02 Mei 2008

Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008

Oleh Putera Manuaba

Memanusiakan Pendidikan Memanusia
Memperingati Hardiknas 2008, rasanya kini kita perlu kembali merenung, apakah arti penting pendidikan masih terpancang kuat atau justru telah tergeser jauh. Pertanyaan tersebut muncul karena dalam realitas empiris sangat tampak fenomena pengembangan pendidikan yang paradoksal. Di satu sisi, memang tampak upaya keras untuk memajukan pendidikan dengan menerapkan sistem yang dipandang representatif dan mutakhir. Namun, di sisi lain, secara tersadari atau tidak, tampak juga pengingkaran terhadap semangat pendidikan.

Dalam kilas historis, pemikiran pendidikan yang dulu pernah dilontarkan oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara tampaknya kini semakin pudar. Misalnya saja, generasi kita kini sepertinya semakin asing dengan satu pemikiran tokoh itu, yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun kersa, tut wuri handayani. Padahal, di dalam untaian kata tersebut tersirat nilai kebijaksanaan pendidikan yang tak hanya berarti kepandaian.

Pemikiran tokoh pendidikan kita itu tampak sejalan dengan tokoh-tokoh pendidikan lainnya, seperti Paulo Freire dan Mangunwijaya. Freire pernah menyatakan, pendidikan bertujuan membebaskan, yakni membebaskan dari keterbelengguan, keterkungkungan, dan keterjajahan.

Memerdekakan

Mangunwijaya juga pernah menyatakan, pendidikan tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memerdekakan manusia. Ada juga yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan mendewasakan, menghasilkan manusia sebagai agent of change. Tentu masih banyak pemikiran bijak pendidikan lainnya.

Namun, berbagai pemikiran tentang pendidikan itu tampaknya belum cukup kuat untuk menghadang arus besar yang memosisikan pendidikan sekadar sebagai wahana guna mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan uang. Akibatnya, indikator keberhasilan pendidikan yang digunakan kemudian hanyalah indikator hasil dan mengabaikan indikator proses.
Dalam sebuah tes, misalnya, jika jawaban terakhirnya salah, hasilnya salah semua dan tidak dapat nilai, tak peduli bagaimana prosesnya. Padahal, ada proses yang seharusnya juga dihargai dalam penilaian.

Mengapa proses? Sebab, dalam proses, dapat diketahui kemampuan konkret proses-proses menjadi (becoming). Contohnya, tentu menjadi sulit saat guru tak diberi otonomi dalam penilaian siswa. Padahal, gurulah yang senyatanya sehari-hari mengetahui tingkat kemajuan siswanya.

Pro-Kontra

Pro-kontra atas pelaksanaan ujian nasional (UN) juga masih berlangsung. Sementara itu, penilaian benar-salah dengan teknologi komputer masih mendominasi sehingga menghilangkan peran guru dalam melaksanakan penilaian utuh kepada siswanya. Penilaian dengan komputerisasi memang praktis, tapi sekaligus membuat guru tak dapat melihat sisi-sisi kemanusiaan siswa dalam proses pendidikan.

Tentunya, pendidikan bukan hanya perkara bisa atau tidak, benar atau salah. Tidak hanya sebatas itu, pendidikan harus dapat membina dan menghasilkan manusia unggul (man of excellent) yang tidak hilang kemanusiaannya. Yakni, manusia yang pintar, kreatif, inovatif, dan bijak. Dengan kata lain, pendidikan holistik (holistic education). Pendidikan holistik tersebut menuntut pertimbangan perkembangan psikologi manusia.

Pendidikan yang ideal tentu saja tidak instan, melainkan yang proses pendidikannya sesuai dengan perkembangan psikologinya. Misalnya, anak yang sejak kecil terjejali oleh pelajaran yang tak sesuai dengan perkembangan kepribadiannya bisa mengalami dampak traumatik. Itu dapat membuat anak antipati untuk menempuh pendidikan selanjutnya.

Waktu anak yang setiap hari terbebani penuh untuk belajar dan les-les dapat menghilangkan kesempatan anak dalam mengalami dan menikmati masa kanak-kanaknya. Karena itu, perlu dipikirkan manajemen pendidikan anak yang humanis sehingga mereka enjoy dan menikmati proses pendidikan tersebut.

Hakikat pendidikan memanusia adalah pendidikan yang mencerdaskan dan membijaksanakan. Pendidikan yang menjadikan anak pintar sekaligus memiliki personality baik. Pendidikan yang memberikan kesempatan secara proporsional untuk bertumbuh-kembangnya kemanusiaan anak. Karena itu, proses internalisasi primer dan sekunder yang pasti dialami oleh setiap anak manusia juga harus dilalui dengan wajar dalam pendidikan tersebut dan jangan sampai terjadi secara tak wajar.

Ketidakwajaran yang terjadi dalam proses pendidikan mungkin dapat menghasilkan manusia-manusia pintar. Tapi, hal tersebut akan melenyapkan keberadaan dirinya sebagai manusia yang memanusia. Jika bangsa ini semakin dipenuhi dengan individu-individu pintar namun tak memanusia, tak memiliki personality baik, tak memiliki jiwa kebangsaan, dan seterusnya, pendidikan tak akan mampu membangun peradaban bangsa yang baik juga. Itu hanya akan terhenti sebagai artefak cita-cita utopis.

Jika mengingat lagi pemikiran para tokoh pendidikan seperti Dewantara, Freire, dan Mangunwijaya, aspek pendidikan jelas memberikan sumbangsih terbesar bagi terbangunnya peradaban sebuah bangsa (nation). Tak ada satu pun bangsa beradab di dunia yang dibangun tanpa pendidikan bangsanya. Tak ada bangsa maju di dunia yang mengabaikan peningkatan pendidikannya. Setiap bangsa maju pasti ditopang oleh pendidikan berkualitas.

Karena itu, jika sebuah bangsa kurang memperhatikan peningkatan pendidikan, bangsa tersebut pasti terbelakang. Dengan demikian, peningkatan pendidikan menjadi harga mutlak. Dalam bangsa, kita memang harus senantiasa mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan, baik secara top-down maupun bottom-up.

Dr Putera Manuaba MHum, dosen Universitas Airlangga, Surabaya. // jawa pos, 2 mei 2008

Tidak ada komentar: