Hal itu terungkap dalam jumpa pers yang digelar para pengurus Education Forum terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta soal ujian nasional tersebut, Senin (14/4).
Sebagai latar belakang, gugatan warga negara atau citizen lawsuit dilayangkan 58 orangtua siswa, aktivis, dan pemerhati pendidikan—mewakili ratusan ribu warga negara lain—yang dirugikan akibat ujian nasional. Tercatat 398.049 siswa (SMP-SMA sederajat) yang tidak lulus UN 2006.
Mereka kemudian menggugat Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atas dilaksanakannya kebijakan ujian nasional yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa.
Sidang gugatan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diputuskan tanggal 21 Mei 2007 bahwa para tergugat, yaitu Presiden, Wapres, Mendiknas, dan BSNP, telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional.
Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN.
Setelah putusan dijatuhkan, tergugat melakukan banding. Melalui putusan nomor 377/PDT/2007 pada 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Hargai keputusan PT
Wakil Koordinator Education Forum yang aktif mendampingi para korban ujian nasional dalam menggugat pemerintah, Yanti Sriyulianti, mengatakan, pemerintah sebaiknya menghargai keputusan dan melaksanakan kewajibannya meningkatkan kualitas pendidikan sebelum menjalankan ujian nasional. Sebelum kewajiban itu terlaksana, seharusnya ujian nasional dihentikan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Suparman mengatakan, ujian nasional tidak memenuhi rasa keadilan karena diterapkannya hasil ujian itu sebagai standar nasional dan penentu kelulusan di tengah ketimpangan kualitas pendidikan. Selain itu, hak guru untuk mengevaluasi murid, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga berpindah ke tangan birokrat melalui ujian nasional.
”Secara pedagogis maupun hukum, ujian nasional tidak dapat dibenarkan,” ujarnya.
Pemberitahuan lambat
Yanti menambahkan, mereka kecewa karena pemberitahuan keputusan banding kepada pihak terkait sangat lambat. Dalam surat panggilan atau relaas pemberitahuan keputusan tersebut dicantumkan tanggal 6 Desember 2007. Namun, relaas pemberitahuan keputusan itu baru Senin 14 April 2008.
Kuasa hukum para korban yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban Ujian Nasional, Gatot, berharap pemerintah tidak mengajukan kasasi karena yang dilawan sesungguhnya adalah warga negara. ”Warga negara seharusnya mendapatkan pengayoman dari negara,” ujarnya. (INE/JON/YNT/MDN)
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.15.00581862&channel=2&mn=156&idx=15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar