18 April 2008

Konstruksi Nasional Pendidikan Kita

Agus Suwignyo

Di tengah meningginya harga kebutuhan pokok dan pengangguran terdidik, diluncurkan optimisme tentang masa depan Indonesia.

Di bawah berita utama Kompas ada foto Kepala SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, berangkat mengajar dengan sepeda motor yang dinaikkan rakit, menyeberangi sungai (Kompas, 5/4/2008).

Jika nasionalisme dipahami sesuai semangat zamannya, para guru telah menunjukkannya melalui dedikasi dan pengabdian tanpa henti. Jika itu makna nasionalisme, optimisme tentang masa depan Indonesia tidaklah berlebihan, setidaknya sejauh terkait peran dan sumbangan para guru bagi negeri ini.

Masalahnya, apakah pemerintah merespons nasionalisme itu melalui aneka kebijakan yang menyejahterakan? Adakah hubungan negara-warga bersifat resiprokal saling menguntungkan?

Ketika pemerintah mengadopsi semangat neoliberal dalam aneka kebijakan, seperti sertifikasi guru, ujian nasional, dan badan hukum pendidikan, tuntutan penguatan nasionalisme harus dilekati tuntutan pemenuhan hak dasar warga atas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Keseimbangan penting ditegaskan karena semangat neoliberal tak hanya membuka persaingan antarindividu, tapi juga kesetaraan dalam hubungan—merujuk Anthony Giddens—agensi dengan struktur; antara warga dan pemerintah sebagai representasi negara. Dalam kesetaraan itu, sifat hubungan negara dan warga (seharusnya) resiprokal.

Tidak adil

Meski usia Indonesia sudah 63 tahun dan rasa cinta Tanah Air para guru telah terbuktikan melalui pengabdian profesi, posisi mereka selalu subordinat terhadap negara akibat politik-pendidikan yang tidak adil. Pengalaman alumni sekolah guru tahun 1950-an membuktikan, perbaikan sosial-ekonomi justru setelah mereka meninggalkan profesi guru dan beralih pekerjaan. Mereka yang bertahan sebagai guru entah karena pilihan atau ikatan dinas, pensiun dalam kondisi ekonomi amat sederhana diukur dari laju kenaikan harga kebutuhan pokok.

Kini, yang terjadi justru ironi. Meski dijamin Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan guru tidak segera terwujud karena aneka alasan yang mungkin hanya pemerintah dan Tuhan yang tahu.

Laporan media menunjukkan, betapa sertifikasi menghadapkan guru pada kompleksitas soal ketidakadilan, tunjangan profesi tertunda, ketiadaan biaya kuliah, hingga birokrasi di dinas pendidikan dan sekolah (Kompas 4, 8, 10, 11/4/2008).

Pada saat yang sama, pemerintah dan anggota DPR tega memangkas anggaran pendidikan (Kompas, 11/4/2008)?

Konstruksi ”Nasional”

Terpinggirkannya guru dan pengembangan pendidikan dari prioritas pembangunan menegaskan bahwa saat ini problem hubungan pendidikan dan semangat kebangsaan tidak terkait praktik skala mikro, tetapi politik kebijakan tingkat makro. Dalam praktik pendidikan di sekolah, nasionalisme ditunjukkan para guru melalui dedikasi profesi serta mengajarkan arti menjadi Indonesia dalam konteks sekarang.

Karena itu, tidak relevan menanyakan apakah para guru dan proses pendidikan di alam reformasi mampu membangkitkan nasionalisme lebih dahsyat daripada zaman kolonial yang melahirkan para pendiri republik. Yang harus dipertanyakan, seberapa mendalam konstruksi ”nasional” pendidikan kita dipahami dan diwujudkan dalam kebijakan strategis.

Jika diamati, berbagai kebijakan pendidikan, seperti kurikulum, evaluasi pembelajaran, standar pendidikan, dan sertifikasi guru, menunjukkan, ”nasional”nya sistem pendidikan kita hanya dimaknai dalam aspek geopolitik dan birokrasi. Lebih tragis, ”nasional” sering diartikan ”pusat/Jakarta”, menyiratkan hegemoni atas daerah.

Konsepsi filosofis-historis-kultural untuk menyatukan gagasan kebangsaan dilupakan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang diklaim ”nasional”. Akibatnya, pemerintah dan anggota DPR merasa, mereka—bukan massa-rakyat—adalah pusat dari semua kebijakan pendidikan sambil berpura-pura lupa bahwa sebagai representasi negara, mereka bertanggung jawab atas ketersediaan, aksesibilitas dan pembiayaan pendidikan bagi warga.

Refleksi ini mau mengingatkan, krisis nasionalisme yang diprihatinkan akhir-akhir ini bukan problem massa-rakyat aras akar rumput, semisal guru. Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.18.00371821&channel=2&mn=158&idx=158

Tidak ada komentar: