01 Agustus 2008

Kuliah Sabtu-Minggu Tidak Bermutu?

Hadi Satyagraha

Jadi, hubungan kausalitas kuliah Sabtu-Minggu dan mutu buruk belum dapat dipastikan secara "ilmiah".

Beberapa waktu yang lalu, Sekolah Tinggi Manajemen PPM menyelenggarakan Indonesian Business Case Congress yang dihadiri dosen dari berbagai perguruan tinggi dan praktisi bisnis dari berbagai pelosok Tanah Air. Penulis mendapat tugas menyampaikan case analysis dalam hubungannya dengan pendidikan manajer.

Selain pertanyaan yang ber-kaitan langsung dengan case analysis, ada peserta yang bertanya mengenai peraturan yang "mengharamkan' perkuliahan Sabtu-Minggu. Peraturan dimaksud adalah Surat Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti tanggal 27 Februari 2007 yang menyatakan, pertama Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu melanggar norma, kaidah, dan kepatutan akademik. Kedua, kualitas perkuliahan dan lulusannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan dan pembinaan jenjang karier bagi pegawai negeri.

Alas hukum surat tersebut adalah Surat Dirjen Dikti tanggal 21 Oktober 1997 yang melarang penyelenggaraan Kelas Jauh. Namun, surat tersebut sedikit pun tidak menyinggung kelas Sabtu-Minggu. Terlepas dari legalitas Surat Direktur Kelembagaan yang tidak sejalan dengan Surat Dirjen Dikti, pernyataan Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti tersebut mengandung kelemahan mendasar dan tidak didukung data ilmiah.

Norma

Surat Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti tidak menyebutkan norma, kaidah, dan kepatutan akademik mana saja yang dilanggar oleh perkuliahan Sabtu-Minggu. Apakah yang dimaksud jumlah SKS (satuan kredit semester), integritas proses penerimaan mahasiswa, integritas dan mutu dosen, integritas proses perkuliahan, mutu bahan ajar dan sarana pendukung, dan integritas proses evaluasi mahasiswa?

Pengalaman penulis di beberapa program MM yang menyelenggarakan perkuliahan Sabtu-Minggu, seperti Universitas Airlangga, Binus, dan IPMI, menunjukkan bahwa semua proses dan unsur perkuliahan dipenuhi secara maksimal. Dalam penerimaan mahasiswa diberlakukan serangkaian ujian masuk yang sama, SKS yang melebihi persyaratan minimum pemerintah, integritas proses perkuliahan dan ujian yang terjaga baik, serta dosen yang memenuhi syarat mengajar dilihat dari pengetahuan akademik dan kemampuan mengajar.

Secara empirik, belum ada penelitian yang menyimpulkan bahwa kuliah Sabtu-Minggu menghasilkan lulusan yang mutunya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai regulator masyarakat akademik yang seharusnya mengedepankan unsur keilmiahan, seharusnya kesimpulan Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti bahwa "Kuliah Sabtu-Minggu menghasilkan lulusan tidak bermutu" baru dibuat bila tidak ditolak oleh data empirik.

Jadi, hubungan kausalitas kuliah Sabtu-Minggu dan mutu buruk belum dapat dipastikan secara "ilmiah". Dengan demikian, Surat Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti tentang Kuliah Sabtu-Minggu tidak dapat dipertahankan (indefensible). Kalaupun dibuat analisis empirik mengenai peran berbagai variabel penentu mutu perkuliahan dan lulusan, maka variabel waktu perkuliahan, Sabtu-Minggu versus Senin-Jumat, sangat mungkin secara statistik tidak signifikan pengaruhnya terhadap mutu.

Tentu ada perguruan tinggi yang mutu perkuliahan Sabtu-Minggu-nya rendah. Ada saja avonturir pendidikan yang berperilaku sebagai degree mill, asal bayar uang kuliah, kelulus- an dan ijazah pasti di tangan. Biasanya, perguruan tinggi seperti inilah yang menjadi sasaran para pencari gelar untuk kenaikan pangkat atau legitimasi status.

Perguruan tinggi seperti ini lah yang disinyalir menjadi sumber ijazah bagi (sebagian) pegawai negeri untuk kenaikan pangkat mereka. Sebaliknya, juga tidak sedikit perguruan tinggi yang mutu perkuliahan hari Senin-Jumat-nya juga rendah.

Berbagai anecdotal evidence yang menunjukkan bahwa kuliah Sabtu-Minggu dapat dipertanggungjawabkan mutunya. Kuliah akhir pekan (Jumat-Sabtu atau Sabtu-Minggu) bukanlah fenomena baru. Dalam pendidikan manajer, kuliah akhir pekan dipelopori University of Chicago yang meluncurkan program Executive MBA pada 1943. Perkuliahan program MBA Eksekutif ini diselenggarakan setiap akhir pekan. Program akhir pekan ini dirancang untuk memberikan kesempatan bagi para manajer yang ingin meningkatkan kompetensinya, namun tidak dapat melakukan perkuliahan pada hari-hari biasa (Senin-Jumat) karena kesibukan pekerjaan.

Langkah Chicago kemudian diikuti oleh sejumlah sekolah bisnis ternama lainnya di Amerika Utara, seperti Columbia, Duke, Northwestern, Western Ontario, dan Wharton. Program MBA Eksekutif sekolah-sekolah tersebut termasuk dalam World's Top 25 Best Executive MBA seperti dilaporkan Business Week.

Dunia Usaha

Berbagai program MBA akhir pekan tersebut disambut baik oleh dunia usaha yang melihat manfaatnya bagi perusahaan mereka. Banyak perusahaan yang memberikan beasiswa (scholarship) kepada para manajernya untuk mengambil program MBA akhir pekan. Beberapa tahun terakhir sekolah bisnis Chicago bahkan membuka kampus di Singapura yang khusus menawarkan program MBA akhir pekan. Ilham Habibie (putra mantan Presiden BJ Habibie) adalah seorang dari puluhan orang Indonesia yang telah/tengah mengikuti program Sabtu-Minggu MBA Chicago di Singapura.

Di negara kita sendiri, dari berbagai program MM yang menyelenggarakan perkuliahan akhir pekan (Sabtu-Minggu), penulis tidak melihat perbedaan mutu dibanding perkuliahan Senin-Jumat. Program-program Sabtu-Minggu tersebut memenuhi persyaratan minimum SKS, kehadiran, integritas perkuliahan dan ujian, dan menggunakan semua sarana pendukung yang digunakan perkuliahan Senin-Jumat.

Bukti pendukung lain bahwa perkuliahan Sabtu-Minggu bermutu baik adalah perjalanan karier para lulusannya. Banyak dari lulusan program Sabtu-Minggu yang meningkat kariernya di perusahaan yang mendasarkan kenaikan pangkat secara merit di berbagai perusahaan nasional (BUMN dan swasta) serta multinasional.

Penulis adalah penasihat akademik Program MM Universitas Airlangga dan Unika Widya Mandala

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/01/index.html

Tidak ada komentar: