Jika ketentuan ini diterapkan, kursus yang diselenggarakan dengan sistem waralaba asing hanya bisa diterapkan di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Medan, dan ibu kota provinsi lainnya. Kursus tidak bisa diterapkan di kota-kota sekitar ibu kota provinsi seperti Tangerang, Depok, Bekasi, Cirebon, Solo, Purwokerto, atau Malang.
Bukan cuma kursus bahasa Inggris yang dibatasi, kursus matematika dan jenis kursus lainnya yang menggunakan sistem waralaba asing juga akan dibatasi. Padahal, peserta kursus ini telanjur menyebar di sejumlah kota. Khusus untuk peserta kursus mahasiswa, saat ini justru banyak perguruan tinggi yang berada di luar di ibu kota provinsi. Universitas Indonesia, misalnya, di Depok, Universitas Padjadjaran di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, dan universitas terkemuka lainnya di luar ibu kota provinsi.
"Lewat Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan, sebetulnya pemerintah sudah memilih membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya unsur asing dalam pendidikan sehingga konsekuensinya harus siap bersaing dan dimasuki berbagai macam hal," ujar pengamat pendidikan, Mohammad Abduhzen.
Dalam peraturan presiden tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal sebagai bidang usaha dapat dimasuki modal asing dengan batas kepemilikan maksimal 49 persen.
"Sebelum membuka pintu lebar-lebar seharusnya dikenali dulu kapasitas dan kemampuan di dalam negeri. Kalau tidak siap. jangan dibuka dulu," ujarnya.
Jika pemerintah menanganinya dengan standar ganda, yakni membuka tetapi di titik lain ditutup, menjadi rasional masyarakat kemudian merasa ada diskriminasi.
Mencerdaskan bangsa
Menurut Abduhzen, dalam tataran praktis, waralaba asing dibiarkan beroperasi sebebas-bebasnya tidak masalah, tetapi dari sisi filosofis, banyak hal yang harus dipertimbangkan.
"Untuk kursus yang bersifat teknik memang tak terlalu terasa, tetapi kursus yang sifatnya pemberdayaan sosial, seperti kewirausahaan dan profesi konteks kebangsaan, perlu ada," ujarnya.
Di tengah persaingan, Abduhzen berpendapat, pemerintah harus mendahulukan menjawab kebutuhan sosiologis dan pragmatis bangsa sehingga tidak mesti melayani gendang masyarakat global ini. "Kita selalu berpikir dalam konteks persaingan dan melupakan kebutuhan fundamental kita," ujarnya.
Pembinaan
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, berpendapat, pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.
Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan dibantu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.
Kualitas sebuah lembaga kursus, kata Darmaningtyas, sebetulnya yang menilai masyarakat selaku pengguna. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Sebaliknya, kursus yang kurang berkualitas akan ditinggalkan masyarakat. (INE)http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/04/0324325/pembatasan.tidak.relevan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar