18 September 2008

Tolak RUU BHP

[JAKARTA] Masyarakat harus berani menolak kebijakan pendidikan nasional yang mengarah pada liberalisasi atau privatisasi pendidikan seperti kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Sebab, kebijakan ini mengakibatkan masyarakat menanggung biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau.

Demikian benang merah diskusi bertajuk "RUU BHP Versus Kenaikan Anggaran Pendidikan", di Jakarta, Selasa (16/9). Acara yang digagas Koalisi Pendidikan ini menghadirkan pengamat pendidikan Darmaningtyas dan Jimmy Paat. Diskusi ini juga dihadiri sejumlah lembaga penggiat pendidikan.

Darmaningtyas mengatakan, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) BHP sudah mengalami beberapa kali pergantian. Dia mengungkapkan, pada dasarnya praktik RUU BHP sudah ada, terutama dilakukan di beberapa perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor.

"Substansi RUU BHP adalah pengelolaan penyelenggaraan pendidikan menjadi badan hukum pendidikan. Dampak utama apabila RUU BHP disahkan adalah kenaikan biaya pendidikan yang mesti ditanggung orangtua atau masyarakat," ujarnya.

Dia melanjutkan, BHP akan semakin melemahkan tuntutan masyarakat untuk mendapat sekolah gratis dan melegalkan berbagai praktik pungutan yang sekarang merajalela.

Apabila dikaitkan dengan anggaran pendidikan, katanya, masalahnya bukan pada jumlah atau besarnya dana, tetapi cara pengelolaannya.

"Selama ini, serapan anggaran pendidikan tidak sampai 80 persen. Dari sekian anggaran yang diserap juga banyak yang tidak tepat sasaran. Dan, apabila dicermati, selama ini anggaran pendidikan habis untuk iklan kinerja Depdiknas," katanya.

Dia mengemukakan, dengan kebijakan pendidikan seperti sekarang, pemerintah bisa dikatakan hanya omong kosong terhadap upaya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kompetitif. Sebabnya, warga negara yang mampu mengecap bangku kuliah sejak 1998 tidak naik, tetapi cenderung turun di kisaran 12-13 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun.

Sementara itu, Jimmy Paat mengatakan, melalui BHP sekolah dijadikan sebagai pasar. Masyarakat bisa menjadi pembeli yang tidak bisa membeli, misalnya sekolah-sekolah negara yang dibuat berstandar atau percontohan

"Privatisasi juga berbahaya bagi paham kebangsaan Indonesia. Privatisasi sarat dengan ketidakadilan. Akan banyak anak bangsa yang tersingkir karena faktor ekonomi, bukan inteligensi. Padahal, pendidikan mesti menciptakan ruang yang adil bagi masyarakat," kata Jimmy yang pernah menjadi dosen di Universitas La Rochelle, Prancis.
Dia mengingatkan, negara punya tanggung jawab dalam pendidikan. Menurutnya, penyusunan RUU BHP merupakan upaya untuk melegalkan pemerintah melepaskan tanggung jawab terhadap pendidikan.

Kewajiban Pemerintah

Sementara itu, anggota tim perumus RUU BHP Sekretaris Majelis Pendidikan Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas, Prof Dr Johannes Gunawan, mengatakan, pemerintah harus tetap memenuhi kewajibannya untuk mendanai setiap perguruan tinggi negeri meski tidak ada aturan tertulisnya dalam RUU BHP.

"Aturan mengenai itu diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Ada sanksinya juga kalau tidak memenuhi kewajiban, namun tidak sampai pidana," kata Johannes ketika dihubungi SP, di Bandung, Selasa (16/9).

Dia menjelaskan, RUU BHP mengatur setiap perguruan tinggi hanya boleh membebankan 30 persen dari total biaya operasionalnya kepada mahasiswa. Sisanya, sambung Johannes, didapat dari negara, BHP yang bersangkutan, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Menurut dia, setiap perguruan tinggi diberi waktu minimal enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan pola pemberian dana dari pemerintah sejak RUU BHP disahkan. Setidaknya selama enam tahun, PTN tetap mendapatkan bantuan dari anggaran pemerintah. Dana kompetensi baru diberikan pada tahun ketujuh untuk PTN yang baik kompetensi atau kinerjanya. [153/W-12]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/17/index.html

Tidak ada komentar: