elama hampir lima tahun masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara konsisten memberikan perhatian pada dunia pendidikan. Wujud konkretnya lewat peningkatan anggaran pendidikan, khususnya yang dikelola Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dalam APBN 2009, Depdiknas memperoleh anggaran sekitar Rp 60 triliun atau meningkat 20 persen dibanding anggaran tahun sebelumnya. Peningkatan itu terkait langsung dengan amanat UUD 1945 yang mematok anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Sampai saat ini, memang masih ada perdebatan tentang apakah pemerintah telah memenuhi kewajiban itu, karena volume APBN 2009 mencapai Rp 1.000 triliun. Artinya, anggaran pendidikan minimal Rp 200 triliun. Pemerintah mengklaim amanat UUD 1945 sudah dipenuhi. Alasannya, anggaran pendidikan tidak hanya dikelola Depdiknas, tetapi juga departemen lain dan dana-dana dekonsentrasi.
Terlepas dari persoalan itu, kita melihat pemerintah sudah on the track dalam hal anggaran pendidikan. Lalu, bagaimana pemanfaatannya?
Secara umum, Depdiknas memiliki sejumlah program untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pen- didikan. Salah satu program yang diprioritaskan adalah pendidikan gratis untuk pendidikan dasar sembilan tahun (SD dan SMP).
Belum lama ini, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan, mulai 2009, semua sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional dan pungutan lainnya. Sebab, pemerintah telah meningkatkan kesejahteraan guru dan menaikkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) 2009.
Biaya satuan BOS per siswa per tahun mulai Januari 2009 naik sekitar 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Untuk SD negeri di kabupaten, BOS yang diberikan Rp 397.000 per anak dan SD di kota Rp 400.000 per anak. Sebelumnya, BOS untuk SD hanya Rp 254.000 per tahun. Sedangkan, dana BOS untuk siswa SMP di kabupaten Rp 570.000 dan di kota Rp 575.000 per anak. Tahun 2008, BOS untuk SMP Rp 354.000 per anak.
Pendidikan gratis sebetulnya bukan program baru. Sebelum pemerintah pusat melalui Mendiknas Bambang Sudibyo mendeklarasikan pendidikan gratis mulai 2009, sejumlah pemerintah daerah telah melaksanakannya. Seperti yang diberitakan harian ini, Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, telah menggratiskan biaya di 1.102 sekolah, terdiri dari 800 SD dan 250 SMP negeri dan swasta, serta 52 SMA negeri. Hal itu bisa dilaksanakan karena Dinas Pendidikan setempat mendapat anggaran Rp 1,56 triliun atau meningkat hampir 50 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kualitas SDM
Di Kabupaten Seluma, Bengkulu, dengan anggaran Rp 126 miliar atau meningkat 30 persen dari tahun sebelumnya, biaya pendidikan SD dan SMP pun digratiskan. Kebijakan serupa juga ditempuh Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Pendidikan gratis di provinsi ini berlaku mulai SD hingga SMA negeri. Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pun memiliki kebijakan serupa.
Menurutnya, kalau masih ada bupati atau wali kota yang enggan menggratiskan biaya pendidikan tingkat dasar, keberpihakannya kepada rakyat patut dipertanyakan.
Pemerintah Kota Yogyakarta juga melarang SD dan SMP negeri memungut biaya apa pun dari orangtua siswa, kecuali untuk sekolah berstandar internasional (SBI) dan rintisan SBI. Tak hanya itu, Pemkot juga menambah bantuan bagi siswa, yakni Rp 250.000 untuk siswa SD dan Rp 625.000 untuk siswa SMP, di samping bantuan operasional sekolah dari APBN.
Sungguh luar biasa memang respons sejumlah pemerintah daerah. Hal itu menunjukkan para pemimpin di daerah telah menyadari betapa pentingnya upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada era persaingan global ini. Pendidikan berkualitas merupakan jawaban atas tantangan global dan Depdiknas berupaya mewujudkannya.
Dalam Pasal 34 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan,"Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya." Kemudian,"Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat."
Pendidikan gratis ini tidak berlaku untuk SBI, rintisan SBI, dan sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta.
Berdasarkan ketentuan itu, ungkapan bahwa pendidikan mahal, masih tak dapat dimungkiri. Pemerintah memiliki keterbatasan dana, sehingga pada tahap awal hanya menggratiskan pendidikan dasar di sekolah-sekolah negeri. Dengan demikian, pendidikan yang dikelola pihak swasta masih tetap harus diperhatikan.
Sejauh ini, memang pemerintah cukup banyak memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah swasta, di antaranya melalui BOS. Tetapi, ada juga sekolah yang menolak bantuan itu karena khawatir akan ada intervensi pemerintah. Sekolah-sekolah ini umumnya memiliki dukungan dana yang kuat, karena disponsori konglomerat.
Kita tentu tak boleh menutup mata terhadap peran swasta dalam mendidik anak bangsa. Tidak semua yayasan swasta mampu. Bagi yang kurang mampu, tentu bantuan pemerintah sangat diperlukan. Sedangkan, bagi yayasan-yayasan yang sudah bisa mandiri, pemerintah tak perlu banyak campur tangan lagi. Pemerintah bisa mendorong keberadaan mereka melalui legislasi yang propendidikan, bahkan lewat insentif pajak. Insentif pajak pendidikan perlu diperluas, seperti yang berlaku di Singapura, Filipina, Bangladesh, dan Korea.
Sosialisasi
Berdasarkan amanat UU Sisdiknas, muncul pemahaman umum tentang pendidikan gratis, yakni siswa tidak perlu lagi mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar uang sekolah (SPP), uang buku pelajaran, dan uang ujian. Bahkan, kalau dimungkinkan, siswa juga mendapat seragam dan sepatu gratis, buku dan alat tulis. Kalau biaya transpor dan uang jajan, biarlah menjadi tanggung jawab orangtua siswa.
Namun, masih ada persoalan mendasar terkait kebijakan ini, yakni menyangkut definisi pendidikan gratis. Kebijakan ini belum tersosialisasi dengan baik, sehingga menimbulkan banyak penafsiran. Meski Mendiknas menegaskan pungutan di SD dan SMP negeri diharamkan, tetap saja ada kepala sekolah dan guru yang mencoba mengakali perintah itu. Misalnya, dengan alasan untuk kegiatan ekstrakurikuler, pemberian pelajaran tambahan, atau pembelian lembaran kerja siswa (LKS), pungutan dihidupkan lagi. Bahkan, penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan pungutan liar (pungli) tetap marak, meski pemerintah telah mengucurkan BOS sejak 2005.
Di sinilah fungsi pengawasan menjadi penting. Pengawasan harus dilakukan pemangku kepentingan pendidikan, seperti orangtua, komite sekolah, penilik sekolah, dinas pendidikan tingkat kabupaten/kota, hingga inspektorat jenderal. Bahkan, tak tertutup kemungkinan kepolisian dan kejaksaan juga terlibat dalam pengawasan. Perlu ada efek jera bagi penilep dana BOS, dengan sanksi pemecatan dari PNS hingga denda dan pidana penjara. Jangan biarkan sepeser pun dana BOS dikorupsi!
Dengan demikian, harapan Presiden Yudhyono melalui program pendidikan 3M (mutu, murah, dan merata), yakni pembangunan pendidikan yang bermutu, murah, dan gratis bagi orang miskin, serta pendidikan yang merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air, bisa segera terwujud.
Pemimpin Umum "Suara Pembaruan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar