Langkah pemerintah memangkas anggaran 10-15 persen setiap departemen dan lembaga nondepartemen pada prinsipnya bertujuan baik, yaitu demi penghematan dan efisien anggaran. Sudah menjadi rahasia umum kalau selama ini lembaga pemerintah menggelembungkan anggaran, sehingga angkanya membengkak.
Dalam kondisi keuangan negara yang seret saat ini memang tidak ada pilihan untuk tidak menghemat. Pemborosan uang negara sedapat mungkin harus dicegah. Tentu saja anggaran-anggaran yang tidak perlu atau belum jadi prioritas harus dipangkas, sehingga tercapai efisiensi sedemikian rupa. Hanya dalam praktiknya ternyata pemangkasan anggaran oleh pemerintah saat ini tidak berdasarkan prioritas. Tampaknya, pemangkasan anggaran tersebut dilakukan secara pukul rata, bahkan terkesan sesuka hati.
Departemen sepertinya tak mau repot merealokasikan anggaran mana yang prioritas. Akibatnya, ada pos anggaran yang seharusnya sangat penting justru dipangkas, sementara ada anggaran untuk program yang tak logis malah dipertahankan. Ironis bukan?
Realitas seperti itu terjadi di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang memangkas anggaran bagi rakyat miskin. Buktinya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2008 yang disahkan DPR, Kamis (10/4), anggaran Depdiknas dari semula Rp 49,8 triliun menjadi Rp 44,7 triliun. Anggaran beasiswa untuk siswa miskin yang semula Rp 359 miliar dipangkas Rp 71,85 miliar, sehingga tinggal Rp 287,15 miliar. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) buku pelajaran pun dipotong dari semula Rp 432 miliar menjadi Rp 166 miliar. Bahkan dana untuk program wajib belajar pendidikan dasar dan sertifikasi guru ditebas.
Kebijakan ini tentu saja menuai kecaman dan menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya orangtua siswa yang miskin. Pasalnya, sebagian besar orangtua siswa miskin, yang telah merasakan sedikit terbantu atau bebannya ringan dengan adanya dana BOS dan beasiswa, akan terbeban berat lagi dengan pemangkasan ini. Mendiknas Bambang Sudibyo sendiri dalam pertemuan dengan pimpinan media cetak dan elektronik di Jakarta, baru-baru ini, mengakui bahwa Depdiknas sengaja mengajukan pos dana BOS sebagai usulan pemangkasan anggaran ke Departemen Keuangan dengan harapan tidak terjadi pemangkasan anggaran Depdiknas.
Tampaknya, pemerintah tega juga memangkas anggaran untuk siswa miskin. Namun, kalau memang anggaran Depdiknas harus dipangkas, mengapa bukan yang pos lainnya. Toh Mendiknas bisa mengajukan usulan baru mengenai pos anggaran lain yang pantas dipangkas, sehingga anggaran yang justru menyangkut nasib rakyat banyak, khususnya siswa dari keluarga miskin, bisa tetap aman. Sudah pasti masih banyak pos anggaran di Depdiknas yang tidak begitu urgen, terutama yang menyangkut belanja birokrasi. Atau bisa pula anggaran di departemen lain yang tidak penting dialihkan ke Depdiknas, sehingga anggaran pendidikan tidak perlu dipangkas.
Kalau pemerintah serius mewujudkan perubahan dengan prioritas pendidikan, seharusnya anggaran pendidikan ditingkatkan, bukannya malah dipangkas. Tidak dipangkas saja belum memenuhi amanat konstitusi, yakni minimal 20 persen dari APBN. Apalagi kalau dipangkas maka kecukupan anggaran itu makin jauh dari harapan.
Kebijakan tersebut kontraproduktif, bahkan bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Hal ini akan menjadi pembenaran terhadap tudingan berbagai kalangan selama ini bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan kabinetnya tidak prorakyat miskin. Oleh karena itu adalah bijaksana kalau pemangkasan anggaran untuk rakyat miskin tersebut dikaji ulang. Demi rakyat tidak ada kata terlambat. (Tajuk Rencana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar