02 Mei 2008

SD Bahagia, Coba Bertahan di Tengah Keprihatinan


SPP Rp 10 Ribu Kadang Masih Diangsur
Luas bangunan itu hanya 12 x 7 meter yang disekat menjadi tiga bagian. Masing-masing ruang terdiri atas dua kelas. Jumlah muridnya hanya 20 anak. Itulah profil sekilas SD Bahagia, Gunungsari. Jika tidak karena kegigihan dua gurunya, sekolah tersebut sudah lama bubar.


LUSIE WARDANI

TEMBOK pembatas antarruang kelas di sekolah itu tak sampai menutup seluruh ruang. Disisakan sekitar satu meter untuk lalu lintas murid dan guru keluar masuk kelas-kelas tersebut. Sebab, hanya ada satu pintu masuk ke bangunan tersebut. Sebetulnya, masing-masing kelas punya pintu. Tapi, hanya satu yang difungsikan, di ruang tengah.

Rabu (30/4) pagi itu, siswa kelas VI yang berjumlah tiga anak sedang serius menghafal surat pendek dan doa. Di ruang yang sama, dua siswa kelas V mengerjakan soal yang ditulis guru di papan tulis.

Ruang tengah ditempati empat siswa kelas III dan tiga siswa kelas IV yang sedang menulis pelajaran. Namun, dua di antara siswa dua kelas itu main lempar kapur sambil berteriak menirukan salah satu jagoan di televisi. Yudin Purwani, guru yang sedang menulis soal untuk kelas V, langsung bergeser ke ruang sebelah, melerai dua siswa yang sedang saling lempar itu.

Setelah tenang, Yudin kembali melanjutkan pekerjaan di kelas V. Tak sampai 10 menit papan tersebut penuh dengan soal yang harus dikerjakan siswa saat itu juga.

Yudin sementara bergegas ke ruang paling kanan, menjenguk siswa kelas I dan II, memeriksa pekerjaan yang sudah dikumpulkan murid-muridnya. Setelah itu, dia kembali ke ruang tengah untuk menerangkan catatan yang telah ditulis sebelumnya di papan. "Ya beginilah setiap hari. Pontang-panting mengajar anak-anak. Maklum, gurunya cuma saya," ujar Yudin.

Dalam satu gerakan itu, dia harus mengajar siswa kelas I sampai kelas VI. Alumnus Universitas PGRI Adi Buana itu sudah 17 tahun mengemudikan SD tersebut bersama Suyatmi, kepala sekolah. "Saya mengajar seluruh mata pelajaran, kecuali agama," kata wanita kelahiran 1967 itu. "Pelajaran agama dipegang Bu Yatmi," ujarnya.

Mengajar di sekolah serba minimalis itu, tentu tak banyak yang diharapkan kedua pejuang tersebut. Tiap bulan, Yudin hanya menerima honor Rp 150 ribu dan Suyatmi tak lebih dari Rp 200 ribu.

Tak heran jika orang-orang terdekat mereka sering meminta agar keduanya meninggalkan SD Bahagia itu dan mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Namun -setidaknya sampai sekarang- keduanya bergeming. Mereka tetap berusaha meneruskan pekerjaan yang diamanahkan pengurus Yayasan Bahagia kepada mereka. "Kalau bukan kami, siapa lagi yang mau mengajar mereka? Kasihan anak-anak kalau SD ini harus ditutup. Mereka mau belajar di mana?" ungkap Suyatmi.

Bisa dipahami jika lulusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Surabaya itu mencemaskan murid-muridnya. Sebab, mereka umumnya dari keluarga tak mampu. Anak sopir, pemungut sampah, pengamen, dan sejenisnya. Tak gampang bagi mereka mencari sekolah lain.

Benturan utamanya hampir pasti soal SPP (sumbangan pengembangan pendidikan). Di sekolah yang didirikan pada 1970 tersebut, siswa hanya dipungut SPP Rp 10 ribu per bulan. "Itu pun beberapa di antaranya tak mampu bayar kontan," kata wanita yang menjabat Kasek sejak 1979 tersebut.

Untuk menutup biaya operasional, wanita asal Magetan itu harus pontang-panting mencari tambahan. "Alhamdulillah, ada saja yang memberi bantuan. Jadi, sekolah ini masih tetap berdiri," ungkapnya.

Misalnya, sejak 1990, beberapa muridnya didaftarkan menjadi anak asuh Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). "Lumayan, mereka bisa memakai uang itu untuk membeli buku-buku dan perlengkapan sekolah," jelas Suyatmi.

Dia juga mendaftarkan sebagian muridnya menjadi penerima bantuan masjid di kompleks perumahannya. Masing-masing anak diberi tambahan dana untuk membeli buku dan kelengkapannya. Sekolah juga mendapat bantuan dana untuk membeli kebutuhan sekolah. "Jadi, kami tidak perlu pusing lagi memikirkan uang untuk membeli kapur atau buku-buku administrasi," ujarnya.

Sumbangan juga kerap datang dari beberapa donatur di yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Meski tidak tetap, dana itu mampu memperpanjang usia sekolah. "Kenalan saya kadang ikut membantu memberi dana. Mungkin mereka trenyuh melihat keadaan SD ini," kata Suyatmi.

Wanita kelahiran 1957 itu mengaku, program dana bantuan sekolah (BOS) yang dicanangkan pemerintah mampu mengurangi bebannya mencari dana untuk kelangsungan hidup SD tersebut. "Dana untuk pembelian buku mereka bisa ditutupi BOS. Sedikit demi sedikit kami juga bisa memperbaiki sekolah," ungkapnya.

Kondisi gedung SD Bahagia itu memang tidak bahagia, bahkan memprihatinkan. Lantainya berlubang di beberapa tempat, demikian juga gentingnya. Cat tembok yang warna aslinya hijau dan krem nyaris pudar dan terkelupas di beberapa sisi. Meski begitu, langkah Suyatmi dan Yudin tak pernah surut mempertahankan sekolah tersebut. Bahkan, kalau bisa, keduanya ingin menciptakan sekolah yang benar-benar bahagia.

Hanya satu hal yang membuat semangat mereka kadang mengendur. Yaitu, saat mereka tahu muridnya tak berminat sekolah lagi. Beberapa murid memang lebih memilih ikut orang tua mereka mengamen atau mencari sampah untuk menambah penghasilan. "Kalau sudah begitu, rasanya sedih sekali. Usaha saya sepertinya sia-sia. Kayak sekarang ini, ada dua murid yang ikut ibunya ngamen," kata Yatmi.

Dia berusaha tegar. Setiap hari, dengan telaten dia mendatangi rumah muridnya itu dan membujuknya agar kembali sekolah. Dia tidak bosan-bosan mengarahkan orang tua mereka agar membiarkan anaknya menempuh pendidikan dasar. "Memang harus telaten. Sekarang sudah lumayan, anaknya sudah masuk lagi, meski tidak setiap hari. Tapi, saya berusaha terus membujuknya. Kalau tidak begitu, bisa-bisa murid di sini habis," tegas wanita berjilbab itu.

Hampir tiap ajaran baru, tak ada siswa anyar yang mendaftar ke sekolah tersebut. "Setiap tahun ajaran, saya selalu pusing mencari murid. Mesti kepikiran di mana mencarinya. Jarang ada yang mau sekolah di sini," ungkapnya.

Karena itu, tiap tengah tahun menjelang tahun ajaran baru, kedua guru tersebut berkeliling daerah sekitar sekolah, mendatangi pasar dan pusat keramaian untuk menyebar brosur sekolah.

Beberapa spanduk juga dipasang di lokasi strategis sekitar sekolah untuk menarik minat pengguna jalan. Kedua guru itu juga menghubungi kerabat serta teman-temannya agar mau menyekolahkan anak mereka di sana. "Pokoknya semua cara kami coba, asalkan kami mendapat murid," tegas Yatmi.

Meski pikirannya banyak terbebani masalah sekolah, Suyatmi hanya bisa mendiskusikan dan mengungkapkan kepada koleganya, Yudin Purwani. Dia tak berani menceritakan kepada sang suami. "Kalau saya mengeluh, bisa-bisa disuruh keluar lagi. Jadi, lebih baik saya diam saja. Cerita senang-senangnya saja," katanya. (cfu)  jawa pos 2 mei 2008

Tidak ada komentar: