Jakarta, Kompas, 17/4/2008 - Pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional untuk sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah dinilai akan mengorbankan kepentingan anak. Kebijakan ini pun dikhawatirkan bakal menghambat program pendidikan dasar sembilan tahun karena anak terganjal di tingkat awal.
Apalagi dari hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Maluku, dan Bali, sebanyak 98 persen siswa merasa takut dengan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Sebanyak 98 persen siswa menyatakan tak mau mengulang jika tidak lulus.
Persoalan ini mengemuka dalam debat publik bertajuk ”Membedah Kebijakan UASBN 2008”, yang digelar KPAI di Jakarta, Rabu (16/4). Tampil sebagai narasumber adalah pengamat pendidikan HAR Tilaar, budayawan M Sobari, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Mungin Eddy Wibowo, serta Komisioner KPAI Susilahati.
”Hasil UASBN yang juga menentukan kelulusan siswa akan menciptakan diskriminasi terhadap anak. Nanti ada label antara siswa yang lulus dan yang tidak lulus. Siswa yang tidak lulus dianggap bodoh. Yang lulus juga nanti dipertanyakan karena nilai minimal kelulusan di sekolahnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain,” kata Susilahati.
Kondisi ini, lanjut Susilahati, akan membuat anak tidak mendapatkan pendidikan yang sesungguhnya untuk pengembangan kepribadian, kecerdasan, serta minat dan bakatnya.
Susilahati mengemukakan, KPAI menilai kebijakan UASBN merupakan praktik pendidikan yang tidak ramah anak. Pasalnya, anak dikondisikan menjalani proses belajar yang menegangkan karena adanya vonis lulus atau tidak lulus hanya dari tiga mata pelajaran, yakni IPA, Matematika, dan Bahasa Indonesia.
Matikan inisiatif
HAR Tilaar mengatakan, kebijakan UASBN bisa mematikan inisiatif serta daya inovatif anak. Sebab, mereka dipaksa untuk menganggap tiga mata pelajaran UASBN itulah yang penting. Padahal, dalam usia ini seharusnya anak dibiarkan berkembang tanpa hambatan.
”Dengan demikian, UASBN merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak,” ujar Tilaar.
Menurut Tilaar, UASBN seharusnya diletakkan dalam tujuan sebenarnya, yakni memetakan masalah pendidikan, bukan untuk mengadili anak.
M Sobari menyatakan prihatin dengan logika persekolahan yang menilai anak dari angka-angka semata. Kondisi ini akan menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak kreatif. ”Sistem pendidikan kita memang tidak mampu mengakomodasi kepentingan anak untuk bisa mendapatkan pendidikan yang bermakna,” ujar Sobari.
Mungin Eddy Wibowo mengatakan, penolakan masyarakat terhadap UASBN merupakan hal wajar karena ini kebijakan yang baru. Namun, pemerintah tetap pada sikapnya untuk menggelar UASBN karena tidak ingin pendidikan dasar sembilan tahun yang menjadi kebijakan nasional itu menjadi tidak bermutu. Pemerintah ingin meningkatkan mutu lulusan SD.
”Dulu kelulusan diserahkan ke sekolah, tetapi hasilnya mutu pendidikan kita anjlok. Karena itu, perlu pengendalian dan pengawasan mutu secara nasional lewat UASBN dan UN (ujian nasional),” ujarnya.
Sementara itu, Masnah Sari, Ketua Komisi Nasional KPAI, mengatakan akan mengawasi pelaksanaan UASBN pertama kali ini secara mendalam demi mengetahui dampaknya terhadap anak.
”Hasilnya akan dipakai sebagai rekomendasi kepada Mendiknas, termasuk juga ke Presiden,” kata Masnah.
Tak boleh ikut UN
Secara terpisah, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan siswa sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta yang sedang ditahan pihak berwajib karena tindakan kekerasan untuk ikut ujian nasional, 22-24 April mendatang.
”Tidak ada kompromi bagi mereka yang statusnya sebagai tahanan pihak berwajib,” kata Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani Mustar, Rabu. Di DKI terdapat 123.000 siswa sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan yang mengikuti ujian nasional. (ELN/PIN)
17 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar