23 April 2008

TAJUK RENCANA: Kejujuran Ujian Nasional

Suara Pembaruan, 23/4/2008 - Sekitar 2,7 juta siswa sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan sekolah sederajat, mulai Selasa sampai Kamis (22-24/4), mengikuti ujian nasional (UN). Pada tahun ini, UN tak hanya berlaku untuk tingkat SMA dan SMP, tetapi juga sekolah dasar (SD). Untuk tingkat SMP tetap disebut UN, sedangkan untuk tingkat SD diberi nama ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN).

Meskipun diberi label berbeda, pada dasarnya ujian yang diselenggarakan secara nasional merupakan bagian dari sentralisasi pendidikan. Pemerintah Pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mendapat kewenangan menentukan nasib seluruh siswa di negeri ini. Untuk tingkat SMA dan SMP serta sekolah sederajat, kelulusan siswa sangat bergantung pada hasil UN. Sedangkan untuk tingkat SD, pihak sekolah masih diberi kewenangan menentukan kelulusan. Peserta UN yang memperoleh nilai rata-rata kurang dari 5,25 otomatis dinyatakan tidak lulus. Selain itu, masih ada persyaratan lain, yakni nilai UN setiap mata pelajaran yang tidak boleh kurang dari 4,25 atau kalau ada nilai 4,0 pada satu mata pelajaran maka nilai mata pelajaran lain minimal 6,0.

Kalau dilihat sepintas, standar kelulusan UN relatif rendah. Dengan standar serendah itu saja masih ada sekolah yang tidak mampu meluluskan seorang pun siswanya. Kenyataan itu tentu saja membuktikan bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.

Sebetulnya, kita telah melihat ada upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan. Namun, upaya itu belum dilakukan secara maksimal dan belum menyentuh seluruh aspek pendidikan. Sebut saja komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan hingga minimal 20 persen dalam APBN dan APBD, seperti amanat UUD 1945. Pemerintah Pusat ataupun DPR masih setengah hati. Demikian juga dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta DPRD. Kemudian, berbagai tunjangan bagi guru, seperti yang diamanatkan UU Guru dan Dosen, hingga kini belum sepenuhnya dipenuhi. Perbaikan kesejahteraan guru memang mulai terasa, tetapi masih jauh dari harapan.

Selain itu, prasarana dan sarana pendidikan belum sepenuhnya tersebar merata di seluruh pelosok Tanah Air. Kita masih melihat ada sekolah yang memiliki enam kelas, tetapi hanya diasuh seorang guru. Ada sekolah yang, ruang- ruang kelasnya bocor saat hujan, serta minimnya jumlah buku pelajaran.

Sayangnya, para birokrat pendidikan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, belum sepenuhnya menyadari bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Kalau prasarana dan sarana pendidikan belum sepenuhnya tersebar merata dan terstandar, bagaimana mungkin pemerintah menetapkan standar nilai kelulusan, meski hanya 5,25?

Penetapan standar kelulusan itulah yang selama ini ditentang sebagian siswa dan guru. Bahkan, mereka mengajukan gugatan dan dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kita sepakat bahwa UN bisa tetap dilaksanakan, asal tidak dijadikan satu-satunya alat penentu kelulusan.

Untuk itu, kita menggarisbawahi pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bahwa UN bukan ujian otak saja, tetapi yang lebih penting, ujian kejujuran. Ya, kejujuran memang penting dan masih merupakan barang langka. Jadi, tidak ada salahnya kalau pemerintah jujur mengakui bahwa memang ada ketimpangan dalam dunia pendidikan, sehingga tidak fair apabila ditentukan standar nilai kelulusan bagi siswa SMP dan SMA. Kembalikan saja kewenangan menentukan kelulusan pada sekolah dan UN cukup digunakan sebagai sarana untuk memetakan pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar: