Pengantar
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/2) mengenai gaji guru dimasukkan ke dalam komponen anggaran pendidikan, sebenarnya tidak menjadi berita menarik lagi di media massa. Tetapi, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama koalisi pendidikan dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) masih terus menggugat amar putusan MK tersebut dengan cara eksaminasi, sehingga masalah ini patut disimak. Wartawan SP, Marselius Rombe Baan dan Willy Masaharu mencermati kekacauan logika berpikir, berikut implikasi dari putusan MK itu dalam tulisan berikut:
SP/YC Kurniantoro
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie (tengah) memimpin jalannya sidang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/2). Sidang uji undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) ini memutuskan gaji pendidik akan dimasukkan dalam anggaran pendidikan pada APBN dan APBD.
barat pepatah, sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai, itulah yang dilakukan PGRI. Organisasi para guru ini, masih saja menuntut pemerintah memisahkan antara gaji guru dengan anggaran pendidikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan gaji guru masuk komponen anggaran pendidikan.
MK dalam keputusannya Rabu (20/2), mengabulkan uji materil Undnag-Undang (UU) 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan menyatakan gaji guru harus dimasukkan ke dalam komponen anggaran pendidikan. Uji materiil itu sendiri dimohonkan oleh Rahmatiah Abbas, guru asal Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dan Badryah Rifai, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Para pemohon menganggap UU 45/2007 tentang APBN 2008 dan Pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas sangat bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945, karena dianggap telah mengecualikan komponen gaji guru dan dosen dari anggaran pembelanjaan negara. Implikasinya adalah gaji guru menjadi bagian dari anggaran pendidikan yang oleh konstitusi diamanatkan sebesar 20 persen setiap tahun.
Putusan itu disambut pro dan kontra, tetapi lebih banyak yang mengecamnya. ICW sendiri menganggap putusan MK itu sebagai langkah mundur dunia pendidikan nasional. ''Putusan itu akan berdampak pada kian melambungnya biaya pendidikan di semua jenjang pendidikan. Dampaknya adalah beban pendidikan yang kian melambung tetap dibebankan kepada orangtua siswa," kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan. (SP, 21/2).
Ditegaskan, konstitusi mengamanatkan biaya pendidikan ditanggung negara. Karena itu, jika putusan berakibat pada makin beratnya beban yang harus ditanggung orangtua siswa, maka putusan MK itu bisa dikatakan sebagai upaya pengingkaran negara terhadap dunia pendidikan.
Ade menerangkan, jauh sebelumnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR mengenai skenario kenaikan anggaran pendidikan secara bertahap. Dalam skenario yang telah disepakati itu, gaji guru memang tidak dimasukkan ke dalam komponen anggaran pendidikan.
Karena itu, ICW bersama koalisi pendidikan melakukan eksaminasi (pengujian) terhadap putusan MK tersebut. Meski putusan MK bersifat final, ICW berharap masalah anggaran pendidikan tersebut bisa dieksaminasi untuk kepentingan pendidikan na- sional.
Tidak hanya PGRI dan ICW, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) pun kecewa dengan keputusan gaji guru dan dosen masuk dalam perhitungan anggaran pendidikan 20 persen. "FGII mengajak semua elemen masyarakat, baik para konsumen pendidikan maupun yang peduli pendidikan untuk bersama-sama melakukan gugatan hukum atas putusan ini," tegas Sekretaris Jenderal DPP FGII, Iwan Hermawan beberapa waktu lalu.
MK pun merespons gugatan tersebut. Sidang pengujian atas keputusan memasukkan gaji guru ke komponen anggaran pendidikan itu, digelar Rabu (26/3). ''Anggaran pendidikan seharusnya tidak tercampur dengan anggaran gaji guru dan pendidik, sehingga anggaran pendidikan itu murni anggaran yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pendidikan,'' tutur Muhammad Asrun salah seorang kuasa hukum PGRI seusai persidangan di MK.
Mendekati 20 Persen
Dengan putusan MK tersebut, maka anggaran pendidikan 2008 saat ini naik dari 11,8 persen menjadi 18 persen dari total APBN 2008. Artinya, kata Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Soedjiarto, tinggal menambah 2 persen saja, pemerintah bisa mengklaim telah memenuhi amanat UUD 1945, yakni anggaran pendidikan harus minimal 20 persen dari total APBN.
Namun, menurut Soedjiharto, memindahkan alokasi gaji guru ke dalam anggaran pendidikan berdampak pendidikan akan semakin mahal. "Dengan kata lain, pemerintah berusaha lepas tangan terhadap pembiayaan pendidikan yang seharusnya menjadi kewajiban negara," ujarnya.
Dia memaparkan, alokasi anggaran sebesar 20 persen itu, antara lain, untuk setiap anak 7-15 tahun diwajibkan untuk belajar tanpa biaya sepersen pun dari orangtuanya. Setiap peserta didik memiliki buku tulis, buku pelajaran, buku bacaan, dan buku rujukan. Selain itu, setiap sekolah juga harus memiliki buku pelajaran, buku guru, buku sumber, dan buku bacaan.
Hasil kajian Bappenas kata Soedjiarto menyimpulkan, kebutuhan anggaran pendidikan nasional seharusnya mencapai Rp 140,5 triliun. Karena itu, jika putusan MK tersebut menjadi rujukan Pemerintah dengan asumsi bisa memenuhi anggaran pendidikan angka 20 persen sesuai amanat konstitusi, belum bisa memecahkan kebutuhan pendidikan.
Untuk tahun 2008, misalnya, dengan anggaran pendidikan yang tadinya hanya Rp 48 triliun menjadi Rp 49,97 triliun setelah ditambah komponen gaji guru (18 persen), tetap saja masih jauh dari kebutuhan rill pendidikan. Mungkin secara yuridis formal, pemerintah bisa memenuhi amanat konstitusi, tetapi semangat memajukan pendidikan, belumlah terwujud.
SP/Alex Suban
Guru mengajar siswa kelas V SDN Umbul Kapuk, di Desa Panggung Jati, Kecamatan Taktakan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten yang belajar di bawah tenda di halaman sekolah.
Semangat Konstitusi
Senada dengan itu, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sulawesi Tengah, Salehuddin Awal, kepada Antara di Palu, mengatakan, putusan MK itu berimplikasi pada naiknya anggaran pendidikan 2008 dari 11,8 persen menjadi 18 persen dari total APBN, sehingga tinggal 2 persen lagi, Pemerintah bisa memenuhi angka 20 persen sesuai amanat UUD 1945.
Menurut Salehuddin, angka sekurang-kurangnya 20 persen anggaran pendidikan mestinya lebih dimaknai sebagai komitmen meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui pembangunan sarana dan peningkatan sumber daya pendidikan.
''Komitmen itu harus didasarkan pada kondisi rill pendidikan di mana masih banyak sekolah yang rusak, anak putus sekolah, kualitas tenaga pendidik yang perlu ditingkatkan, serta berbagai problematika pendidikan lainnya,'' ujar Salehuddin.
Kalau dicermati, putusan MK yang memasukkan gaji guru ke dalam komponen anggaran pendidikan, memang bernuansa politis. Tidak etis menuduh siapa di balik putusan dari lembaga MK yang notabene independen itu.
Apakah ada kepentingan politik Pemerintah di balik putusan ini untuk kepentingan sesaat menjelang 2009, sulit membuktikannya. Tetapi, beberapa lama sebelum pengajuan uji materil yang dilakukan Rahmatiah Abbas dari Sengkang, Wajo, Sulsel itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyatakan akan meminta revisi terhadap UU Sisdiknas bila para guru menginginkan peningkatan kesejahteraan para guru. Wapres mengatakan hal itu kepada wartawan di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, setelah menerima kunjungan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa pun mendampinginya (SP, 21/8/2007).
Kalau benar semangat Kalla itu untuk meningkatkan kesejahteraan guru, patut diacungi jempol. Tetapi benarkah kebijakan menggabungkan gaji guru masuk anggaran pendidikan itu akan membuat guru sejahtera?
"Meskipun yang mengajukan uji materil itu guru, tapi justru yang diuntungkan pemerintah bukan guru," kata anggota Komisi C DPRD Kota Kediri, Jawa Timur, Ahmad Tsalis, belum lama ini.
Bahkan putusan MK itu kata Tsalis, berpotensi terjadi pengurangan anggaran pendidikan. Seperti dilansir Antara, Tsalis mengatakan, dengan dikabulkannya permohonan uji materil tersebut, komponen gaji pendidikan dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
"Ini tidak berarti apa-apa bagi guru, bahkan anggaran untuk program pendidikan malah bisa berkurang, karena lebih banyak tersedot untuk gaji guru," kata Tsalis.
Lalu apa untungnya putusan MK itu bagi guru? Kalau ada kecurigaan ada kepentingan politik sesaat di balik putusan MK tersebut, bisa jadi ada benarnya.
Kenapa, sebab bisa saja angka 20 persen itu menjadi bahan kampanye pihak tertentu nanti bahwa amanat konstitusi sudah dilakukan atau setidaknya mendekati. Semoga saja tidak demikian, tetapi kalau ternyata ada kepentingan seperti itu, logikanya sungguh menyesatkan.
Sebab, semangat dari angka 20 persen anggaran pendidikan dari total APBN, bukan sekadar formalitas yuridis, melainkan lebih pada moralitas dan kemauan politik untuk memberi perhatian besar terhadap kemajuan pendidikan. Artinya, sekalipun anggaran pendidikan mencapai 20 persen bahkan lebih termasuk gaji guru, selagi kebutuhan rill pendidikan tidak terpenuhi, esensi dari semangat konstitusi itu belum tercapai.
Hal yang diperlukan adalah kemauan politik pemerintah menyediakan anggaran yang cukup guna memajukan pendidikan, termasuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dan itu bisa dilakukan seperti yang diterapkan beberapa bupati di daerah seperti Bupati Sinjai, Andi Rudyanto Asapa di Sulawesi Selatan yang menganggarkan pendidikan sampai 45 persen dari APBD.
Lagi pula, kalau gaji guru yang notabene adalah pegawai negeri sipil (PNS) masuk anggaran pendidikan, lalu bagaimana dengan gaji PNS di departemen lain? Apakah juga harus masuk dalam komponen anggaran departemen bersangkutan?
Putusan MK yang memasukkan gaji guru dalam anggaran pendidikan di APBN, juga bisa berarti gaji semua guru secara nasional menjadi tanggungan APBN. Kalau demikian, maka sistem pengajian guru bisa seperti sebelum otonomi, yakni gaji guru dialokasikan dalam APBN, bukan APBD seperti sekarang. Kesimpulannya, putusan MK yang sarat politis dan logikanya kacau tersebut, pantas diuji lagi. * Suara Pembaruan 9/4/2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar