Menarik membaca tulisan Ki Supriyoko berjudul Pentingnya Uji Materi UU BHP(Republika, 27 Januari 2008) yang memaparkan, antara lain, munculnya respons negatif di masyarakat terhadap disahkannya Undang-Undang No 19 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), karena ada banyak pasal yang dinilai menimbulkan persepsi berbeda atau bersifat multipersepsi.
Melihat persoalan itulah, tulis Ki Supriyoko, uji materi atau judicial review terhadap UU BHP menjadi penting. Bahkan, seharusnya bukan hanya melakukan uji materi, melainkan juga bisa dilakukan uji formil. Tulisan berikut tidak hendak menghalangi keinginan kelompok masyarakat, LSM, mahasiswa, guru atau siapa pun yang ingin melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU BHP, tapi lebih pada upaya memberikan jawaban mengapa UU BHP direspons negatif di sebagian masyarakat kita.
Tiga kelompok
Sedikitnya ada tiga kelompok teridentifikasi di masyarakat yang merespons negatif. Pertama, kelompok masyarakat yang memang belum membaca benar terhadap isi UU BHP. Kelompok ini biasanya berpendapat, kehadiran UU BHP akan menjadikan lembaga pendidikan komersial dan meliberalisasi lembaga pendidikan. Mereka merujuk pada pengalaman Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yang telah menggalang dana di masyarakat melalui upaya menaikkan biaya masuk perguruan tinggi dengan berbagai pola.
Perlu dijelaskan, BHP tidak sama dengan BHMN sehingga praktik BHMN dalam hal upaya penggalangan dana, tidak sama dengan peraturan pada UU BHP tentang upaya penggalangan dana. UU BHP justru akan meniadakan atau meluruskan praktik kurang tepat dari BHMN selama ini, dalam hal penggalangan dana.Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), bukan untuk melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi, melainkan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat atau peserta didik dari jerat para penyelenggara lembaga pendidikan yang diselenggarakan dengan semangat bisnis semata dan dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, sebagai badan hukum nirlaba yang profesional.
Pada titik inilah anggapan yang mengatakan, biaya pendidikan tinggi akan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar, tidaklah beralasan, karena sejak awal sesungguhnya UU BHP disiapkan untuk menjadi badan hukum nirlaba.BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan (Pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatan yang lain, misalnya, investasi portofolio atau mendirikan bidang usaha lain (Pasal 42 dan Pasal 43) maka keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP itu harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan, untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan (Pasal 37, Pasal 38). Jika ketentuan ini dilanggar, diancam baik dengan sanksi administratif (Pasal 60, 61, dan Pasal 62) maupun sanksi pidana (Pasal 63).
Benar dalam UU BHP, dibolehkan sebuah badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berinvestasi dalam bentuk portofolio atau bahkan berinvestasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum. Tapi, itu tidak dimaksudkan untuk mengarahkan BHP menjadi sebuah industri pendidikan, tetapi sebatas untuk memenuhi pendanaan pendidikan.Batasan pun diberikan, di mana investasi portofolio dan investasi tambahan setiap tahunnya tidak melampaui 10 (sepuluh) persen dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan dan dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang ditanggung badan hukum pendidikan.
Kedua, kelompok masyarakat yang berpendapat dengan disahkannya UU BHP akan mempersulit akses masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan serta upaya lepas tangan pemerintah dalam bidang pendidikan. Pendapat ini keliru karena secara tegas dalam UU BHP ada ketentuan, badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi, paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik (Pasal 46 ayat 1 dan 2).
Sedangkan terhadap peran pemerintah, justru melalui UU BHP makin dikukuhkan. Ini jelas dinyatakan dalam Pasal 41 bahwa untuk pendidikan tinggi, pemerintah bersama-sama dengan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
Pengukuhan peran pemerintah terlihat, misalnya, pada pasal yang menyatakan kalau biaya operasional pendidikan tinggi, pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit seperduanya. Makna dari kata paling sedikit, dapat berarti pemerintah dan pemerintah daerah bisa menanggung sampai dengan 100 persen alias mahasiswa tidak dibebankan. Tentu ini sangat berpulang dari kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah.
Demikian juga, di tingkat pendidikan dasar, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.Artinya, tidak ada usaha pemerintah untuk lepas tangan terkait dengan pembiayaan pendidikan. Kalau itu dilakukan oleh pemerintah, tentu sangat bertolak belakang dan bertentangan dengan amanah UUD 1945.
Beralih Status?
Ketiga, kelompok masyarakat terutama datang dari PNS, guru, dan pengelola atau pemilik yayasan yang menilai disahkannya UU BHP akan menyebabkan mereka kehilangan status sebagai pegawai negeri, karena dihadapkan pada kontrak kerja dengan badan hukum pendidikan serta anggapan UU BHP kurang disemangati oleh pengakuan atas eksistensi swasta. Sehingga, ada pasal-pasal yang diibaratkan pedang achilles yang memotong urat kaki sekolah swasta.
Perlu dijelaskan, guru atau dosen yang sekarang berstatus PNS, tetap berstatus sebagai PNS. Namun, karena satuan pendidikan (sekolah/madrasah/perguruan tinggi) yang diselenggarakan oleh badan hukum negara, tempat mereka bekerja selama ini berubah menjadi BHP yang terpisah dari badan hukum negara. Maka itu, status PNS mereka menjadi PNS dipekerjakan (PNS Dpk) di BHP. Langkah pemisahan ini merupakan aspek otonomi yang ingin dijalankan oleh lembaga pendidikan secara penuh. Sehingga, guru atau dosen tidak lagi merasa terkooptasi oleh negara, tapi mereka murni bekerja dan bertanggung jawab kepada BHP.
Sedangkan terhadap kekhawatiran pihak yayasan rasanya juga tidak beralasan, karena sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 67 ayat 1 sampai 5, jelas ditegaskan kalau UU ini tetap mengakui eksistensi para pengelola pendidikan swasta. Bahkan, lebih dari itu, ketika akan mengubah menjadi BHP dalam proses melakukan perubahan akta pendirian sebagai konsekuensi hukum menjadi badan hukum nirlaba--pemerintah harus memberikan bantuan pembiayaan untuk perubahan itu. Itulah beberapa hal positif dari UU BHP yang mestinya dapat dipahami oleh mereka yang merespons negatif. Semoga.
*) Staf Khusus Menkominfo dan Anggota Tim Penyusun Bahan Sosialisasi UU BHP Depdiknas
http://www.republika.co.id/koran/24/28854/Mengapa_UU_BHP_Direspons_Negatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar