09 April 2008

Rahmatiah: Saya Tidak Mau Disebut Pahlawan

SP/M Kiblat Said - Rahmatiah Abbas

Penampilannya sangat sederhana, gaya bicaranya lembut, namun di balik kelembutannya, wanita kelahiran Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel),
30 Oktober 1948, telah membuat sejarah. Dialah Dra Hj Rahmatiah Abbas guru yang permohonan uji materiilnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang (UU) 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU 18/2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2007.

Meski permohonannya dikabulkan MK, guru asal Kota Sengkang, Wajo, sebuah daerah yang terletak sekitar 192 km (kilometer) dari Makassar ini, tak ingin bermegah. "Saya tak ingin disebut pahlawan, apa yang kami perjuangkan adalah keadilan serta sebuah tuntutan perubahan atas kondisi yang dihadapi guru selama ini," katanya kepada SP di rumahnya, di Jalan Asoka Nomor 175 Sengkang, Kabupaten Wajo, Minggu (30/3).

Rahmatiah satu dari dua wanita asal Sulsel, nekat mengajukan permohonan ke MK untuk melakukan pengujian materil terhadap Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas dan UU APBN 2007.

Selain dirinya, terdapat Prof Dr Badryah Rifai, SH, Ketua Program S3 Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, sebagai pemohon kedua. Mereka kompak menghadapi perjuangan di MK sejak 14 September 2007 hingga lahirnya putusan MK yang mengabulkan permohonan mereka. Rahmatiah meniti karier pendidik sejak 1 Mei 1969, setamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada usia 20
tahun, sebagai guru kelas di SD 10 Sengkang, Wajo.

Saat itu, sekolah tempat ia mengajar masih berdinding bambu, beratap nipah, para siswa belum berseragam dan masih bertelanjang kaki. Tahun 1982 menjadi Kepala Sekolah di SD 358 Calaccu, Sengkang dan tahun 1989 diangkat sebagai pengawas TK dan SD di Wajo hingga sekarang. Karier itu mengikuti jejak ayahnya, Abbas yang terakhir bertugas sebagai pengawas TK dan SD.

Rahmatiah, anak ketiga dari sembilan bersaudara, mengaku nekat untuk mengajukan permohonan uji meteril ke MK, karena ada dukungan dari suaminya, Sirajuddin Tajang serta kakak dan adiknya, yaitu HM Ali Abbas, SH, H Asmaun Abbas, SH, MH, keduanya pengacara.

Menurutnya, perjuangan itu sendiri tak diketahui para guru di daerahnya, kecuali Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kadiknas) Kabupaten Wajo, Drs H Muhammad Ridwan, MPd, atasannya yang selalu memberi izin setiap meninggalkan tugas.

Selama bolak-balik ke Jakarta menjalani proses di MK, Rahmatiah dan Badryah terpaksa harus merogoh kocek sendiri. Tidak ada guru yang membantu biaya selama berjuang. Namun, mereka bersyukur, karena Elza Syarif dan pengacara yang tergabung dalam timnya, membantu secara sukarela perjuangan tersebut.

Penderitaan Guru

Menurutnya, kondisi kehidupan guru hampir merata di semua daerah. Banyak guru yang terlilit utang di bank dan koperasi, sehingga setiap bulan gaji mereka tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Ada guru yang terpaksa mengojek sepulang mengajar, mencari tambahan berjualan telur untuk mengatasi kekurangan ekonomi.

Rahmatiah dengan tulus mengatakan, dirinya tidak mungkin lagi dapat menikmati hasil perjuangan yang diputuskan MK, sebab Oktober mendatang usianya telah memasuki masa pensiun. Namun, tidak berarti di usia senja semangatnya surut untuk berjuang mengubah nasib para pendidik.

Perjuangan ini kami lakukan, karena termotivasi oleh banyaknya guru yang menderita oleh keterbatasan tingkat kesejahteraannya. Tidak sedikit guru yang kontra dengan perjuangan tersebut, bahkan menganggap sebagai perjuangan yang sia-sia dan tidak mungkin terwujud.

"Apa yang kami lakukan, ibaratnya hanya memberi cahaya kepada para pendidik di saat kami memasuki usia senja dan akan mengakhiri tugas. Kami juga tidak pernah berharap untuk menikmati hasil perjuangan itu," kata alumni STIA Puang Rimaggalatung, Sengkang, jurusan Administrasi Negara tersebut.

Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)". Bahwa Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas tersebut bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan".

Mereka juga bermohon agar MK menguji UU APBN 2007, khususnya yang terkait dengan anggaran pendidikan yang tidak termasuk gaji pendidik dalam alokasi anggaran yang 20 persen dari APBN dan APBD.

Dalam proses uji materil, keduanya memberikan kuasa hukum kepada pengacara Elza Syarief, SH MH, HM Ali Abbas, SH, H Asmaun Abbas, SH, MH, Zujan Marfa, SH, Triharso Utomo, SH,MKn, Syamsul Huda, SH, dan Suniati, SH.

Hasilnya, dari Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada Rabu, 20 Februari 2008 lalu, Jimly Asshiddiqie hakim ketua merangkap anggota, HAS Natabaya, HM Laica Marzuki, Soedarsono, I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, HA, Mukthie Fadjar, dan H Achmad Roestandi, masing-masing sebagai anggota, memutuskan, permohonan para pemohon dikabulkan untuk sebagian.

Dalam amar putusannya hakim menyatakan, Pasal 49 Ayat (1) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia 78/2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang mengenai frasa "gaji pendidik dan" bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan, Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas (Lembaran Negara Republik Indonesia 78/2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang mengenai frasa "gaji pendidik dan" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan permohonan para pemohon terhadap UU APBN 2007 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Rahmatiah mengaku, usia senja telah menjemputnya, di batinnya tertanam rasa puas sebab telah membantu perjuangan nasib para guru. Ia sangat optimistis, hasil perjuangannya bersama Badryah itu akan membawa pengaruh pada kebijakan pendidikan di Tanah Air. Tetapi benarkah demikian?

Apakah Rahmatia menjadi pahlawan bagi para guru, atau justru tidak mempengaruhi nasib para pahlawan tanpa tanda jasa itu? [SP/M Kiblat Said]

Tidak ada komentar: