Isu-isu terkini, seperti ujian nasional (unas) yang mekanis dan tidak manusiawi, para petinggi yang korup, para siswa yang hobi tawuran, tentara dan polisi yang juga tawuran, pemeluk agama yang anarkis, artis yang setengah bugil, dan pengusaha yang eksploitatif, sebetulnya tidak lain adalah cermin bopeng hasil pendidikan kita selama ini.
Bagaimanapun, mereka semua adalah produk akhir dari proses pendidikan. Sungguh itu merupakan keadaan yang sangat memprihatinkan. Betapa tidak, sistem pendidikan kita hanya menciptakan noda-noda hitam pada manusia Indonesia. Hal itu terjadi karena pendidikan terlalu mengedepankan pikiran (mind) praktis ketimbang rasa dan batin.
Pendidikan demikian itulah yang menyebabkan keterpurukan kehidupan kita saat ini. Bangsa menjadi terpuruk karena setiap orang berpikiran bahwa pikiran bisa mengatasi segala persoalan hidup.
Padahal, sebetulnya pikiran memiliki kekuatan yang sangat terbatas, tetapi digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang begitu kompleks. Kelemahannya terletak terutama pada ketidakmampuannya memahami realitas secara utuh.
Sebagaimana yang ditengarai Derrida, pikiran hanya menciptakan kesenjangan (gap) antara realitas dan apa yang dipersepsikan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbol berupa kata, kalimat, atau teori. Celakanya, kita telah salah kaprah menganggap bahwa kebenaran pikiran itu mutlak. Seolah-olah tidak ada lagi kebenaran di luar pikiran.
Tercerabut dari Budaya
Keyakinan penuh pada kebenaran pikiran menuntun seseorang untuk percaya secara meyakinkan akan kebenaran teori atau ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Masalah ekonomi diselesaikan dengan teori-teori ekonomi yang sebetulnya lahir di luar budaya lokal kita.
Sebagai contoh, untuk menyelamatkan devisa atau anggaran negara karena harga bahan bakar minyak (BBM) dunia naik hingga USD 120,00/barel, para ekonom cukup memberikan solusi menaikkan harga BBM. Teori ekonomi secara sederhana menjelaskan begitu.
Sederhananya, agar anggaran tidak defisit, cukup naikkan pendapatan dari sumber yang murah, mudah, dan cepat diperoleh. Itulah solusi yang ditawarkan ekonom. Begitu sederhana dan mekanis! Solusi tersebut tidak memperhitungkan hal lain di luar aspek ekonomi.
Teori ekonomi yang digunakan tidak memperhatikan aspek sosial, budaya, dan nilai-nilai lokal karena klaimnya yang bebas nilai (value-free). Solusi tersebut bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah-masalah sosial yang lebih kompleks daripada masalah ekonomi itu sendiri.
Contoh lain adalah sistem ujian nasional (unas) yang sedang dilaksanakan saat ini. Pemerintah mengambil cara yang begitu praktis (dan cenderung tidak bertanggung jawab). Untuk menjaga kualitas, cukup lakukan kontrol pada akhir proses dengan menetapkan beberapa indikator (mata pelajaran) untuk menetapkan kualitas pendidikan.
Sungguh itu adalah teori kualitas yang begitu naif. Sangat tidak mungkin jika kualitas sistem pendidikan hanya dilihat dari produk akhirnya, tanpa memperhatikan proses dan infrastrukturnya sejak awal.
Akibatnya, bukan kualitas baik yang diperoleh, tetapi justru timbul masalah-masalah baru, seperti kewenangan guru untuk mendidik menjadi hilang, berubahnya sekolah menjadi hanya berfungsi semacam lembaga kursus, perilaku guru dan siswa yang menyimpang, dan hilangnya makna pendidikan dalam masyarakat.
Guru dan siswa menjadi asing dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Guru tidak bisa mengendalikan siswanya yang tawuran. Guru tidak lagi dapat mengendalikan siswanya ketika saat dewasa menjadi petinggi yang korup. Guru tidak bisa lagi mengendalikan tentara dan polisi tawuran yang dulu adalah mantan muridnya.
Itulah kenyataan yang ada sekarang, pendidikan yang hanya mengandalkan pikiran praktis. Pendidikan yang tidak mampu mengasah ketajaman rasa (feelings) dan hati nurani (God-spot). Wajar saja produk yang dihasilkan dengan sistem seperti itu hanya berupa manusia yang mati rasa dan buta hati nuraninya.
Berbasis Hati Nurani
Sekali lagi, pikiran memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Pikiran selalu menghalangi hadirnya kekuatan rasa yang dipancarkan hati nurani. Hati nurani itu tidak lain adalah percikan Tuhan (God-spot) yang ada dalam diri setiap orang. Hati nurani yang hidup dan aktif akan mencerahkan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang. Dengan kata lain, Tuhan selalu membimbing pikiran, perkataan, dan tindakan orang tersebut.
Secara ideal, sistem pendidikan kita mestinya berbasis pada hati nurani. Itu bukan berarti menegasikan kompetensi lain yang berhubungan dengan kebutuhan nyata dunia bisnis atau kehidupan sehari-hari.
Tetapi sebaliknya, dengan sistem tersebut, kita meletakkan roh ideal dan universal sebagai substansi (substance) kepribadian anak didik. Sementara itu, bentuknya (form) selalu fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat.
Pendidikan berbasis hati nurani tersebut sama sekali bukan pendidikan yang mengajarkan konsep hati nurani. Tetapi sebaliknya, memang benar-benar pendidikan yang melatih hati nurani menjadi hidup dan aktif secara nyata dengan cara meditasi dan interaksi sosial. Praktik meditasi perlu dilakukan untuk membersihkan hati dan mengaktifkan hati nurani.
Latihan-latihan itu biasanya dilakukan secara individual. Latihan dalam bentuk interaksi sosial dilakukan dalam rangka membuat hati nurani menjadi aktif dan terbiasa dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan hidupnya hati nurani, secara otomatis pikiran menjadi tercerahkan. Pikiran dan tindakan terkendali hati nurani. Nafsu juga berada dalam kendali hati nurani, yaitu nafsu yang tercerahkan.
Jadi, dengan pendidikan berbasis hati nurani itu, pikiran dan nafsu tetap ada sebagai fitrah yang melekat pada diri manusia. Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah pikiran dan nafsu tadi telah dicerahkan.
Dengan sistem pendidikan semacam itu, manusia tetap bersifat manusiawi dan sekaligus bersifat ilahiyat. Artinya, sistem pendidikan tersebut adalah sistem yang mencerahkan. Sistem yang dapat menciptakan insan kamil- manusia sempurna.
Karena itu, agar kondisi bangsa ini menjadi lebih baik, terhormat di muka bangsa lain, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, benahi sistem pendidikan nasional ini sekarang juga!
Iwan Triyuwono, guru besar akuntansi syariah Universitas Brawijaya, Malang. Jawa Pos 3/5/2008
Bagaimanapun, mereka semua adalah produk akhir dari proses pendidikan. Sungguh itu merupakan keadaan yang sangat memprihatinkan. Betapa tidak, sistem pendidikan kita hanya menciptakan noda-noda hitam pada manusia Indonesia. Hal itu terjadi karena pendidikan terlalu mengedepankan pikiran (mind) praktis ketimbang rasa dan batin.
Pendidikan demikian itulah yang menyebabkan keterpurukan kehidupan kita saat ini. Bangsa menjadi terpuruk karena setiap orang berpikiran bahwa pikiran bisa mengatasi segala persoalan hidup.
Padahal, sebetulnya pikiran memiliki kekuatan yang sangat terbatas, tetapi digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang begitu kompleks. Kelemahannya terletak terutama pada ketidakmampuannya memahami realitas secara utuh.
Sebagaimana yang ditengarai Derrida, pikiran hanya menciptakan kesenjangan (gap) antara realitas dan apa yang dipersepsikan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbol berupa kata, kalimat, atau teori. Celakanya, kita telah salah kaprah menganggap bahwa kebenaran pikiran itu mutlak. Seolah-olah tidak ada lagi kebenaran di luar pikiran.
Tercerabut dari Budaya
Keyakinan penuh pada kebenaran pikiran menuntun seseorang untuk percaya secara meyakinkan akan kebenaran teori atau ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Masalah ekonomi diselesaikan dengan teori-teori ekonomi yang sebetulnya lahir di luar budaya lokal kita.
Sebagai contoh, untuk menyelamatkan devisa atau anggaran negara karena harga bahan bakar minyak (BBM) dunia naik hingga USD 120,00/barel, para ekonom cukup memberikan solusi menaikkan harga BBM. Teori ekonomi secara sederhana menjelaskan begitu.
Sederhananya, agar anggaran tidak defisit, cukup naikkan pendapatan dari sumber yang murah, mudah, dan cepat diperoleh. Itulah solusi yang ditawarkan ekonom. Begitu sederhana dan mekanis! Solusi tersebut tidak memperhitungkan hal lain di luar aspek ekonomi.
Teori ekonomi yang digunakan tidak memperhatikan aspek sosial, budaya, dan nilai-nilai lokal karena klaimnya yang bebas nilai (value-free). Solusi tersebut bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah-masalah sosial yang lebih kompleks daripada masalah ekonomi itu sendiri.
Contoh lain adalah sistem ujian nasional (unas) yang sedang dilaksanakan saat ini. Pemerintah mengambil cara yang begitu praktis (dan cenderung tidak bertanggung jawab). Untuk menjaga kualitas, cukup lakukan kontrol pada akhir proses dengan menetapkan beberapa indikator (mata pelajaran) untuk menetapkan kualitas pendidikan.
Sungguh itu adalah teori kualitas yang begitu naif. Sangat tidak mungkin jika kualitas sistem pendidikan hanya dilihat dari produk akhirnya, tanpa memperhatikan proses dan infrastrukturnya sejak awal.
Akibatnya, bukan kualitas baik yang diperoleh, tetapi justru timbul masalah-masalah baru, seperti kewenangan guru untuk mendidik menjadi hilang, berubahnya sekolah menjadi hanya berfungsi semacam lembaga kursus, perilaku guru dan siswa yang menyimpang, dan hilangnya makna pendidikan dalam masyarakat.
Guru dan siswa menjadi asing dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Guru tidak bisa mengendalikan siswanya yang tawuran. Guru tidak lagi dapat mengendalikan siswanya ketika saat dewasa menjadi petinggi yang korup. Guru tidak bisa lagi mengendalikan tentara dan polisi tawuran yang dulu adalah mantan muridnya.
Itulah kenyataan yang ada sekarang, pendidikan yang hanya mengandalkan pikiran praktis. Pendidikan yang tidak mampu mengasah ketajaman rasa (feelings) dan hati nurani (God-spot). Wajar saja produk yang dihasilkan dengan sistem seperti itu hanya berupa manusia yang mati rasa dan buta hati nuraninya.
Berbasis Hati Nurani
Sekali lagi, pikiran memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Pikiran selalu menghalangi hadirnya kekuatan rasa yang dipancarkan hati nurani. Hati nurani itu tidak lain adalah percikan Tuhan (God-spot) yang ada dalam diri setiap orang. Hati nurani yang hidup dan aktif akan mencerahkan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang. Dengan kata lain, Tuhan selalu membimbing pikiran, perkataan, dan tindakan orang tersebut.
Secara ideal, sistem pendidikan kita mestinya berbasis pada hati nurani. Itu bukan berarti menegasikan kompetensi lain yang berhubungan dengan kebutuhan nyata dunia bisnis atau kehidupan sehari-hari.
Tetapi sebaliknya, dengan sistem tersebut, kita meletakkan roh ideal dan universal sebagai substansi (substance) kepribadian anak didik. Sementara itu, bentuknya (form) selalu fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat.
Pendidikan berbasis hati nurani tersebut sama sekali bukan pendidikan yang mengajarkan konsep hati nurani. Tetapi sebaliknya, memang benar-benar pendidikan yang melatih hati nurani menjadi hidup dan aktif secara nyata dengan cara meditasi dan interaksi sosial. Praktik meditasi perlu dilakukan untuk membersihkan hati dan mengaktifkan hati nurani.
Latihan-latihan itu biasanya dilakukan secara individual. Latihan dalam bentuk interaksi sosial dilakukan dalam rangka membuat hati nurani menjadi aktif dan terbiasa dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan hidupnya hati nurani, secara otomatis pikiran menjadi tercerahkan. Pikiran dan tindakan terkendali hati nurani. Nafsu juga berada dalam kendali hati nurani, yaitu nafsu yang tercerahkan.
Jadi, dengan pendidikan berbasis hati nurani itu, pikiran dan nafsu tetap ada sebagai fitrah yang melekat pada diri manusia. Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah pikiran dan nafsu tadi telah dicerahkan.
Dengan sistem pendidikan semacam itu, manusia tetap bersifat manusiawi dan sekaligus bersifat ilahiyat. Artinya, sistem pendidikan tersebut adalah sistem yang mencerahkan. Sistem yang dapat menciptakan insan kamil- manusia sempurna.
Karena itu, agar kondisi bangsa ini menjadi lebih baik, terhormat di muka bangsa lain, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, benahi sistem pendidikan nasional ini sekarang juga!
Iwan Triyuwono, guru besar akuntansi syariah Universitas Brawijaya, Malang. Jawa Pos 3/5/2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar