Beban biaya pendidikan sekolah bertambah besar dengan adanya ujian nasional tiga hari. Pembiayaan dimulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga pasca-ujian nasional. Beban itu juga bertambah dengan bertambahnya mata pelajaran yang diujikan, dari tiga menjadi enam mata pelajaran, di tingkat sekolah menengah atas.
Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung sekaligus Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGGI), Iwan Hermawan, Minggu (30/3), mencontohkan, sebuah sekolah negeri dengan murid kelas III lebih dari 350 orang atau delapan rombongan belajar, di Kota Bandung, setidaknya perlu menyiapkan dana Rp 50 juta untuk persiapan ujian nasional. Dana pra-ujian nasional digunakan untuk membiayai pemantapan pelajaran dan simulasi ujian.
”Pemantapan minimal dilakukan tiga atau enam bulan sebelumnya. Seorang guru yang memberi pemantapan biasanya ada honor minimal Rp 25.000 per tatap muka. Guru setidaknya mendapat Rp 500.000 untuk pemantapan tiga bulan. Ada pula biaya penggandaan materi dan konsumsi,” ujar guru Sosiologi di SMAN 9 Bandung itu.
Sosiologi termasuk mata pelajaran yang mulai di-ujiannasional-kan tahun ini.
Simulasi ujian juga menelan biaya lantaran harus membayar honor pengawas, penggandaan soal, transportasi, dan konsumsi. Simulasi berkali-kali dilakukan, ada yang diadakan sekolah atau dinas pendidikan. Sekitar 70 persen dana pemantapan habis untuk biaya personal. Seorang pengawas simulasi setidaknya mendapat honor Rp 30.000-Rp 50.000 satu kali simulasi.
Ada dana pendamping
Teorinya, pelaksanaan ujian nasional memang dibiayai pemerintah. Namun, di luar biaya pemantapan itu, sekolah tetap menyiapkan dana pendamping. Umumnya, untuk pos-pos yang tak dibiayai pemerintah, seperti panitia penyelenggara di sekolah dan pembentukan subrayon.
”Di satu kabupaten dan kota ada rayon yang dibiayai pemerintah. Untuk distribusi soal ke sekolah perlu tenaga tambahan sehingga dibentuk subrayon atas inisiatif sekolah. Dari Kota Garut ke daerah di Garut bagian selatan bisa sampai 90 km. Padahal, soal harus didistribusikan segera. Untuk biaya subrayon, setiap siswa dikenai Rp 12.500,” ujarnya.
Belum lagi kegiatan besar seperti penguatan mental anak. Ada sekolah yang mengadakan istighotsah atau memanggil ahli emotional spiritual quotient (ESQ).
Untuk pelaksanaan ujian, baik ujian nasional maupun ujian akhir sekolah, SMA dengan murid di atas 350 orang perlu dana Rp 60 juta lagi. Total, untuk sekolah seperti itu, untuk persiapan ujian nasional serta pelaksanaan ujian nasional dan ujian akhir sekolah, perlu dana lebih dari Rp 100 juta. Sekolah bahkan bisa mengeluarkan biaya lebih besar.
Di Indonesia, ada 9.317 SMA dan 6.025 SMK, total 15.342 sekolah. Biaya dari sekolah, bisa total lebih Rp 1 triliun. Itu untuk level SMA dan sederajat.
Menurut Iwan, dana dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah dan dikeluarkan sekolah, sebenarnya akhirnya ditanggung masyarakat pembayar iuran sekolah. Keinginan berprestasi dalam ujian nasional membuat meningkatnya kegiatan intensif sekolah yang memerlukan biaya seperti drilling dan simulasi.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan menambahkan, ujian nasional mahal akibat besarnya biaya personel atau panitia di tingkat pusat, daerah, dan sekolah, juga biaya penggandaan dan pembuatan soal.
Departemen Pendidikan Nasional tidak menghitung biaya riil ujian nasional. ”Dua tahun terakhir, pemerintah pusat menganggarkan biaya ujian nasional SMP dan SMA sederajat Rp 250 miliar. Padahal, tahun ini ada tambahan tiga mata pelajaran baru yang diujikan. Seharusnya anggaran bertambah,” ujarnya.
Dengan keterbatasan anggaran dari pemerintah pusat, daerah diminta ikut membiayai, tetapi proporsinya tidak jelas. Akibatnya, muncul biaya yang ditanggung masyarakat. (INE)-- Kompas, Senin, 31 Maret 2008
31 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar