Yasraf Amir Piliang
Di tengah geliat demokratisasi yang mewarnai perjalanan bangsa, pengelolaan pendidikan—yang seharusnya menjadi model demokrasi—justru kian menampakkan watak tak-demokratis.
Model pengelolaan pendidikan justru membangun "kuburan demokrasi" karena kehilangan spirit demokrasi: dialogisme, keadilan (justice), dan rasionalitas. Pengelolaan pendidikan, sebaliknya, dilandasi "spirit antidemokrasi", pemaksaan, ketakadilan (injustice), dan irasionalitas.
Kenyataannya, dunia pendidikan nasional dari hari ke hari menunjukkan aneka drama ironis, absurd, bahkan tragis: tawuran antarpelajar dan mahasiswa, siswa bunuh diri karena tak mampu bayar uang sekolah, penyerangan sekolah oleh masyarakat atau aparat, pencurian soal ujian nasional (UN), pembocoran dan jual beli kunci jawaban oleh oknum panitia, dan terakhir para guru yang membetulkan jawaban ujian siswa, education absurdity.
Demokratisasi pendidikan
Dalam sejarahnya, pendidikan tidak selalu berwatak demokratis. Di negara-negara berideologi totalitarianisme dan fasisme, pendidikan menjadi alat aneka represi, pemaksaan, intimidasi, penyeragaman, dan kekerasan oleh penguasa atau negara. Sebaliknya, di negara demokratis, pendidikan menjadi motor penggerak bagi terbentuknya jiwa demokrasi: kebebasan, keadilan, persamaan, dan dialog.
John S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan, "pendidikan demokratis" sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model pendidikan harus "disesuaikan" dengan aneka perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, kemampuan); dan "keberbagian" (sharing), di mana yang berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum.
Dalam konteks otonomi daerah dan demokrasi, penghargaan akan "perbedaan" (kebutuhan, kecerdasan, kompetensi), "diversitas" (daerah, alam, dan wilayah), dan "pluralitas" (suku, bahasa, agama, ras) seharusnya menjadi fondasi "ideologi pendidikan". Segala bentuk penyeragaman, homogenisasi, dan standardisasi tidak boleh dilakukan secara sepihak menggunakan otoritas kekuasaan, tetapi diperbincangkan dan dikomunikasikan dalam ruang publik demokratis (Jurgen Habermas) guna mencapai konsensus bersama.
Aroma kekerasan simbolis
Sebagai pilar demokrasi, pendidikan harus dikelola berdasarkan prinsip musyawarah untuk mencapai konsensus. Prinsip dialogism mengajarkan bagaimana dalam menyelesaikan aneka persoalan di masyarakat perlu dibangun ruang publik terbuka, yang di dalamnya berlangsung komunikasi dan debat terbuka demi mencapai konsensus, guna menghindarkan aneka pemaksaan, represi, dan kekerasan, khususnya pada tingkat simbolis.
Kekerasan simbol (simbolic violence), menurut Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1992), adalah sebuah kekerasan halus dan tak tampak, yang dilakukan seseorang, kelompok, atau institusi (seperti negara), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya melakukan aneka "pemaksaan" simbolis (bahasa, konsep, program, prinsip, dan makna), yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan legitimate.
Konsep UN yang oleh banyak kalangan dianggap kebijakan pendidikan yang tak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan demokrasi, oleh otoritas pendidikan (Departemen Pendidikan) "dipaksakan", dalam kondisi kontroversi tentang kebenarannya. Bahkan, penerapan konsep UN itu dijalankan di atas "bingkai hukum", berupa hukum pidana bagi para pelanggar, tanpa pernah serius meneliti akar aneka pelanggaran itu.
Kekuatan simbol (symbolic capital) atau otoritas hegemonik digunakan untuk memaksakan kompetensi yang seragam, baku, dan homogen dalam masyarakat plural, dengan modal intelektual, budaya, dan sosial (social capital) yang tidak saja berbeda, tetapi juga senjang. Otoritas pendidikan yang seharusnya mencontoh "pendekatan budaya" dalam menyosialisasikan program pendidikan seperti UN kini melakukan pendekatan "militeristik" penuh represi, tekanan, dan pemaksaan.
Ketakadilan dan irasionalitas
Untuk menjadi pilar demokrasi, pendidikan demokratis harus mengandung sifat keadilan (justice). Subyek konsep "keadilan", seperti dikemukakan John Rawls, A Theory of Justice (1980), tidak melulu manusia sebagai pelaku hukum, tetapi juga norma atau institusi terkait. Guru atau siswa, misalnya, sebagai aktor dapat berbuat tidak adil dan melanggar hukum, tetapi mereka melakukannya akibat sistem pendidikan sendiri "memaksa" mereka melanggar hukum.
Bagaimana mungkin seorang guru digiring ke pengadilan untuk mendapat keadilan (justice) dan kebenaran (truth) atas dakwaan melanggar kewajiban (UN) yang justru konsep, bentuk, dan materinya penuh muatan "ketakadilan" (injustice). Dalam jiwa para guru yang membantu membentuk jawaban ujian siswa bergejolak dua dorongan "kebajikan" (virtue) yang bertentangan, yaitu "respek terhadap hukum" dan "rasa kemanusiaan" (membantu siswa memperbaiki jawaban).
Para guru itu tentu tidak dapat melakukan dua kebajikan sekaligus. Mereka memilih "rasa kemanusiaan" dengan "melanggar hukum" (membantu siswa terbelakang). Mereka adalah para Robin Hood, yang dihinakan sebagai "kriminal" oleh penguasa, tetapi disanjung bagai "pahlawan" oleh orang-orang marjinal. Para guru itu memang melanggar hukum, tetapi mereka melakukan itu karena didorong oleh "ketidakadilan" sistem pendidikan, yang mengabaikan perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, dan kompetensi).
Dengan melakukan kekerasan (simbolis) dan menciptakan ketidakadilan, otoritas pendidikan nasional sekaligus mengajarkan sikap irasionalitas. Di sini, kita menggunakan makna "irasionalitas" sebagaimana dilukiskan Alasdair MacIntyre dalam Whose Justice? Which Rationality? (1996), yaitu situasi, di mana pencapaian derajat kebaikan manusia yang luhur (knowledge) justru dicapai melalui tindakan tak manusiawi (pemaksaan, represi, kekerasan), irrationality of education.
Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD Institut Teknologi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar