19 April 2008

Nasib pejuang, Perjuangan Veteran Tasmo yang Tak Pernah Usai


oleh: Wisnu Dewabrata, Kompas, Selasa, 17 April 2007

"Old soldiers never die; They only fade away."

Kutipan di atas pernah disampaikan tokoh Perang Dunia II, Jenderal Douglas MacArthur, sesaat setelah dipaksa mundur dari puncak rantai komandonya di Perang Korea tahun 1950-an.

Prajurit tua memang tak kan pernah mati. Mereka hanya berangsur-angsur menghilang dalam kesenyapan.

Setidaknya pepatah, yang juga potongan bait lagu populer di masa Perang Dunia I, seolah mengejawantah dalam sosok Tasmo Soebroto, seorang veteran perang sejak masa kemerdekaan.

Tasmo setidaknya berpengalaman mempertaruhkan nyawanya di lima pertempuran besar, bahkan sejak republik ini baru saja lahir. Tubuhnya memang kurus dan ringkih karena dimakan usia, yang menjelang sembilan dekade. Namun, nada suaranya terdengar lantang dan bersemangat saat bercerita. Kedua bola mata tuanya pun masih sanggup menyorot tajam ke arah mereka yang diajaknya bicara.

"Waktu itu kami ini hanya berjuang dan enggak pernah berpikiran mau cari pamrih. Pokoknya berjuang bagaimana caranya penjajah dan pemberontak bisa pergi dari Tanah Air. Setelah itu, ya balik jadi rakyat biasa lagi," ujar Tasmo ringan.

Saat bercerita, sesekali dia bangkit dari tempat duduknya, sekadar menunjukkan keseriusannya. Untuk lebih meyakinkan, Tasmo beberapa kali masuk ke kamar tidurnya dan keluar membawa setumpuk berkas dokumen kusam miliknya.

Lima pertempuran dialami Tasmo dan untuk setiap pertempuran itu dia memperoleh anugerah bintang penghargaan berikut piagam dari negara.

Kelimanya, antara lain, Bintang Gerilya, Penghargaan Perang Kemerdekaan I dan II, serta Satyalencana Gerakan Operasi Militer II dan V. Tasmo memajang kelima piagamnya itu dalam bingkai kusam, tergantung di salah satu sudut dinding "ruang tamu"-nya.

Tempat tinggal Tasmo hanyalah bedeng mirip warung kecil berukuran 2 meter x 10 meter, yang berdiri di atas bantaran Kali Sunter, tepat di salah satu sisi ruas jalan Cipinang Muara IV, Jakarta Timur. Dia membangun tempat itu dan mulai tinggal di sana sejak tahun 1980-an bersama istrinya, Siti Satriya. Di bedeng itu ia juga berjualan bensin campur atau makanan jika memang sedang punya modal.

"Selama ini kalau ada yang bisa dimakan, ya dimakan. Tapi kalau enggak punya apa-apa, ya terpaksa enggak makan. Syukur alhamdulillah saya masih sehat. Habis mau bagaimana lagi. Banyak dapat penghargaan kan bentuknya cuma kertas. Apa lalu bisa kertasnya dimakan untuk sehari-hari?" ujarnya terkekeh.

40 tahun dipersulit

Gelegar suara Tasmo yang lantang tak kurang berubah lirih ketika dia bercerita bagaimana sulitnya mengurus piagam veteran dan uang tunjangan veteran (tuvet) yang menjadi haknya.

Dari setumpuk berkas kumal bertuliskan ejaan lama yang ditunjukkannya, diketahui Tasmo sudah mendaftar untuk memperoleh Surat Keputusan Pengakuan, Pengesahan, dan Penganugerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI (Piagam Veteran) sejak tahun 1961. Namun, piagam veteran itu baru dia peroleh 40 tahun kemudian.

Formulir pendaftaran Tasmo bernomor 8996/A/2/XII/1961 tertanggal 23 Desember 1961. Sedangkan piagam veterannya bernomor Skep/516/M/V/2002, yang ditandatangani Menteri Pertahanan H Matori Abdul Djalil. Tidak sampai di situ, nyaris lima tahun berlalu pun Tasmo sampai sekarang masih harus bolak-balik mengurus tuvetnya yang tertahan, dengan alasan tidak jelas di PT Taspen (Persero). "Tapi yang lebih menyakitkan, waktu saya ke (PT) Taspen, salah seorang petugas ngomong begini, ’Hari gini kok masih ada veteran, Pak?’ Saya benar-benar sedih dan tidak terima dibegitukan. Kami ini masih ada dan masih hidup," ujar Tasmo dengan nada suara bergetar menahan marah.

Dari sejumlah pengalaman beberapa veteran, yang sempat ditemui Kompas, mereka mengakui kesulitan yang dialami Tasmo tadi sebagai suatu peristiwa yang biasa terjadi. Kesulitan itu, menurut mereka, seharusnya bisa diatasi jika saja sang veteran mau mengambil langkah "damai" dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai "pelicin".

"Saya tak mau nyogok. Kalau mereka mau, sini ta’ sogok saja pake bambu. Sejak dahulu saya dididik orangtua agar menjadi orang jujur. Apalagi tuvet itu diberikan pemerintah sebagai hak. Kenapa dipersulit? Mengapa sepertinya pemerintah tidak menghargai kami?" ujar Tasmo.

Berbelit-belit

Alur birokrasi pengurusan piagam veteran dan tuvet panjang dan berbelit-belit. Sekretaris Pimpinan Daerah Legiun Veteran RI (LVRI) DKI Jakarta Daslan P menjelaskan, proses pengajuan keduanya dilakukan secara berjenjang, mulai dari Badan Pembina Administrasi Veteran dan Cadangan Kodam di tingkat Kodim dan Kodam sesuai domisili hingga Direktur Administrasi SDM Direktorat Jenderal Kuathan Departemen Pertahanan. Setelah mengantongi SK pemberian tuvet, barulah para veteran mengurusnya ke PT Taspen (Persero) setempat. Namun, sebelumnya mereka harus mengisi blangko surat Permintaan Pembayaran Pensiun Pertama dan diwawancara.

Menurut Ketua Markas Daerah LVRI DKI Jakarta HW Sriyono, dari sejumlah pengaduan, banyak veteran dipersulit karena tidak mau menyogok. Tarif "uang siluman" itu bervariasi dan tentu saja tanpa surat tanda terima. Ada yang seharga Rp 3 juta untuk setiap urusan dan tinggal tahu beres. Belum lagi "biaya siluman" mengurus surat keterangan miskin dari kelurahan, yang juga tidak kalah mahal.

Bagi mereka yang tidak sanggup membayar tunai, dimungkinkan "mengagunkan" tuvet mereka selama beberapa bulan pertama layaknya cicilan. Jumlah yang diambil dengan cara seperti itu lumayan besar mengingat tuvet bulanan yang diterima besarnya Rp 300.000-Rp 700.000-an per orang. Padahal, untuk wilayah Jakarta hingga sekarang sudah dikeluarkan sekitar 26.000 SK tuvet.

Saat ditemui di tempat terpisah, Ketua Umum LVRI periode 2007-2012, Rais Abin, menyayangkan kondisi seperti itu. Menurut dia, banyak veteran yang masih hidup berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan serba kekurangan. Bahkan, ada veteran yang tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Timur, harus bekerja sebagai tukang sampah di masa tuanya sekadar untuk bertahan hidup.

Padahal, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai keberadaan dan jasa-jasa para pahlawan mereka. Jika benar pepatah itu diterapkan, boleh jadi Tasmo tidak tersia-sia dan diabaikan selama berpuluh tahun.

Akankah kita tega membiarkan mereka pelan-pelan lenyap begitu saja? Lenyap ditelan pekat dan gelapnya kesunyian serta ketidakpedulian?

Tidak ada komentar: