29 Maret 2008

Sekolah Ambruk, Aib bagi Pendidikan



Menjelang ujian sekolah berstandar nasional untuk murid SD, pada Mei 2008, satu dari tiga ruang kelas baru di Kompleks SD Pasundan 3 Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat, ambruk. Musibah tersebut mengakibatkan 22 murid harus dilarikan ke rumah sakit setempat. Selain menimbulkan trauma bagi para murid, kegiatan belajar di sekolah tersebut menjadi terganggu. Padahal, ujian nasional tinggal sebulan lagi. Tetapi, hal yang penting pula dicermati adalah penyebab ambruknya ruang kelas itu.

Dilaporkan bahwa ruang kelas yang ambruk itu, baru dibangun tiga bulan lalu. Tentu aneh bin ajaib, kalau bangunan baru langsung rusak. Dan ternyata, dari peninjauan Wali Kota Bandung, Dada Rosada, tembok bangunan itu memang baru, tetapi kayu yang digunakannya adalah kayu lama (lapuk).

Kejadian di Ciparay, Bandung tersebut, hanyalah satu dari sekian ratus bahkan ribuan kasus sekolah ambruk atau rusak di Indonesia. Kasus sekolah rusak, memang masih banyak dilaporkan terjadi di berbagai daerah dengan tingkat kerusakan bervariasi. Kalau ada kepedulian dari pemerintah soal pendidikan, maka kasus ambruknya ruang kelas atau pun sekolah di Tanah Air ini seharusnya dirasakan sebagai tamparan keras. Tak kurang Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dalam sebuah acara di Jambi menyatakan, kerusakan gedung sekolah merupakan aib paling kentara dalam dunia pendidikan (SP, 13/3/2006).

Mendiknas sendiri menyadari betapa kerusakan gedung sekolah akan memperburuk wajah pendidikan nasional, karenanya dia berjanji akan memprioritaskan perbaikan seluruh bangunan sekolah yang rusak terutama SD dan SMP. Pemerintah pusat pun mengalokasikan dana dari APBN untuk perbaikan seluruh sekolah dengan ketentuan 50 persen ditanggung pemerintah pusat dan separuhnya oleh pemerintah setempat.

Hanya saja, dalam pelaksanaannya kerap terjadi penyimpangan. Jangankan yang belum dapat giliran perbaikan, sekolah yang sudah direhabilitasi pun masih ambruk seperti di Ciparay itu.

Program pemerintah memperbaiki sekolah rusak dengan dana triliunan rupiah setiap tahun, seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jangan hanya menerima data sekolah yang rusak, lalu mengucurkan bantuan, tanpa mengawasi pelaksanaannya. Bangunan sekolah yang rusak padahal baru beberapa bulan diperbaiki sudah pasti ada yang tidak beres saat pembangunannya. Jangan jadikan proyek rehabilitasi sekolah menjadi lahan subur korupsi bagi mereka yang tidak bertanggung jawab.

Tidak hanya pelaksana proyek, para oknum kepala sekolah, maupun kepala dinas bahkan pejabat di atasnya bisa mencari untung dari perbaikan sekolah, kalau tidak diawasi secara ketat. Meski namanya perbaikan, kualitas bangunan harus menjadi perhatian serius.

Setelah perbaikan pun, penggunaan dana pemeliharaan gedung sekolah yang setiap tahun dianggarkan, harus tetap diawasi. Jangan sampai dana pemeliharaan hanya dinikmati untuk kepentingan pribadi kepala sekolah atau oknum pejabat Diknas di daerah, sehingga mengabaikan kerusakan yang ada.

Keberadaan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di setiap daerah mestinya benar-benar berfungsi termasuk dalam mengawasi proyek rehabilitasi sekolah. Sangat disayangkan, kalau Bawasda malah menutupi penyimpangan para pejabat di daerah.

Masyarakat pun bisa menjadi pengawas proyek-proyek untuk kepentingan publik termasuk sekolah yang merupakan tempat pesemaian bibit unggul generasi bangsa. Masyarakat bisa menegur langsung pelaksanaan rehabilitasi sekolah yang asal jadi, kalau perlu laporkan langsung ke aparat penegak hukum, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun.

Tajuk Rencana Suara Pembaruan 29/3/2008

Tidak ada komentar: