[JAKARTA] Pemerintah diminta menghormati keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Senin (14/4), terkait gugatan masyarakat (citizen lawsuit) oleh Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (Tekun) tentang penyelenggaraan ujian nasional (UN).
"Pemerintah seharusnya menunda UN dan melaksanakan putusan pengadilan. Pemerintah diharuskan meninjau ulang sistem UN sebagai syarat kelulusan siswa sesuai putusan PN Jakarta Pusat yang dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta," kata Ketua Tekun, Gatot, kepada SP, Senin (14/4).
Gatot mengatakan, tergugat juga harus mengambil langkah konkret menangani gangguan mental dan psikologis siswa yang menjadi korban UN. Tahun 2006 lalu, dari sekitar 1,5 juta siswa setingkat SMA, 167.867 di antaranya tidak lulus UN. Selain itu, dari sekitar dua juta siswa setingkat SLTP, 187.000 tidak lulus UN.
Dalam amar putusan, terang Gatot, dengan diterapkannya sistem UN, pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) warga negara yang menjadi korban UN, terutama dalam hal hak-hak pendidikan dan hak-hak anak.
"Dalam poin lainnya, pemerintah juga diminta menunda pelaksanaan UN hingga pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, kualitas guru, dan akses informasi yang merata. Artinya, selama pemerintah belum melaksanakan putusan itu seharusnya UN ditunda," ujarnya.
Dihubungi terpisah, pakar pendidikan Conny Semiawan menegaskan, tidak mungkin satu kali evaluasi akan menghasilkan anak-anak yang sehat, cerdas, dan kuat seperti yang diharapkan dalam penyelenggaraan UN. Menurutnya, tidak dengan hasil satu kali
penilaian bisa mencapai semua itu.
"Evaluasi adalah jangka panjang. Di dalamnya adalah menilai hasil belajar. Ebtanas adalah mengukur hasil belajar. Setelah menjadi UAS, UAN, dan UN hal ini menjadi kabur, apakah evaluasi mutu pendidikan atau menilai hasil belajar," ucap Conny. Kebijakan UN, katanya, mencerminkan sikap pemerintah yang sekadar mau hasil. Padahal, banyak hal yang masih dipertanyakan terkait dengan ujian nasional. Selain itu, lanjutnya, dalam konstitusi jelas dituliskan bahwa tugas negara antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa dan itu disepakati tanpa resistensi dari masyarakat.
"Setidaknya, hal ini dapat menjadi titik tolak. Namun, pemerintah menempatkan pencapaian ujian nasional sebagai tujuan akhir yang jelas tidak sinkron dengan konstitusi," tuturnya.
Dia juga menyayangkan ungkapan pemerintah yang terkesan tidak peduli terhadap stres yang dihadapi anak didik dalam menghadapi ujian nasional. "Belajar seharusnya tidak stres, melainkan menyenangkan. Selain itu, dalam pendidikan, yang dikenal ialah semua peserta didik harus lulus walaupun waktunya berbeda-beda," katanya.
Akses Tertutup
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, akses pendidikan bagi masyarakat miskin pun tertutup dan dipastikan pendidikan nasional terancam kehancuran. Hal itu ditegaskan Peneliti Bagian Hukum dan Monitoring Pendidikan ICW, Illian Deta Arta, di Jakarta, Senin (14/4), saat digelar ungkapan fakta dari sejumlah orangtua murid dan anggota komite sekolah yang telah mengumpulkan sejumlah bukti laporan keuangan sekolah yang diwarnai tipu daya.
Illian menyebutkan, penelusuran ICW terkait korupsi di sekolah terungkap di beberapa pos, seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS) APBN, bantuan operasional pendidikan (BOP) APBD, dan maraknya pungutan liar.
Kondisi yang ada saat ini, tambah Illian, malah terbalik. Tindakan korupsi dibungkam, dan pencemaran nama baik dijadikan acuan ancaman pidana pelapor. Komite sekolah yang ICW monitoring terbukti manupulatif dalam pengelolaan uang sekolah, dan dugaan korupsi pun semakin menguat. ICW mengingatkan, korupsi di sekolah merupakan mata rantai hingga ke Dinas Pendidikan.
Ketua Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, Handaru, juga menyesali lambannya pihak terkait (kepolisian) menangani laporan. [ASR/W-12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar