KOMPAS/INDIRA PERMANASARI / Kompas Images |
INDIRA PERMANASARI
Dengan jemarinya, Septi Peni Wulandani menghalau ketakutan anak-anak mempelajari Matematika. Lebih dari itu, dia menyentuh kehidupan banyak perempuan dan mengubah jalan mereka. Semua berawal dari sepuluh jari.
Kisah Septi bermula dari kecintaannya terhadap anak-anak dan keinginan untuk mendidik mereka. Septi pun melepaskan kesempatan menjadi pegawai negeri sipil Departemen Kesehatan tahun 1995, dengan penempatan di Semarang, demi menjadi ibu rumah tangga.
Ketiga anaknya, Nurul Syahid Kusuma (11), Kusuma Dyah Sekararum (10), dan Elan Jihad Mohammad (5), mendapat didikan langsung dari Septi di rumah alias ber-homeschooling. Salah satu tantangan Septi adalah mengajari anak berhitung alias Matematika, materi yang selama ini dianggap ”menakutkan”.
Enes (panggilan untuk Nurul) pernah mengikuti kursus sempoa atau swipoa, metode berhitung menggunakan alat tradisional Tionghoa. ”Tetapi Enes tidak menikmati kursusnya,” kata Septi.
Enes memang lebih cepat menguasai materi. Pada umur dua tahun ia sudah pandai membaca dengan metode Abacabaca atau belajar membaca dengan merangkai suku kata (bukan huruf seperti umumnya) yang dibuat Septi.
Swipoa juga kerap rusak lantaran dijadikan mainan. Waktu itu Enes berusia tiga tahun. ”Saya lantas berpikir untuk ikut kursus, kemudian mengajari Enes,” ujar Septi yang lalu mengikuti kursus swipoa.
Berbekal pengetahuan dari kursus itu, Septi berupaya menciptakan metode yang disukai anaknya. Ia melihat Enes suka memainkan jemari. Dia lalu berpikir mengapa tidak jari-jari tangan diaktifkan kembali dan dimaksimalkan untuk menguasai pertambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dengan imajinasinya, Septi memindahkan bidak swipoa ke jari-jari tangan.
Tangan kanan diibaratkan tangan satuan dan tangan kiri sebagai tangan puluhan. Metode itu terus dikembangkan hingga mencapai angka ratusan dan ribuan, dengan menggunakan biku-biku jari. Selama 2000-2003 metode ciptaan Septi itu dipraktikkan kepada Enes, yang ternyata sangat menyukainya. Metode itu kemudian dinamai Jarimatika singkatan dari jari dan matematika.
”Aplikasinya mudah sehingga dapat menjadi jembatan pertama anak memasuki dunia matematika yang dianggap sukar dan sering membuat minder. Kalau anak sudah percaya diri, mata pelajaran lain akan berkembang baik,” kata istri Dodik Mariyanto itu. Metode pembelajarannya dikemas menyerupai permainan.
Septi lalu menuliskan metode berhitung itu dan diterbitkan menjadi buku berjudul Jarimatika Penambahan dan Pengurangan (Teknik Berhitung Mudah dan Menyenangkan dengan Menggunakan Jari Tangan). Buku itu sudah memasuki cetakan ke-10, bahkan akan dibuat versi braille bagi tunanetra.
Menyebarkan ilmu
Banyak pembaca tertarik dan meminta Septi memberikan pelatihan agar mereka bisa mengajari anak-anaknya di rumah. Bahkan, perempuan kelahiran Salatiga itu ”terpaksa” membuka kursus di Depok Timur, sebelum pindah ke Salatiga, Jawa Tengah. Rumahnya di Salatiga berubah menjadi markas pelatihan Jarimatika.
Awalnya sulit mengajarkan Jarimatika kepada para ibu karena mereka merasa tangannya sudah kaku. Sebagian lagi berpandangan berhitung dengan tangan itu kuno dan hanya dapat sampai hitungan 10.
”Ada yang sampai nangis-nangis melipat jarinya, dan sekarang ibu itu menjadi instruktur keliling Indonesia,” katanya.
Sebagian peserta pelatihan kemudian tertarik membuka kursus. Jalan hidup sebagian dari mereka pun berubah. ”Ada manajer perusahaan multinasional dan beberapa perempuan dengan jabatan bagus yang mengundurkan diri dari pekerjaan karena ingin mendidik sendiri anaknya. Mereka tetap mandiri secara finansial dengan membuka kursus Jarimatika,” ujarnya.
Sekarang terdapat 80 waralaba Jarimatika yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, beberapa berada di luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Timur Tengah. Tak kurang dari 600 ibu yang telah dilatihnya belajar berhitung. Septi tak pernah membayangkan sedemikian luas metode itu dikenal orang lantaran semula hanya diperuntukkan bagi ketiga anaknya.
Rentetan penghargaan mengikuti sepak terjang Septi. Tahun 2006 dia menerima penghargaan Danamon Award untuk kriteria pengembangan sumber daya masyarakat. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tertarik menggunakan metodenya guna memberdayakan ibu-ibu di daerah terpencil. Ashoka Foundation, yayasan dari Amerika, juga melibatkan Septi dalam jaringannya. Belakangan dia mendapat tawaran dari Kedutaan Besar Indonesia di Swedia guna mengenalkan metode tersebut kepada ibu-ibu di negara itu.
Ibu rumah tangga
Septi bangga menjadi ibu rumah tangga. Di kartu namanya tercetak dengan huruf hitam tebal nama Septi Peni Wulandani, Ibu Rumah Tangga Profesional, bukan tulisan jabatannya sebagai Direktur PT Jarimatika Indonesia.
Belakangan dia mendirikan jaringan Institut Ibu Profesional guna menyemangati para ibu agar produktif dan mampu mendidik anak. Jaringan itu sudah beranggotakan 1.000 perempuan.
”Ini ibaratnya sekolah untuk menjadi ibu profesional. Kami membentuk komunitas belajar bersama, merancang seminar, dan workshop,” ujarnya.
Temanya juga beragam, mulai dari persoalan mendidik anak, mengatur rumah, mendidik anak, mengembangkan usaha, pertolongan pertama pada kecelakaan di rumah, berkendara dengan aman, sampai mengatur keuangan rumah tangga. Anggotanya para ibu rumah tangga dengan kekuatan yang berawal dari rumah. Sebagian peserta adalah para ibu dengan kesulitan finansial.
Para ibu yang dilatih itu kemudian didorong mengadakan kegiatan serupa di lingkungan masing-masing, sesuai keahliannya. Ada ”alumnus pelatihan” yang lalu mengajak para ibu dari lapisan ekonomi sulit untuk belajar Jarimatika dan membuat alat peraga belajar atau permainan edukasi. Produk itu dijual lewat jaringan Jarimatika. Mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari kegiatan itu dan dapat mengajari anaknya di rumah tanpa harus keluar biaya.
Belakangan Septi juga melatih para mahasiswi tingkat akhir mengenai pengetahuan menjadi ibu rumah tangga tersebut.
”Dalam masyarakat, hidup anggapan bahwa ibu rumah tangga itu tak ada nilainya. Tetapi, kata saya, suatu saat ibu rumah tangga pasti dicari karena membanggakan.” Kompas, 18/4/2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar