21 April 2008

Mencermati Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru

Ditulis oleh : Paryono, Alumnus Pascasarjana IPB, Dosen Universitas Mataram, Lombok

Setiap awal tahun ajaran baru, dunia pendidikan kita mempunyai hajatan besar yaitu seleksi penerimaan siswa/mahasiswa baru. Dalam kegiatan tersebut tidak hanya siswa yang sibuk, tetapi juga orang tua siswa. Karena, orang tua siswa tidak hanya dihadapkan pada pilihan sekolah, tetapi juga konsekuensi biaya sekolah yang akan ditanggung. Satu hal yang menarik dari seleksi tersebut adalah sistem penerimaan siswa yang sering berubah, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dalam seleksi penerimaan mahasiswa, harapan bisa kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) masih besar. Salah satu alasannya yaitu biaya kuliah yang relatif murah. Karena itu, jika terjadi perubahan sistem seleksi penerimaan mahasiswa, hal itu sering meresahkan para siswa.

Jika kita lihat ke belakang, terjadi beberapa kali perubahan dalam sistem penerimaan mahasiswa baru. Mulai seleksi penerimaan mahasiswa di setiap PTN hingga pelaksanaan seleksi yang dilakukan secara kolektif. Dalam seleksi secara kolektif, juga terjadi perubahan yaitu sistem SKALU, proyek perintis, sistem penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru), penelusuran minat dan kemampuan (PMdK), ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), dan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).

Seleksi secara kolektif pertama kali dikenal sekretariat kerja sama antarlima universitas (SKALU) pada 1976 yang diadakan UI, IPB, ITB, UGM, dan Unair. Dalam sistem itu, calon mahasiswa bisa memilih salah satu PTN tersebut tanpa perlu melakukan ujian di lokasi PTN yang diinginkan. Pada 1979, sistem itu dikembangkan dengan melibatkan lebih banyak PTN yang dibagi dalam beberapa kategori yaitu proyek perintis I, perintis II, perintis III, dan perintis IV. Dalam sistem itu, mahasiswa diizinkan memilih tiga program studi di tiga PTN. Selain seleksi lewat ujian tertulis pada proyek perintis 1, dikembangkan pula oleh IPB, UI, ITB, dan UGM dengan nama proyek perintis II yaitu penerimaan mahasiswa baru tanpa ujian (bebas tes).

Pemilahan sistem tersebut dirasa masih belum baik sehingga pada 1983 terjadi penggabungan dari semua PTN dengan nama sipenmaru dan sistem penerimaan tanpa ujian yang dikenal dengan nama PMdK. Pada 1989, PMdK dihapus dan sipenmaru berubah menjadi UMPTN. Kecuali IPB yang masih menerima mahasiswa bebas tes dengan nama USMI. UMPTN bertahan hingga 2001 dan berubah nama menjadi seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).

Kita menghargai perubahan tersebut karena nilai kebersamaan, keadilan, efektivitas, dan transparansi lebih dikedepankan. Karena itu, semua PTN secara bersama-sama melakukan satu sistem seleksi, terdapat keadilan bagi semua lapisan siswa baik yang kaya atau miskin untuk berkompetisi secara adil. Dari sistem tersebut juga terdapat efektivitas bagi calon mahasiswa karena tidak perlu repot-repot melakukan ujian di PTN yang diinginkan. Hal itu akan sangat terasa bagi calon mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah. Nilai transparansi dari sistem yang ada juga lebih terjamin sehingga hanya calon mahasiswa yang nilai tesnya bagus yang bisa diterima. Karena itu, peluang adanya titipan calon mahasiswa masuk PTN tertentu dapat diminimalkan.

Perubahan sistem saat ini

Wacana tentang perubahan sistem seleksi mahasiswa baru dengan ditandai tekad 41 PTN anggota perhimpunan SPMB keluar dari perhimpunan dan akan melaksanakan seleksi sendiri di setiap PTN telah membuat resah calon mahasiswa.

Munculnya wacana tersebut dipicu oleh Surat Keputusan Menkeu No.115/KMK.06/ 2001 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mewajibkan dana seleksi mahasiswa baru harus disetor ke kas negara, selama ini dana tersebut dianggap tidak masuk kas negara. Walaupun hal itu dibantah oleh pengurus Perhimpunan SPMB bahwa pengelolaan dana SPMB tidak melanggar peraturan. Menurut Asman Budisantoso, Perhimpunan SPMB yang dibentuk dan berbadan hukum dari SK Menteri Hukum dan HAM adalah sah secara hukum untuk melakukan penerimaan dana di luar sistem penerimaan negara dan bukan objek pajak PNBP.

Calon mahasiswa mungkin tidak mempersoalkan tata cara penggunaan dana tersebut, asalkan digunakan dengan transparan tanpa ada penyimpangan (korupsi). Yang menjadi masalah adalah sistem pelaksanaan seleksi tersebut, apakah akan merepotkan. Kekhawatiran itu beralasan karena sekarang ini banyak PTN yang melakukan seleksi sendiri selain lewat jalur SPMB. Pelaksanaan seleksi sendiri itu disebabkan berbagai alasan, mulai kurangnya mahasiswa hingga seleksi yang arahnya diduga mencari calon mahasiswa berkantong tebal.

Tes mandiri yang dilakukan oleh PTN berstatus BHMN dilakukan tidak hanya dengan pertimbangan nilai tes, tetapi juga jumlah sumbangan yang akan dibayar. Karena nilai sumbangan itu sudah mencapai ratusan juta rupiah. PTN dengan status BHMN tersebut beralasan bahwa penarikan sumbangan itu diterapkan tidak untuk semua mahasiswa, tetapi hanya sekian persen dari jumlah mahasiswa. Tetapi alasan itu akan sulit dipercaya oleh masyarakat. Katakanlah saat ini calon mahasiswa yang ditarik sumbangan hanya 20%-nya, tetapi tidak dijamin persentase tersebut akan bertahan untuk selamanya atau dengan pertimbangan penuh untuk subsidi silang dalam pembiayaan universitas. Hal itulah yang mengkhawatirkan bagi banyak kalangan jika sistem penerimaan mahasiswa dilakukan sendiri-sendiri. Selain merepotkan tenaga, biaya, dan waktu, kepercayaan akan transparansi hasil tes akan menurun. Masyarakat akan cenderung beranggapan untuk bisa masuk PTN favorit hanya dari kalangan tertentu yang punya akses baik akses orang dalam universitas atau akses keuangan (berduit).

Menghargai keputusan bersama sistem seleksi mahasiswa

Wacana perubahan sistem penerimaan mahasiswa baru berakhir dengan diputuskannya untuk memakai sistem lama (SPMB) dari hasil rapat para rektor dengan Dirjen Dikti, 26 Maret 2008. Kabar terakhir sistem ini diberi nama seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNM PTN). Kemiripan dengan SPMB yaitu seleksi mahasiswa dilakukan secara nasional dengan tata cara pilihan jurusan sama dengan SPMB. Yang berubah hanya dalam hal pengelolaan dana yang disesuaikan dengan peraturan Menteri Keuangan.

Apa pun namanya, sistem tersebut kita akan menyambut baik, asalkan nilai kebersamaan, efektivitas, transparansi, dan keadilan bisa dirasakan oleh semua lapisan calon mahasiswa. Tidak kalah penting dari nilai-nilai tersebut adalah sebagai sarana perekat bangsa. Sebagai gambarannya dalam suatu PTN terdapat mahasiswa yang berasal dari berbagai kalangan, suku, dan ras mulai dari Aceh sampai Papua.

Dalam perjalanannya, terjadi interaksi antarmahasiswa sehingga di antara mereka akrab dan saling mengenal karakter berbagai mahasiswa yang beda suku dan ras. Dengan kondisi negara yang terancam disintegrasi, minimal mereka akan berpikir panjang dan mempertimbangkan apakah akan mendukung atau tidak, gejala disintegrasi bangsa tersebut, apalagi sebagai pelaku disintegrasi bangsa.

mediaindonesia.com, 16/4/2008



Tidak ada komentar: