29 April 2008

Kasus Kecurangan Ujian Nasional, Mendiknas Dinilai Kalap

Suara Pembaruan, 28/4/2008 JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Nuzran Joher, di Jakarta, Minggu (27/4), menilai, langkah Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo melaporkan dan memidanakan kasus kecurangan ujian nasional SMA 2 Lubuk Pakam, Sumatera Utara (Sumut), merefleksikan kekalapan dan wujud kepanikan politik menjaga citra kebijakannya. "Sudah jelas, kebijakan UN itu memang bermasalah. Mendiknas bukan justru malu atas kejadian penggerebekan oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 ke sekolah tersebut," kata Senator dari Provinsi Jambi ini kepada Antara.

Mantan pimpinan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) ini menyatakan, tindakan petugas Densus 88 itu sudah keterlaluan, karena mereka bukanlah penyidik (untuk mengusut kasus atau masalah UN di sekolah tersebut).

"Mereka bukan penyidik, tetapi guru-guru di sana diperlakukan bagai teroris saja. Lebih ironis lagi, mestinya Mendiknas mencegah Densus 88 masuk sekolah, karena kalau toh benar ada kasus kebocoran soal-soal UN, (atau pengiriman jawaban UN via SMS), itu hanya kasus atau masalah hukum biasa," katanya.

Kriminalisasi Guru

Kini, menurut Nuzran Joher, situasi menjadi aneh, karena sepertinya Mendiknas mendorong terjadinya kriminalisasi guru, bukan justru menentang atau mengeritik tindakan para anggota Densus 88 (menerobos masuk sekolah). "Tidak adil jika kriminalisasi UN hanya ke satu pihak saja. Justru Mendiknas harus melakukan langkah persuasif dan langkah mendidik, bukan mengambil langkah panik dan kalap," kata Nuzran Joher.

Terkait dengan itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengimbau kepada segenap guru untuk tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak lain menyusul penangkapan oleh anggota Densus 88 Anti-Teror Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) terhadap 17 guru dari Sekolah Negeri 2 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, pekan lalu.

"Kami sangat menyayangkan cara penangkapan oleh anggota Densus 88 itu, secara demonstratif melompat tembok pagar ketika ujian nasional (UN) sedang dilaksanakan. Ini sangat berlebihan, karena guru-guru tersebut terkesan dianggap seperti teroris. Padahal, mereka bukanlah teroris," ujar Pengurus PGRI Medan, Muhammad Nuh, Minggu (27/4) malam.

Muhammad Nuh menilai, penangkapan oleh polisi dengan melompat tembok pagar sekolah sangatlah provokatif dan merugikan harga serta martabat guru di hadapan publik. Tindakan polisi dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang harus sejahtera dan dilindungi oleh hukum saat melaksanakan tugas.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sekolah menyatakan kesiapan untuk membantu 17 guru yang tersangkut dalam kasus hukum terkait dalam membantu murid peserta UN di SMA Negeri 2 Lubuk Pakam. Menurut Direktur Eksekutif LNH Sekolah, Rider Nababan SH, kecurangan guru tersebut akibat dari kesalahan pemerintah.

Sementara itu, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Syahrul Yasin Limpo merasa sangat malu dengan kejadian pembocoran soal UN di beberapa sekolah di Makassar. Untuk itu ia minta pihak kepolisian agar segera memproses hukum kepala sekolah (Kepsek) dan guru yang terlibat dalam kasus itu.

"Saya bisa memahami kondisi kesulitan yang dihadapi para pendidik menghadapi UN. Namun, tindakan membocorkan soal UN bukanlah cara terbaik untuk melepaskan para siswa dari kesulitan. Cara itu merupakan pelanggaran hukum, membocorkan rahasia negara," jelas Syahrul di Makassar, Minggu (27/4) malam. [AHS/148]

Tidak ada komentar: