06 Agustus 2008

Kurikulum Matikan Daya Kritis dan Kreativitas Siswa

[JAKARTA] Ketiadaan konsep masa depan yang jelas menjadikan kualitas pendidikan Indonesia terus mengalami penurunan. Pergantian kurikulum yang tidak saling berkaitan, menunjukkan tidak adanya kesinambungan usaha dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

"Tidak ada benang merah kebijakan sejak menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara sampai sekarang," ujar pakar pendidikan Winarno Surakhmad, kepada SP, di Jakarta, Selasa (5/8).

Winarno mengemukakan, pola pendidikan nasional tidak disusun oleh kaum profesional tetapi oleh politisi. Hal itu yang membuat visi pendidikan menjadi tidak jelas dan tidak ada kontinuitas sistem guna mewujudkannya.

Perubahan kurikulum, katanya, terbukti tidak dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia karena justru mematikan daya kritis dan kreativitas siswa. "Percuma kurikulum bagus, tapi hanya diukur oleh ujian nasional," katanya.

Akibatnya, pendidikan justru kehilangan esensinya karena tidak dapat memberi makna bagi kehidupan siswa. "Perubahan kurikulum secara terus menerus juga berdampak negatif bagi para guru. Kurikulum yang terus berganti membuat para guru sering kebingungan dalam mengaplikasikannya," tutur Winarno.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menilai, beban kurikulum yang terlalu berat dan sedikitnya ruang bagi tumbuhnya kreativitas mengakibatkan sekolah menjadi "penjara" bagi peserta didik.

"Sistem pendidikan kita memperlakukan anak seperti robot. Anak ke sekolah harus membawa koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah masih harus mengerjakan PR," ucapnya.

Dia mengungkapkan, dengan beban sekolah yang demikian padat, lantas kapan anak-anak memiliki waktu untuk bermain. Padahal, katanya, bermain merupakan salah satu unsur penting dalam tumbuh kembang fisik, intelektual, dan mental anak.

Sistem pendidikan yang kaku dan mengekang seperti itu, katanya, menganggap otak anak-anak kosong, sehingga harus dijejali dengan berbagai hafalan materi pelajaran.

Karena sekolah sudah seperti penjara bagi peserta didik, lanjutnya, maka ketika guru mengumumkan siswa bisa pulang lebih awal karena guru akan rapat, reaksi spontan siswa adalah kegirangan. "Mereka bergembira karena bisa lepas sejenak dari 'penjara'," tuturnya.

Mengidap Fobia

Menurut dia, karena beban di sekolah sangat berat, tidak mengherankan bila sebagian anak pada saat ini ada yang mengidap fobia sekolah (school phobia), yang manifestasinya bisa bermacam-macam, misalnya sering merasa sakit, tidak enak badan, dan lainnya.

Seto mengingatkan, kurikulum pendidikan dasar terlalu padat, sehingga kurang memberi ruang ekspresi dan kreativitas bagi peserta didik. Padahal, pendidikan nasional bertujuan mengembangkan segenap potensi peserta didik, bukan ingin menciptakan robot.

Menurut dia, kreativitas dengan kedisiplinan seseorang bisa berjalan beriringan, karena itu keliru bila kebebasan dan kreativitas identik dengan ketidakdisiplinan.

Diingatkan, masih banyak sekolah yang diduga melanggar hak anak, bahkan tidak hanya sekolah tapi juga orangtua. "Beban kurikulum yang berat bisa dianggap melanggar hak anak. Masyarakat seharusnya proaktif memantau hal itu," katanya. [W-12]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/05/index.html

Tidak ada komentar: