26 Juli 2009

Mengalihkan Tanggung Jawab Belajar (Psikologi)

Sawitri Supardi Sadarjoen Psikolog

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Para ibu mulai mengantar dan menjemput anak-anak yang masih di sekolah dasar. Halaman sekolah pun mulai ramai, ibu-ibu muda mengobrol sambil menunggu anak-anaknya, berbagi cerita liburan dan pengalaman, bahkan berjualan dari pakaian, aksesori, tas tangan, sepatu, hingga sandal.

Banyak pula aktivitas sosial positif berkembang, tali silaturahim antarorangtua terjalin akrab. Tetapi, tanpa terasa, keakraban tersebut ada kalanya berkembang ke arah berbagai macam persaingan. Andai persaingan masih dalam koridor antarorangtua, toleransi masih terjaga.

Bila persaingan mengarah pada prestasi belajar dan prestasi sosial anak-anaknya, maka dampak eksesif dapat melanda motivasi belajar anak.

Les matematika, les berenang, les piano, les gitar, les gambar, les pelajaran sekolah seperti matematika, IPA, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin, menjadi bahan perbandingan prestasi. Maka, ibu-ibu saling tukar informasi, di mana anak-anak harus ikut les menjadi informasi yang terus dicari. Sepulang sekolah anak langsung dikirim ke rumah guru berbagai macam les sehingga pulang ke rumah menjelang senja.

Makan siang di mobil dalam perjalanan ke tempat les. Sampai di rumah mandi, makan, dicek lagi penguasaan bahan ulangan untuk esoknya, hingga pukul 21.00. Anak tidur kelelahan dan bila saat menjelang tidur anak belum hafal betul pelajaran yang diulangkan, keesokannya anak dibangunkan pukul 05.00 untuk mengulang lagi.

Mengapa sampai demikian repotnya menghadapi ulangan sekolah dasar? Karena si S, teman sekelas K, ulangan matematika mendapat angka 9, sementara si K cuma dapat 6, misalnya. Kondisi ini membuat ibu K bingung mencari guru les paling "hebat".

Waktu bermain K dikurangi karena harus les tambahan agar prestasi belajar meningkat. Untuk itu, kecuali K harus berlatih membuat soal matematika dari guru les, di rumah harus mengulang berlatih matematika dengan pengasuhnya yang kebetulan lulusan SMP.

Belajar bagi K akhirnya menjadi peristiwa heboh, padahal dia baru kelas III SD. Bila anak kurang rapi mencatat pelajaran, maka ibu akan sibuk menelepon teman-teman anak yang pandai untuk dipinjam buku catatannya. Ibu mengopi untuk bahan pelajaran anaknya yang akan menghadapi ulangan keesokannya.

Kasus

"Ibu, anak saya laki-laki kelas III (E, 9) tidak bisa berkonsentrasi. Kalau belajar di rumah kelihatannya sudah hafal betul, tetapi saat ulangan kata anak saya 'lupa' semua, enggak ada yang ingat. Ulangan sains atau matematika dapat 3 dan 4. Maunya main saja. Kalau pembantunya membacakan bahan ulangan, tangannya tidak pernah lepas dari mainan lego atau mobil-mobilan kecil.

Terkadang pagi sebelum mandi disuruh menghafal pelajaran yang akan diulangkan hari itu. Di rumah terlihat sudah hafal betul, tettapi nilainya tidak pernah lebih dari 5. Kenapa, ya , Bu?

Memang E tidak pernah tidak naik kelas, tetapi ya, begitulah nilainya, pas-pasan saja untuk kenaikan. Sedih saya, Bu. Bagaimana membuat konsentrasi anak bisa terpusat pada pelajaran, Bu?" Demikian ibu dari E (ibu rumah tangga, 38).

Selanjutnya ibu E bercerita, pengasuh E adalah pembantu yang baik dan sangat sayang kepada E sehingga sangat meladeni dan selalu menyiapkan seluruh kebutuhan sekolah E, termasuk menata buku dan peralatan sekolah. Berpakaian pun, bahkan memasang kaus kaki, E masih dibantu. Sering E kurang teliti menuliskan tugas pekerjaan rumah dari sekolah, maka ibu akan mencari informasi dari teman E tentang tugas yang harus dikerjakan E.

Hasil pemeriksaan psikologi atas E menunjukkan E anak yang cerdas, bisa duduk diam dalam waktu relatif lama, membuat gambar pemandangan (E mengatakan paling suka menggambar pemandangan) dengan konsentrasi dan ketekunan kerja yang amat mengagumkan. Gambar dengan cermat dipulas krayon, dengan kombinasi warna menarik serta hasilnya indah dan rapi.

Kemampuan menyusun kalimat sangat baik untuk usianya, E juga anak yang mudah akrab dan kooperatif. Taraf ketajaman daya analisis untuk rentang usianya pun jauh melebihi rata-rata anak seusia. Menurut E, sepulang sekolah dari siang hingga sore, kecuali hari Minggu, E harus ikut les matematika, bahasa Madarin, bahasa Inggris, pelajaran sekolah dan les tenis pada Sabtu sore. Hari Minggu biasanya pergi ke mal dengan ayah dan ibunya.

Analisis

1. Persaingan terselubung di antara para ibu membuat anak tanpa disadari menjadi obyek penderita karena dijadikan alat memuaskan ambisi prestasi ibunya dengan melimpahkan beban kepada anak dan menuntut anak melakukan bermacam les yang belum tentu diperlukan dan disukai anak.

2. Terjadi proses pengalihan tanggung jawab belajar/sekolah dari anak sebagai subyek yang bersekolah kepada ibu dan pengasuhnya. Dengan kata lain, ibu dan pengasuhnyalah yang bersekolah di SD.

3. Anak menjadi subyek pasif dalam kegiatan belajar karena hanya bereaksi dan menunggu hasil kerja keras ibu dan pengasuhnya, sehingga tampak seolah tidak mampu berkonsentrasi.

4. Anak kehilangan hak memilih aktivitas jenis permainan dengan bebas karena padatnya acara berbagai macam les yang harus diikutinya. Padahal bermain dengan memilih permainan sesuai dengan hasrat serta minat anak identik dengan belajar keterampilan hidup yang memicu motivasi anak untuk menunjukkan prestasi sosialnya kelak kemudian hari.

5. Khusus untuk E, dari prestasi belajarnya E terkesan tidak mampu memusatkan perhatian (berkonsentrasi) yang antara lain disebabkan perannya sebagai subyek pasif dalam proses belajar. Padahal tanpa konsentrasi anak tidak mungkin mampu menggambar pemandangan indah dengan susunan pilihan warna krayon yang indah atau menyusun lego hingga menjadikannya kapal terbang yang dapat menggelinding.

Jadi, hendaknya lakukanlah evaluasi, sejauh manakah urgensi anak untuk mengikuti berbagai les pelajaran dan berbagai keterampilan yang serta-merta membuat anak justru mengalihkan tanggung jawab belajarnya kepada ibu dan pengasuhnya yang "baik" tadi. Secara bertahap ibu dan pengasuh harus mundur dari peran mendominasi proses belajar anak, dalam hal ini, bagi upaya mencari solusi pada kasus E.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/26/04393150/mengalihkan.tanggung.jawab.belajar

1 komentar:

Zona Psikologi mengatakan...

kasus dan penanggapan diatas sudah benar dan tepat dengan permasalahan yang ada. Sebaiknya perlu diperhatikan hasil konsultasi diatas. Karena anak adalah seorang dewasa yang juga perlu perhatian bedanya mereka masih kecil, itu saja.