Lebih Separo Gaji Dipotong untuk Kredit Motor Tempel
Seorang guru terpaksa mengajar sendirian di kelas 1 hingga 6 di dusun kecil dekat perbatasan Kalimanan Barat dengan Serawak, Malaysia. Sebuah potret guru terpencil yang belum banyak mendapat perhatian di hari pendidikan yang hari ini kita peringati.
TAK mudah mencapai Dusun Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, di Kecamatan Entikong. Bagi para TKI dan pedagang pelintas batas, nama Entikong memang sudah terkenal. Sebab, tempat itu menjadi pintu masuk jalan darat menuju Serawak, negeri jiran. Namun, dari ibu kota kecamatan ke Gun Jemak, tidak ada jalan darat. Satu-satunya akses ke sana harus melalui Sungai Sekayam yang penuh riam dan bebatuan dengan arus deras.
Dengan long boat perjalanan antardesa dalam satu kecamatan itu makan waktu 8-10 jam dengan biaya Rp 800.000-Rp 1 juta. Saat Sungai Sekayam mengering, memang ada alternatif jalan tikus dengan menembus hutan belantara. Hanya, untuk jalur alternatif itu diperlukan waktu satu minggu berjalan kaki dan harus mendaki Gunung Sebaju, gunung yang sangat dikenal ketika zaman konfrontasi dengan Malaysia pada 1960-an.
Jangankan sinyal telepon seluler. Di tempat yang sangat terisolasi itu, siaran televisi Indonesia hanya bisa ditangkap dengan bantuan antena parabola. Namun, warga "bersyukur" karena siaran televisi Malaysia mudah diterima, sehingga bisa memberi sedikit hiburan dan informasi dunia luar.
Di tempat yang pernah diisyukan beberapa warganya pindah menjadi warga negara Malaysia dan direkut menjadi askar di perbatasan itu, sebuah bangunan SD Negeri 16 yang sederhana menjadi simbol bahwa tempat itu bagian republik. Di tempat itulah Joni sudah tiga tahun ini mengajar.
"Saya harus bertahan dan tetap mengajar di sini. Obsesi saya adalah bagaimana anak-anak bisa melanjutkan sekolah dan bisa jadi orang berguna," kata Joni saat ditemui Kapuas Post (Grup Jawa Pos).
Dengan posisinya yang seorang diri di sekolah terpencil itu, guru dengan pangkat II/a ini bukan guru biasa. Di sekolah itu Joni adalah kepala sekolah sekaligus guru kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Total muridnya 119 anak.
Laki-laki kelahiran Senggau, Kalimantan Barat, 42 tahun lalu, itu tinggal di dusun tersebut bersama seorang istri dan tiga anak. "Kuncinya hanya satu, berhemat," katanya saat ditanya resep hidup di tempat terpencil.
Dengan kondisi medan yang berat serta uang pas-pasan, Pak Joni, panggilan akrabnya, tidak mungkin setiap bulan harus ke Entikong, kota kecamatan tempat dinas pendidikan berada untuk mengambil gaji. "Biasanya gaji saya ambil tiga bulan sekali. Itu pun saya lakukan dengan mencari tumpangan," kata Joni lantas tersenyum.
Yang repot, jadwal mengambil gaji ke Entikong itu tak selalu terlaksana. Tergantung keadaan air Sungai Sekayam. "Kalau surut, ya tidak bisa turun. Kalau lagi banjir besar, juga tidak berani karena arusnya deras sekali," tambahnya.
Sejak awal Joni sudah menyadari konsekuensinya menjadi guru di daerah terpencil. Itu sebabnya, sejak ditugasi kali pertama pada awal 2005 dia langsung memboyong istrinya, Jaleha, bersama kedua putra-putrinya, Agus yang kini berusia 8 tahun dan Maya, 6.
Selama bertugas di Gun Jemak, pasangan ini dikaruniai satu anak, Yariana, yang kini berusia satu tahun dua bulan. Banyak guru yang keberatan saat diminta mengajar di tempat terpencil itu. Namun, saat ditugasi Dinas Pendidikan Kabupaten Senggau mengajar di sana, Joni menyatakan setuju. "Kalau saya menolak bertugas di Gun Jemak, siapa lagi yang akan mengajar di sini," katanya.
Lantas bagaimana Joni membagi waktu untuk mengajar siswa kelas 1 sampai kelas 6 saban hari. "Mereka saya bagi jadi tiga kelompok. Kelompok pertama kelas 1 dan 2, berikutnya kelas 3 dan 4, serta 5 dan 6 satu kelas," katanya.
Dengan tiga kelompok itulah Joni harus mengatur waktu dan siasat agar materi pelajaran bisa disampaikan kepada siswa. "Ini memang tidak ada ilmunya. Tidak ada juklak (petunjuk pelaksanaan). Saya lakukan semata-mata agar mereka tidak putus sekolah," ujar Joni yang tampak optimistis.
Dengan cara melikuidasi enam kelas menjadi tiga kelompok itu, kata Joni, para murid tetap bersemangat belajar dan datang ke sekolah. Mereka tetap belajar dengan jam sekolah. "Saya kembangkan adanya latihan-latihan, lalu saya biasakan mereka memecahkan soal atau materi. Saya sebagai guru menjadi fasilitator jika mereka kesulitan," katanya.
Joni memberikan perhatian khusus kepada siswa-siswanya saat menghadapi ujian akhir. Bahkan, beberapa hari Joni berada di Desa Suruh Tembawang, tetangga desa, mendampingi siswa-siswinya yang akan mengikuti ujian nasional. "Ada 12 murid kelas 6 yang ikut ujian. Kami memang harus menginduk ke Desa Suruh Tembawang, kira-kira 4 jam perjalanan dari sini," katanya.
Joni bersyukur karena saat ini sudah ada perhatian dari pemda ke sekolahnya. Pada 18 April lalu Joni mengaku bangga karena kedatangan tamu istimewa. Hari itu Bupati Sanggau Yansen Akun Efendy SH MSi datang ke Gun Jemak. Sayangnya, Joni saat itu berada di luar dusun. "Anak kedua saya sakit dan harus dibawa ke Puskesmas Entikong," katanya.
Berapa penghasilan Joni dengan pengabdian yang luar biasa itu? Dulu sebelum ada kenaikan, kata dia, gajinya Rp 1,4 juta. "Sekarang ada kenaikan menjadi Rp 1,6 juta," katanya.
Untuk menunjang kegiatannya di tempat terpencil, dia harus membeli motor tempel dengan cara kredit seharga sekitar Rp 15 juta. Itu menjadi "sepeda motor" di desa yang lalu-lintasnya mengandalkan sungai. Akibatnya, gaji yang diterima bersih pernah tinggal Rp 600 ribu. "Karena ada pemotongan kredit sekitar Rp 800 ribu setiap bulan," katanya.
Joni mengaku pernah mendengar adanya tunjangan bagi guru di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Gubernur Kalbar Nomor 971 Tahun 2007. Hanya, sampai saat ini dia belum pernah merasakannya. "Yang saya tahu pembayarannya per triwulan. Tetapi, saya belum pernah terima," katanya.
Kasubdin TK-SD Dinas Pendidikan Kabupaten Sanggau Drs Paulus Krosse Oyot ketika dikonfirmasi Kapuas Post membenarkan tentang kondisi SD Negeri 16 Gun Jemak itu. Menurut Paulus, sebelumnya sekolah itu memiliki lima guru, termasuk Pak Joni. Mereka adalah Katarina, guru PNS Golongan II/A; Ningsih, guru PNS golongan II/B; dibantu dua guru bantu, yakni Sisilia Gia dan Narti Umi. "Namun, satu demi satu guru-guru tersebut mengajukan pindah tugas hingga tinggal Pak Joni seorang diri. Pak Joni sekarang sekaligus menjadi Plh kepala sekolah," kata Paulus.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Entikong Sofyan mengaku, selain Dusun Gun Jemak, masih ada dusun dan desa yang terpencil dengan kondisi transportasi serupa, "Untuk satu sekolah dengan satu guru memang hanya Pak Joni di SDN 16 Gun Jemak," katanya.
Menurut Sofyan, jumlah guru SD negeri di Kecamatan Entikong saat ini ada 79 orang, sementara jumlah sekolah ada 18. "Jumlah guru yang terbatas inilah yang kami bagi-bagikan ke sekolah," katanya.
Untuk meringankan tugas Joni, Sofyan berjanji segera mengajukan guru tambahan. Dia mengaku salut kepada Joni yang tiga tahun bisa bertahan di Gun Jemak. "Baik ketika berlima, bertiga, dan sekarang seorang diri Pak Joni tidak pernah mengeluh," katanya. (el)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar