Pengantar
Informasi mengenai penemuan-penemuan baru maupun modifikasi dari yang sudah ada di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi muncul dalam hitungan menit. Menggali ilmu dari bangku sekolah saja akhirnya dirasa tidak cukup, apalagi kurikulum sekolah tidak selalu berubah. Kesadaran tersebut menggiring ke arah kesepakatan menciptakan kegiatan-kegiatan ilmiah yang terarah demi mengejar ketertinggalan pendidikan resmi di sekolah. Wartawan SP Sotyati menurunkan dua tulisan mengenai kegiatan ilmiah remaja di edisi hari ini.
udayinstan sedang melanda remaja kita Merek cenderung menempuh jalur pintas meraih ketenaran. Pernyataan seperti itu tak terhitung dilontarkan berbagai kalangan.
Dan, pernyataan seperti itu biasanya dilengkapi contoh kecenderungan remaja gemar mengikuti lomba menyanyi yang marak belakangan ini, atau mengikuti lomba wajah sampul majalah, ramai-ramai ikut audisi untuk bisa main sinetron, dan sebagainya.
Tentu pilihan seperti itu tidak salah, seperti dikatakan Kepala Biro Kerjasama dan Pemasyarakatan Iptek LIPI Dr Neni Sintawardani. "Asal dijalankan dengan cara positif dan wajar, tentu tidak dilarang," katanya.
Kenyataannya, sebagian remaja di negeri ini tetap setia menekuni bidang keilmuan dengan bergabung pada kelompok ilmiah di sekolahnya. Pilihan remaja itu pula yang diakomodasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Setiap tahun, LIPI menyelenggarakan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR), untuk menampung karya- karya ilmiah remaja. Selain LKIR, LIPI juga menyelenggarakan Perkemahan Ilmiah Nasional (PIRN). Pada 20-26 April lalu, misalnya, LIPI menggelar PIRN VII di Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah, Besuki, Tulungagung, Jawa Timur.
"Penyelenggaraan PIRN ini dikaitkan dengan upaya peningkatan minat siswa mengikuti kegiatan kelompok ilmiah remaja yang dirasa semakin meredup belakangan ini," Neni menjelaskan penyelenggaraan PIRN yang bertema "Membangun Budaya Inovatif di Kalangan Remaja" itu.
Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah bagi remaja dilaksanakan LIPI sejak tahun 1969. Berdasarkan pengalaman, perkemahan ilmiah dipandang sebagai salah satu kegiatan yang paling efektif dalam pembinaan kelompok ilmiah remaja. Dalam wadah itu, remaja langsung dibimbing dalam pelaksanaan penelitian secara metodologis dan diarahkan untuk menanamkan sikap dan perilaku scientific minded, scientific curiosity, dan scientific approach.
Melalui kegiatan seperti itu, diharapkan tumbuh kemandirian siswa dan remaja umumnya dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. "Tentu juga diharapkan dapat menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam mengisi pembangunan bangsa dan negara ini ke depan," kata Neni.
Remaja, menurutnya, perlu diberikan informasi kegiatan ilmiah bisa dilakukan dengan santai, sesuai dengan kecenderungan remaja yang lebih suka bermain-main. "Mereka harus disadarkan bahwa kemudahan-kemudahan yang membuat kehidupan semakin nyaman, seperti telepon seluler, gitar elektrik, dan internet, tidak akan ada tanpa orang-orang yang bergelut dalam kreativitas dunia ilmiah," katanya.
Perkemahan ilmiah remaja tersebut, kata Neni, merupakan terjemahan bebas dari Youth Science Camp. Konotasi "perkemahan" tidak harus dikaitkan dengan kemah yang menggunakan tenda. Istilah itu bisa diartikan sebagai tempat, ruang, kelas, aula untuk proses pembelajaran dan pelatihan.
Berdasarkan pemikiran itu pula, perkemahan ilmiah yang sudah berlangsung ketujuh kalinya itu, dilaksanakan dengan berbagai kegiatan menarik, yang pada intinya memperlihatkan kepada remaja bahwa kegiatan kreativitas ilmiah bisa dilakukan di mana saja. "Termasuk di kawasan pesantren ini," Neni melanjutkan.
Di dalam perkemahan ilmiah, remaja melaksanakan kegiatan ilmiah di lapangan terbuka yang berorientasi pada penelitian mencakup bidang ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan teknik (teknik rekayasa).
Sejarah KIR
Keberadaan kelompok ilmiah remaja tak lepas dari pemikiran bahwa menggali ilmu dari bangku sekolah saja dirasakan tidak pernah cukup. Kurikulum sekolah tidak selalu berubah, padahal di luar sekolah ilmu berkembang sangat pesat. Gelombang informasi mengenai penemuan-penemuan baru maupun modifikasi dari yang sudah ada di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi muncul dalam hitungan menit.
Kesadaran seperti itu muncul dalam Konferensi Anak-anak Sedunia yang diselenggarakan di Grenoble, Prancis, yang diselenggarakan Organisasi PBB Urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebuday (UNESCO), pada 1963. Kesadaran tersebut menggiring ke arah kesepakatan menciptakan kegiatan-kegiatan ilmiah yang terarah demi mengejar ketertinggalan pendidikan resmi di sekolah.
Kegiatan itu disebut out of school scientific and technical education (pendidikan teknik dan keilmuan di luar sekolah). Program pendidikan di luar sekolah itu harus dilaksanakan dengan cepat, terutama di negara-negara berkembang, yang sangat ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Program ditujukan bagi kelompok sasaran kelompok usia muda, terutama yang masih duduk di bangku sekolah menengah, baik pertama maupun atas. Pertemuan Grenoble merumuskan untuk kalangan sasaran itu perlu diciptakan klub-klub ilmiah yang disebut youth science club bagi kelompok usia 12-18 tahun.
Sejak itu, seperti dituliskan oleh Kikiek Haryodo dan Sofar Silaen dalam Mutiara edisi 28 Maret-10 April 1984, kelompok ilmiah remaja tumbuh dan berkembang di berbagai negara. Pada 1969, Kepala Bagian Penerangan Humas LIPI, lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, Drs Soedito, mulai mewadahi kelompok-kelompok ilmiah remaja yang mulai bermunculan.
Langkah awal yang ditempuh adalah menggelar ceramah-ceramah ilmiah di Jakarta. Perlahan namun pasti, kegiatan itu mulai didatangi peminat. Remaja Yudha Club adalah kelompok ilmiah remaja pertama yang tercatat dibentuk. Kelompok ilmiah itu bernaung di bawah harian Berita Yudha di Jakarta. KIR pertama yang tercatat dibentuk di lingkungan sekolah adalah KIR SMA Sumbangsih Jakarta.
Batasan usia anggota kelompok ilmiah remaja itu berubah selepas penyelenggaraan Regional Seminar for Leaders of Youth Science Activities yang berlangsung di New Delhi, India, pada 1970. Kesepakatan di India menyebutkan batas usia maksimum 21 tahun.
Kesepakatan itu didasarkan pada pertimbangan dalam jenjang pendidikan resmi pada usia 21 tahun seorang mahasiswa menyelesaikan tingkat sarjana muda, Di atas tingkat sarjana muda, mahasiswa dianggap sudah dewasa.
Kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan terutama untuk mengatasi kesenjangan pendidikan resmi dan perkembangan itu pengetahuan dan teknologi. esenjangan yang dirasakan di Indonesia di antaranya waktu belajar yang terbatas, khususnya jam pelajaran yang mengajarkan iptek, kemampuan daya tangkap siswa yang terbatas, kemampuan pengajar yang terbatas untuk menerima dan menguasai kepesatan informasi iptek, masih langkanya fasilitas pendidikan, serta penerimaan dan pengelolaan dana yang belum sesuai dengan tuntutan kemajuan iptek. *
Beraktivitas dalam Keberagaman
Peserta Pekan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) VII berdiskusi kelompok untuk menentukan topik penelitian; belajar berkompromi di tengah keberagaman [SP/Sotyati]
Empat remaja terlihat asyik mendiskusikan cara pengambilan sampel penelitian.Bukan sampel berupa limbah sisa pengolahan marmer itu yang menarik perhatian,tetapi logat masing-masing dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Mereka memang berasal dari daerah berbeda. Afra Atalanta berasal dari Gorontalo, Yohanes Putro Nugraha dari Purworejo, Muhammad Sahid FW dari Yogyakarta, dan Olga dari Padang.
Perwujudan "Indonesia mini" itu juga tercermin dari asal sekolah. Sahid, adalah murid SMP Muhammadiyah, sedangkan Yohanes dari SMA Bruderan. Di kelompok kecil itu, walau satu-satunya yang masih duduk di bangku SMP, Sahid punya hak berpendapat sama dengan yang lain. Idenya tentang tata cara pengambilan sampel disetujui yang lain.
Afra, Yohanes, Sahid, dan Olga adalah sebagian dari peserta Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) VII. Kegiatan itu diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah, Besuki, Tulungagung, Jawa Timur. Kegiatan yang dilangsungkan di Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah, 20-26 April lalu itu, tercatat diikuti 370 siswa dari 27 provinsi di seluruh Indonesia.
Selama sepekan, siswa dan anggota kelompok ilmiah remaja, bersama-sama menggeluti kegiatan ilmiah. Salah satunya, terjun ke lapangan untuk meneliti. Seluruh peserta PIRN dibagi dalam tiga kelompok besar, IPA, IPS, dan Teknik, dan masing-masing kelompok bidang minat itu dibagi lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Afra, Yohanes, Olga, dan Sahid masuk dalam kelompok peneliti Bidang Teknik. Tanpa memedulikan sinar matahari yang terasa menyengat pada Selasa (22/4) siang lalu, mereka mengemban tugas mengambil sampel di pabrik pengolahan marmer tak jauh dari aula pondok pesantren yang menjadi pusat kegiatan. Bersama-sama anggota kelompok Teknik yang lain, mereka akan mengukur tingkat keasaman sampel.
Kesibukan kelompok peneliti Bidang IPS tak kalah heboh. Annas Nurul Fadhilah dari SMAN 7 Yogyakarta, bersama kawan-kawan dari berbagai sekolah, mengambil topik penelitian "Kontribusi Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah terhadap Desa Besole". Kelompok itu membagi tugas. Sebagian "bergerilya" mencari responden di lingkungan pondok pesantren, sebagian lagi berburu data ke kelurahan yang lumayan jauh jaraknya dari pusat kegiatan.
Kesibukan yang sama harus dihadapi Rio Fanta Sholeh dan teman-teman kelompoknya. Walau terlihat mondar-mandir di pondok pesantren, buku catatan tak lepas dari tangan siswa SMA Jawaahirul Hikmah itu. "Kami mengambil topik keberadaan budi daya lobster bagi pondok pesantren," katanya, sambil tertawa.
Di Aula, I Gede Putu Dharma terlihat sibuk mengetik di laptop-nya. Siswa SMAN 4 Denpasar Bali itu mendapat tugas menuliskan laporan akhir dari kelompoknya. "Kami mengambil topik intensitas waktu belajar bagi siswa boarding school," ujarnya.
Pilihan topik yang lumayan cerdik, karena sebagian peserta PIRN VII itu berasal dari sekolah berasrama. "Tidak terlalu repot berburu responden," tutur siswa yang pernah meneliti terumbu karang di Serangan, Bali itu, sambil tertawa.
Berbeda dengan kelompok-kelompok di atas, Rini Widowati dan kelompoknya serta Agnes Kenya Winanti dan kelompoknya harus menembus teriknya sinar matahari. Rini Widowati dari SMA Tulungagung dan kawan-kawan, siang itu harus menginvetarisasi vegetasi di lokasi penambangan marmer yang lumayan jauh dari pusat kegiatan. Agnes dari SMA Stella Duce 1 Yogyakarta dan teman-temannya memburu responden di desa, untuk menggali kesenian tradisional.
Belajar Kompromi
Sebelum terjun ke lapangan meneliti secara berkelompok, peserta mengikuti kegiatan kelas. Mereka mendapatkan pembekalan materi dari para ilmuwan LIPI. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Dr Hery Harjono menyampaikan materi "Kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia dan Potensi Kebencanaan".
Panitia pada kesempatan itu juga menampilkan Dr Laksana Tri Handoko sebagai contoh peneliti muda yang sukses, yang menyampaikan materi ceramah "Menumbuhkan Budaya Inovatif di Kalangan Remaja". Tiga ilmuwan LIPI yang lain terjun membimbing kegiatan lapangan. Dr Iwan Saskiawan, peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI, menjadi instruktur kelompok IPA. Kelompok IPSK dibimbing oleh Drs Sofar Silaen MM, dan kelompok Teknik dibimbing oleh Drs Martahan Tambunan. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil penelitiannya pada hari keempat, Kamis (24/4).
Penyelenggara mengawali kegiatan dengan ice breaking untuk lebih mengakrabkan masing-masing peserta mengingat mereka berasal dari berbagai daerah. "Bukan hanya dalam kelompok kerja, bahkan dalam urusan tidur pun 'diaduk'," kata Putu Dharma, yang terpaksa berpisah tidur dengan Putu Wisnu Arya Wardana, teman satu sekolahnya.
Anya, panggilan akrab Agnes, mengaku senang mendapatkan kesempatan mengikuti kegiatan itu. Bukan hanya karena mendapatkan bimbingan langsung dari para ilmuwan, ajang itu juga bermanfaat untuk menjalin pertemanan dengan berbagai siswa dari sekolah lain di seluruh Indonesia, dan belajar bekerja sama.
Kelompoknya termasuk kelompok yang sangat heterogen. Di kelompok itu terdapat siswa SMA Kristen Petra 2 Surabaya yang terkenal sebagai sekolah pencetak juara lomba karya ilmiah. Penentuan topik penelitian berlangsung lumayan seru. Di kelompok itu juga ada Indah Arnelis, peserta dari Bulukumba yang sedang mempersiapkan diri mengikuti lomba karya ilmiah mendatang.
Apa pun kesan yang muncul, mengenal keberagaman lebih tampak mengemuka dalam penyelenggaraan PIRN VII. Ketika panggilan salat subuh menggema di saat hari masih gelap, semua peserta, apa pun agamanya, ikut bangun. Paling tidak, yang tidak melaksanakan salat subuh, bisa memanfaatkan kamar mandi lebih awal. Ada kesadaran untuk mengurangi antrean. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar