SUKSES menghijaukan Surabaya saat menjabat kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Tri Rismaharini yang kini sebagai kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) memiliki gebrakan baru. Yakni, menyulap sekolah-sekolah kecil dalam satu kompleks menjadi satu sekolah berfasilitas internasional.
Tidak hanya tiga hingga empat sekolah yang bakal digabung menjadi satu. Tetapi, ada juga sembilan sekolah dalam satu kompleks yang nanti disulap menjadi satu sekolah (nine in one). Tentu tidak mudah mewujudkan impian itu. Namun, Bappeko telah mematangkan konsep itu dan bertekad merealisasikan program itu mulai tahun ini.
Bukan tanpa alasan Risma harus memerger sekolah-sekolah tersebut. Berdasarkan pengamatan, selama ini begitu banyak persoalan yang kerap terjadi di sejumlah sekolah dalam satu kompleks itu. "Yang pasti, kebijakan itu demi pertimbangan efektivitas. Akhirnya, saya berencana memerger sekolah-sekolah itu," ujar alumnus ITS itu.
Untuk rencana awal, ada tujuh SDN kompleks yang dijadikan pilot project. Yaitu, SDN Simokerto I-IV; SDN Rangkah I-IX; SDN Bubutan IV, V, VI, VII, dan XI; SDN Putat Jaya I, II, V; SDN Karah I, II, IV, VI; SDN Sememi I-II; serta SDN Dupak I-IV.
Risma menjelaskan, beberapa persoalan di sekolah-sekolah itu, antara lain, terjadinya ketimpangan dalam jumlah siswa. "Ada sekolah yang jumlah siswanya hingga 300 anak, tetapi sekolah sebelahnya hanya memiliki 100. Ini kan jelas timpang dan berpotensi terjadi persaingan tidak fair antarsekolah dalam satu kompleks," katanya.
Mengapa tujuh kawasan itu menjadi prioritas dan dijadikan pilot project? Menurut Risma, di antara sekian banyak sekolah kompleks di metropolis, tujuh sekolah sekawasan itu dinilai memiliki problem masing-masing. Dia mencontohkan, SDN Rangkah I-V. Sekolah itu berlokasi di Kapas Krampung Kulon dan SDN VI-IX yang berlokasi di Kapas Krampung Wetan.
Lokasi dua sekolah kompleks tersebut berdekatan dengan Pasar Tambahrejo. Tak urung, Risma merasa risau dengan kondisi keramaian pasar dan dipastikan mengganggu aktivitas belajar-mengajar di sekolah tersebut. "Sangat tidak representatif sekolah dekat pasar. Selain itu, antara satu sekolah dan sekolah lain juga terjadi ketimpangan dalam banyak hal," cetusnya.
Karena itu, sambung Risma, pihaknya memutuskan untuk menyulap sekolah-sekolah tersebut menjadi satu saja. Risma menjelaskan, dalam rencana besar yang sudah dirancang, sembilan sekolah itu dilebur menjadi satu. Lokasinya dipilih di kompleks SDN Rangkah 1-V. "Kami bikin bertingkat. Lebih menghemat lahan. Dengan satu manajemen pula. Lebih simple dan tidak ribet," ujar ibu dua anak itu.
Sedangkan lokasi SDN Rangkah VI hingga IX bakal dibongkar total. Sebagai gantinya, di lahan itu bakal dibangun beragam fasilitas. Mulai fasilitas olahraga outdoor, lahan terbuka hijau, aneka permainan, hingga fasilitas-fasilitas untuk kegiatan ekstrakurikuler. "Kami memimpikan anak-anak sehat dan bisa menjadi atlet masa depan," tuturnya.
Lain lagi problem SDN Karah kompleks. Di kompleks tersebut terdapat empat sekolah, yaitu SDN Karah I, II, IV, dan VI. Sebelumnya, ada juga SDN Karah V. Namun, karena siswa siswinya terus menyusut, SDN Karah V lebih dulu tutup dan menggabungkan diri dengan SDN Karah I.
Seperti disampaikan Risma, masalah utama yang dihadapi SDN kompleks tersebut juga menyangkut ketimpangan jumlah siswa. SDN Karah IV dan VI mengaku kekurangan siswa sejak beberapa tahun terakhir. Setiap memasuki musim penerimaan siswa baru (PSB), jumlah siswa menyusut. "Tahun lalu kami hanya berhasil menjaring 17 siswa," tutur Kepala SDN Karah IV Kasiati.
Menurut dia, para orang tua lebih memilih SDN induk yang lebih lama berdiri. Yaitu, SDN Karah I dan II. Dua sekolah itu dianggap yang paling favorit di kompleks tersebut. Akibatnya, jumlah siswa njomplang. SDN Karah II, misalnya, kini memiliki 223 siswa. Itu berarti jumlahnya lebih dari dua kali lipat dari SDN Karah IV yang hanya memiliki 100 siswa.
Fakta ketimpangan jumlah siswa tersebut tentu berdampak pada banyak hal. Di antaranya, memengaruhi kualitas anak didik. Bisa dibayangkan apabila seorang guru hanya mengajar 10 siswa dalam satu kelas. "Tentunya beban moral. Guru menjadi malas mengembangkan diri, kehilangan semangat. Padahal, guru-guru saya relatif potensial," sambungnya. Kalau guru sudah kehilangan semangat, tentunya berpengaruh terhadap kualitas.
Karena problem-problem di sekolah sekompleks itulah, Risma memutuskan agar merger itu segera terwujud. Dan, sekolah-sekolah pascamerger bakal tidak kalah dengan kelas internasional. "Mimpi itu harus kami wujudkan. Fasilitas seperti laboratorium matematika maupun bahasa bakal disediakan," ujarnya.
Risma juga menekankan, bila masing-masing sekolah hasil merger itu nanti harus berwawasan lingkungan. "Ruang terbuka hijau wajib ada," katanya. Sebab, kecintaan terhadap lingkungan sejak dini dianggap penting.
Konsep yang dikembangkan di sekolah-sekolah itu adalah pengembangan multiple intelligence atau kecerdasan majemuk. Anak-anak yang berbakat di bidang olahraga, musik, maupun tari tak perlu khawatir bakatnya tak tersalurkan. "Fasilitas seperti ruang bahasa dan musik akan melengkapi," paparnya. Dengan begitu, tak hanya mereka yang pintar di bidang sains yang terwadahi.
Selain itu, kata Risma, seluruh ruang yang berkaitan dengan pembelajaran murid bakal dilengkapi dengan multimedia. Pembelajaran siswa juga terpantau dengan CCTV. "Tujuannya, belajar mereka terpantau. Nah, agar mereka betah tinggal di sekolah, kami tentu harus mencukupi kebutuhan mereka," terangnya.
Untuk itu, para tenaga pengajar juga harus dipersiapkan dengan profesional. "Dispendik harus mendukung kelengkapan fasilitas yang tersedia dengan tenaga pendidik yang profesional," ujarnya.
Untuk memenuhi fasilitas itu, anggaran yang disediakan cukup besar. Masing-masing sekolah yang dimerger membutuhkan anggaran Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar. "Meski bertaraf internasional, kami upayakan biaya tetap murah. Dengan begitu, kesempatan untuk mendapatkan sekolah layak bagi mereka yang tidak mampu sangat terbuka," tegas Risma.
Risma mengungkapkan, konsep pengembangan sekolah-sekolah yang bakal dimerger itu tengah dimatangkan tim. Dia mencontohkan, konsep merger untuk SDN Karah. Bappeko sudah membuat desain visual sekolah itu menjadi seperti apa. Jika saat ini kondisi existing sekolah itu secara umum kurang layak, dalam desain yang sudah tuntas nanti sekolah tersebut menjadi sangat istimewa.
Sementara itu, Kepala Dispendik Sahudi menyatakan bahwa konsep merger SD yang tengah dimatangkan Bappeko itu sejatinya program lawas. Dispendik mengaku program tersebut telah dilayangkan ke meja Bappeko setahun silam. "Itu sudah lama kami godok. Sekarang tengah digarap Bu Risma karena sudah muncul SK wali kota," kata Sahudi.
Selain konsep merger SD, lanjut Sahudi, pihaknya menyodorkan beberapa konsep lain untuk mempercepat laju pendidikan di Surabaya. Di antaranya, pembangunan SD baru di kawasan Kedinding. Hal itu dilakukan karena mengacu pertimbangan bahwa siswa SD di kawasan tersebut berlimpah.
Selain itu, ada konsep sekolah kawasan. Program tersebut berupaya mengatasi kemacetan pemerataan siswa saat penerimaan siswa baru. Selama ini siswa hanya mendaftar di sekolah-sekolah tertentu. Akibatnya, sekolah yang mendapat murid baru hanya sekolah itu-itu saja. Sekolah lain kelimpungan untuk mendapatkan siswa. Akibatnya, jumlah sekolah unggulan dari tahun ke tahun juga tak pernah bertambah.
Melalui sekolah kawasan, pemkot menunjuk beberapa sekolah di kawasan pinggiran untuk dibina menjadi sekolah maju. "Jadi, warga Surabaya tidak tertuju kepada SMA 5 saja. Tapi, juga bisa mendaftar ke SMA lain agar bisa mendapatkan pendidikan berkualitas," ucapnya.
Program lain, terang Sahudi, terkait penataan SD kompleks. Selama ini ada kecenderungan penerimaan murid di SD kompleks timpang. Ada SD yang mendapatkan siswa melebihi kuota dan ada yang kekurangan murid. "Kondisi ini tentu tidak efisien bagi proses pendidikan," katanya
Saat itu, dia mengusulkan penggabungan beberapa SD dalam satu payung lembaga dengan satu kepala sekolah. "Waktu itu ada 24 SD yang kami usulkan. Dua tahun sebelumnya kami mengusulkan 39 sekolah perlu dimerger. Tapi, tiap SD yang digabung perlu mendapatkan SK wali kota. Sebab, itu sama halnya membikin lembaga baru," ucapnya.
Setelah SK turun, barulah Dispendik bertanggung jawab terhadap penataan SDM (sumber daya manusia) sekolah tersebut. "Siapa Kasek yang ditunjuk dan berapa guru yang terlibat," jelasnya.
Sahudi juga mengakui, umumnya kondisi SD yang diusulkan untuk merger memang mengenaskan. Rata-rata memiliki ruang kelas yang tak layak dan jumlah siswa sedikit. Hal tersebut tentu berbeda dengan program sekolah kawasan yang menitikberatkan pembenahan manajemen sekolah. (kit/ara/git/hud) /// Indo Pos, Kamis, 03 Apr 2008,
03 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar