Jumat, 30 Januari 2009 | Ada "tradisi" menarik di Indonesia. Saat sebuah undang-undang disahkan, segera muncul penolakan dari masyarakat.
Nasib sama dialami Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Meski sudah disahkan (17/12/2008), penolakan dari berbagai kelompok masyarakat segera "bergemuruh". Ada kelompok guru, dosen, mahasiswa, dan pengurus penyelenggara pendidikan yang menolak dengan beragam argumentasi.
Cacat ideologis
Banyaknya argumentasi untuk menolak UU BHP tentu bisa dimaklumi. Namun, dari berbagai argumentasi itu, ada yang menarik diperhatikan, yaitu adanya cacat ideologis di dalamnya.
Pakar hukum UGM Yogyakarta, Sudjito, menyatakan, setelah 10 tahun Indonesia memasuki era reformasi, ternyata banyak produk perundang-undangan yang cacat ideologis. Padahal, salah satu komitmen yang dideklarasikan pada awal reformasi adalah menciptakan produk hukum yang berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa, yang bersumber dari Pancasila.
Produk hukum kita tidak lagi bersumber pada Pancasila, sumber segala sumber hukum, tetapi sudah tercerabut dari akar-akarnya dan lebih mengarah pada ideologi asing.
Bagaimana dengan UU BHP? Sama saja! Sudjito menyatakan, UU BHP tidak selaras dengan ideologi bangsa. UU BHP juga merupakan produk perundangan yang individualistik dan kapitalistik karena diproduksi lembaga legislatif yang tidak berkualitas.
Komentar itu selaras dengan komentar Ketua Senat Akademik UGM Yogyakarta Sutaryo yang menilai UU BHP yang telah disahkan mencederai roh pendidikan Indonesia. Mengapa? UU BHP memiliki roh kongsi dagang, mengingat lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus dan ditindaklanjuti persetujuan WTO dan GATTS.
Seperti diketahui, terminologi Washington Consensus pertama kali dipresentasikan tahun 1990 oleh John Williamson, ekonom dari Institute for International Economics. Ia menggunakan istilah Washington Consensus untuk merangkum beberapa saran kebijakan dari berbagai institusi di Washington saat itu, seperti IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS.
Bagi negara-negara maju, Washington Consensus dianggap sebagai solusi untuk memecahkan persoalan keuangan di dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang. Meski demikian, banyak negara berkembang menganggap Washington Consensus sebagai teori konspirasi untuk memindahkan kesalahan pemerintahan negara maju kepada dinamika pasar.
Terlepas dari anggapan mana yang benar, butir-butir kesepakatan Washington Consensus memang berorientasi pada ekonomi kapitalistik. Maka, patut disayangkan jika UU BHP lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus sehingga melahirkan roh kongsi dagang di dalamnya.
Uji materi
Benarkah UU BHP mempunyai cacat ideologis karena tidak selaras dengan ideologis bangsa? Benarkah UU BHP mengandung roh kongsi dagang akibat penyusunannya terlalu mengacu kepada Washington Consensus? Jawaban atas aneka pertanyaan ini sebaiknya segera diperoleh senyampang UU-nya belum ditandatangani presiden.
Forum paling tepat untuk mencari jawaban itu adalah uji materi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara obyektif, para hakim MK akan menguji apakah substansi UU BHP ada yang tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Jika benar UU BHP mempunyai cacat ideologis serta mengandung roh kongsi dagang bernuansa kapitalistik, tentu tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Apakah MK tidak akan memihak pemerintah? Seharusnya tidak! Secara empirik, keputusan MK sering menguntungkan pemerintah, tetapi sesekali juga merugikan pemerintah. Menguntungkan pemerintah misalnya dalam kasus memasukkan gaji pendidik ke anggaran pendidikan, sementara merugikan pemerintah misalnya dalam kasus penyegeraan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN oleh pemerintah.
Beberapa kelompok masyarakat menghendaki segera dilakukan uji materi UU BHP, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pun mempersilakan. Adapun Ketua MK Mahfud MD menyatakan siap melakukan uji materi secara profesional.
Ki Supriyoko Pamong Tamansiswa; Mantan Sekretaris Komisi Nasional Pendidikan Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/30/0004209/cacat.ideologis.uu.bhp
Di tengah meredupnya perhatian atas Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kita dientak dengan praktik penerbitan 1.400 ijazah ilegal oleh sebuah program studi di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta (Kompas, 12/1/2009).
Sejauh ini, tidak ada pihak yang mengaitkan penerbitan ijazah ilegal itu dengan isu-isu dalam kontroversi UU BHP.
Namun, jika direnungkan, praktik penerbitan ijazah ilegal menegaskan pentingnya UU BHP sebagai instrumen hukum bagi jaminan standar mutu penyelenggaraan pendidikan.
Praktik penerbitan ijazah palsu menunjukkan, badan standardisasi mutu pendidikan maupun badan akreditasi program-program PT yang ada kini tak berfungsi efektif. Mekanisme pengawasan dan evaluasi periodik oleh badan-badan itu belum menjamin pengguna lulusan PT terlindungi dari praktik akal- akalan penyelenggaraan pendidikan.
Kasus ijazah ilegal ini mungkin puncak fenomena gunung es. Di Yogyakarta, setidaknya tiga PTS terindikasi melakukan praktik itu (Kompas, 13/1/2009). Koordinasi PTS wilayah Yogyakarta telah menghentikan izin penyelenggaraan sebuah program studi karena penerbitan ijazah ilegal (Kompas, 17/1/2009).
Akibat tidak efektifnya badan- badan standardisasi dan akreditasi, kita tidak pernah tahu praktik apa saja selain penerbitan ijazah dan oleh PT mana saja yang termasuk kategori ilegal dan berpotensi merugikan konsumen pendidikan, khususnya pengguna lulusan.
Perlindungan konsumen
Dalam konteks perlindungan konsumen, UU BHP diperlukan sebagai jaminan hukum demi penyelenggaraan pendidikan yang mutunya terstandar. UU BHP menekankan jaminan mutu terstandar melalui prinsip transparansi sebagai bagian akuntabilitas institusi penyelenggara pendidikan.
Masyarakat pengguna lulusan PT dapat ikut menilai layak atau tidaknya sebuah program. Selain itu, persaingan antarinstitusi menjadi terbuka dan diharapkan lebih sportif. Kecurigaan rektor sebuah PT di Jawa Timur atas ketidakadilan penentuan kriteria pemeringkatan PT yang dianggap menguntungkan sebuah PT di Banten tidak perlu terjadi.
Singkatnya, prinsip transparansi UU BHP memberi jaminan pendidikan dengan mutu terstandar dan menciptakan iklim persaingan terbuka.
Ada yang Lain
Meski demikian, tampaknya bukan karena prinsip transparansi itulah kebanyakan penyelenggara PT(S) tidak menolak kehadiran UU BHP.
Sejak UU BHP disetujui DPR, Perguruan Taman Siswa terang- terangan menolak, dibarengi sejumlah LSM dan kalangan mahasiswa. Forum Rektor juga "mengkritisi" agar UU BHP tidak menajamkan dikotomi PTS-PTN. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) nyaris tak terdengar sejak upaya judicial review Pasal 53 UU No 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar pembentukan BHP ditolak Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu.
Jika dicermati, UU BHP menciptakan peluang ekonomi yang menguntungkan penyelenggara PT, khususnya ketentuan bahwa maksimal 1/3 biaya operasional ditanggung masyarakat. Ketentuan ini menguntungkan sebab biaya kuliah yang selama ini ditanggung orangtua mahasiswa secara langsung (di luar pajak yang harus dibayar sebagai warga negara) rata-rata mungkin kurang dari 1/3.
Dalam wawancara dengan bendahara sebuah yayasan penyelenggara PT di Yogyakarta tahun 2002, diperoleh pengakuan, hanya 1/7 biaya operasional PT yang ditanggung orangtua mahasiswa. Selebihnya dibiayai sponsor melalui jaringan yayasan di dalam dan luar negeri.
Artinya, untuk PT yang relatif mapan dan memiliki jaringan kerja sama luas, UU BHP justru payung hukum yang ditunggu- tunggu. Selain membawa deregulasi tata kelola, UU BHP memungkinkan penyelenggara PT menaikkan beban biaya kuliah mahasiswa hingga maksimal 1/3 biaya operasional.
Masalahnya, berapa banyak PT di Indonesia relatif mapan dan memiliki jaringan kerja sama hingga siap menjadi BHP?
Pahit
UU BHP menghadirkan pilihan pahit karena realitas penyelenggara(an) pendidikan kita kini amat beragam. Ada dua solusi.
Pertama, memperpanjang masa transisi hingga tiap penyelenggara pendidikan siap menjadi BHP. Agar penyelenggara tidak berlama-lama menyiapkan diri, perlu ada stimulus berbeda (alih- alih sanksi) bagi lembaga yang telah dan belum menjadi BHP.
Kedua, menciptakan kanal sistem tata kelola pendidikan yang berbeda, BHP dan non-BHP. Artinya, menjadi BHP atau tidak adalah pilihan dengan peluang, tantangan, dan konsekuensi pengembangan masing-masing. Pemerintah hanya perlu mempertegas aturan main.
Pilihan kedua itu amat pahit sebab berpotensi menciptakan segregasi kelas sosial layanan pendidikan. Namun, status opsional BHP paling realistis dan inklusif terhadap fakta keberagaman mutu pendidikan kita. Konsep RUU BHP tahun 1953 juga mengajukan pilihan ini.
Agus Suwignyo Pedagog di FIB UGM
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/30/00045716/uu.bhp.tidak.diperlukan
2 komentar:
PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675
setuju bahwa UU BHP harus ditolak dan diuji material karena banyak sekali dalam UU tersebut kontradiktif dengan UU sebelumnya
juga ada kontradiktif lago dari dala UU itu sendiri
seperti yang terletak pada ketentuan umum tentang pendidikan formal dan yang harus Ber BHP dengan pasal yang ada dalam BHP bahwa BHP murni bekerja hanya pada tingkat SMA ke atas
Posting Komentar