaruhi iklan rokok di televisi yang menonjolkan kegagahan dan kejantanan," katanya.
Negara-negara maju yang lebih peduli dengan kesehatan warganya kini mulai menerapkan kontrol ketat terhadap konsumsi rokok. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan pelarangan iklan rokok di tempat dan waktu strategis, edukasi bahaya rokok yang masif, dan konsistensi penegakan hukum pembatasan rokok di tempat umum. "Upaya itu terbukti menurunkan prevelensi pria yang menjadi perokok aktif," katanya.
Di Jepang, prevelensi perokok laki-laki usia 15 tahun turun dari 81 persen pada 1961 menjadi 54 persen pada 2000.(noe/iro)
Tiga dari 10 Anak Indonesia Perokok
Bagaimana remaja bisa mencoba-coba dan selanjutnya mencandu rokok? Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menuding gencarnya promosi dengan jargon-jargon populer yang menyasar pasar remaja adalah umpan efektif. Jargon iklan dirancang sesuai karakteristik remaja yang menginginkan kebebasan, independensi, dan pemberontakan pada norma-norma.
Tak puas lewat iklan di media massa dan media luar ruang, industri rokok juga masuk menjadi sponsor even-even anak muda, seperti konser musik, pemutaran film, seni, budaya, keagamaan, dan olahraga. Mereka juga tak segan membagikan rokok gratis sebagai imbalan pembelian tiket masuk.
"Iklan rokok adalah monster bagi anak-anak. Karena jiwanya masih labil, secara naluri mereka memang mudah terpengaruh," ujar Ketua KPAI Seto Mulyadi dalam paparan hasil penelitian KPAI dan Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sepanjang 2007.
Selama ini belanja iklan nasional memang didominasi rokok. Pada 2006, menurut hasil survei AC Nielsen, belanja iklan rokok mencapai Rp 1,6 triliun, atau sedikit di bawah belanja iklan sektor telekomunikasi yang mencapai Rp 1,9 triliun.
Dalam pantauan KPAI, sepanjang Januari-Oktober 2007 terdapat 2.848 tayangan televisi yang disponsori rokok di 13 stasiun televisi. Juga tercatat 1.350 kegiatan yang diselenggarakan atau disponsori industri rokok. "Pada acara-acara ini kerap kali industri rokok membagi-bagikan rokok gratis kepada pengunjung tanpa pandang usia, kendati bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003," kata psikolog tenar itu.
Riset yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan sepanjang 2007 juga menunjukkan tren yang sama. Sepanjang tahun itu, 9.230 iklan rokok tayang di televisi, 1.780 iklan di media cetak, dan 3.239 iklan di media luar ruang. Dari jumlah tersebut, 5.534 materi iklan melanggar ketentuan. "Ada yang masih menampilkan bungkus rokok, tidak sedikit pula beriklan di area pendidikan," tegas Kepala Badan POM Husniah Rubiana Thamrin.
Gencarnya promo beberapa produsen rokok menuai hasil signifikan. Jumlah perokok pemula, sekitar umur 5-9 tahun, dilaporkan melonjak. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004), menurut Badan Pusat Statistik, persentase perokok pemula naik tujuh kali lipat dari 0,5 menjadi 2,8 persen. "Hampir tiga dari sepuluh anak Indonesia adalah perokok," ujar Kepala Badan POM Husniah Rubiana Thamrin.
Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey (GYTC) 2006, iklan rokok di media massa menjangkau 92,9 persen. Anak-anak terekspos iklan di papan reklame dan 82,8 persen terekspos iklan yang berada di majalah dan koran. (noe/iro)
Indonesia Lima Besar Konsumen Rokok
Remaja di seluruh dunia memang telah menjadi pasar empuk industri rokok untuk menggantikan konsumen loyal yang meninggal akibat dampak buruk rokok. Survei WHO menemukan lima juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit degeneratif akibat rokok, seperti kanker paru dan jantung koroner. Di Indonesia sendiri, survei demografi Universitas Indonesia mencatat 427.948 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang dipicu konsumsi rokok.
Besarnya angka itu tak terlepas dari tingginya konsumsi rokok di republik ini. Dalam daftar negara konsumen rokok terbesar 2002, Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dengan 208 miliar batang per tahun. Indonesia hanya kalah dari negara-negara kaya seperti Tiongkok yang melahap 1,634 triliun batang, Amerika Serikat dengan 451 miliar batang, Jepang dengan 328 miliar batang, dan Rusia 258 miliar batang.
Dengan tingkat konsumsi tersebut, tak heran bila 69 persen pria Indonesia adalah perokok aktif. Angka itu tertinggi di Asia, seperti Tiongkok yang 53,4 persen, India 29,4 persen, dan Thailand 39,3 persen.
Tingginya konsumsi rokok suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kematian warganya. Ini tak lain karena dalam sebatang rokok ditemukan lebih dari 4 ribu kimia berbahaya dan 43 zat pemicu kanker. Dalam sebatang rokok sepanjang telunjuk itu, hampir separonya berisi zat beracun seperti hidrokarbon, karbon monoksida, logam berat, tar, dan nikotin yang memicu kecanduan.(noe/iro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar