
Ahmad Rizali
Beberapa saat lagi akan diselenggarakan Ujian Akhir Nasional Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (UAN-SD/MI), sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 21-23 dan PP 09/06. Ujian nasional bernilai ratusan miliar rupiah itu melengkapi UAN SMP/MTs dan UAN SMA/SMK/MA yang baru selesai dilaksanakan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan menteri (Permen) yang mendasari UAN sebetulnya tidak sinkron dengan amanat UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan kepada guru untuk menilai sendiri kinerja muridnya, sehingga merekalah yang paling berhak menyatakan lulus atau tidak anak didik. Lebih dari itu, banyak warga yang menolak UAN karena bahan uji UAN diterapkan sama kepada semua SD/MI yang secara faktual tidak setara standar pelayanan minimalnya (SPM).
Sekolah dengan jumlah dan mutu guru yang kurang serta kelas yang "compang-camping" disetarakan dengan koleganya yang memiliki jumlah guru yang cukup dan bermutu, kelas, serta prasarana dan sarana yang melimpah. Akan tetapi, apa boleh buat, UAN adalah keputusan politik dari wakil rakyat, karena anggaran UAN sebesar miliaran rupiah yang diusulkan pemerintah harus mendapat persetujuan dari DPR.
Meskipun demikian, sesungguhnya tidak ada bukti bahwa UAN akan mampu mendongkrak mutu pendidikan dalam jangka panjang, sebagaimana digaungkan oleh Depdiknas, karena korelasi UAN dengan peningkatan mutu baru berupa hipotesis. Di Finlandia, tanpa UAN pendidikan dasar dan menengah tetap yang terbaik di dunia. Namun, UAN juga menghasilkan pendidikan yang sangat baik seperti di Selandia Baru dan Singapura.
Harapan bahwa dengan UAN mutu persekolahan di Indonesia menjadi lebih baik atau kurang lebih sama dengan di kedua negara yang berlatar budaya dan geografis berbeda tersebut, belum didukung studi yang memadai, hanya asumsi akal sehat (common sense) dan hanya paling mendekati sebuah hipotesis yang perlu pembuktian.
Dampak UAN
Ujian Nasional mendorong sektor ekonomi riil berkembang, bisnis percetakan berjalan makin cepat, industri buku soal ujian, fotokopi, bisnis bimbingan belajar (bimbel) laku keras, guru bimbel makin makmur, dan semua sektor bisnis terkait akan menggeliat, termasuk produksi inovatif penggaris mika berlubang untuk menghitamkan lembar jawaban terkomputerisasi dengan pensil 2B.
Tetapi, UAN SD juga menyebabkan stres massal, mulai pejabat tinggi hingga peserta ujian. Namun, penderita stres paling berat biasanya orangtua murid yang mengharapkan sang anak lulus UN dengan nilai cukup untuk memasuki SMP favorit.
Penderita stres kedua adalah guru, karena sejak awal sudah memperoleh instruksi berantai dari bupati kepada kepala dinas pendidikan, kepada pengawas, kepada kepala sekolah, dan berakhir di pangkuan guru agar persentase kelulusan tinggi. Dari sinilah kinerja sekolah dinilai. Jika persentase kelulusan dan rata-rata nilai tinggi maka sekolah akan disayangi.
Sikap guru bermacam-macam, tetapi karena umumnya guru adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang patuh dan loyal dengan instruksi pimpinan, maka pihak sekolah akan membentuk Tim Sukses UAN yang bekerja dengan anggaran tambahan dari Komite Sekolah.
Pada 2007 (Depdiknas, 2008) sebanyak 452.000 tamatan SD/MI tidak mampu terus sekolah. UAN SD/MI diduga akan menambah jumlah ini, karena akan memicu turunnya angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) SMP/MTs yang masing-masing 92,52 persen dan 94,9 persen. Itu berakhir dengan turunnya Indeks Pembangunan Manusia, karena jika sebelumnya jumlah murid SD/MI yang meneruskan pendidikan ke SMP/MTs meninggi maka ketidaklulusan UAN akan menghambat akses murid untuk memasuki bangku SMP/MTs dan otomatis angka APK akan menurun.
Dengan turunnya APK, program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun akan terhambat, karena jika baru 6 tahun sudah dicegat dengan ujian dan banyak yang rontok maka harapan murid meneruskan ke tahun ke-7 hingga tuntas tahun ke-9 adalah angan-angan belaka. Kebijakan pendidikan kita membingungkan. Pemerintah menargetkan Wajar Dikdas 9 Tahun, namun dihambat sendiri dengan sesuatu yang menyulitkan, UN.
Tampaknya Depdiknas sudah punya cara untuk mengurangi dampak ini dengan menyerahkan pagu kelulusan kepada Dinas Kabupaten/Kota masing-masing, sehingga tampaknya lulus UAN SD di Depok (Jawa Barat) akan berbeda dengan di Makassar (Sulsel). Jadi apa bedanya UAN dengan UAS?
Menawar UAN
Dengan segala dampaknya, UAN SD/MI harus berlangsung, meskipun semestinya warga negara sebagai pemilik anak didik diperbolehkan menawar waktu pelaksanaan UAN SD/MI secara bertahap, sebagaimana pemerintah menawar anggaran pendidikan yang 20 persen APBN dipenuhi secara bertahap.
Tahap pertama, UAN SD/MI hanya dipakai sebagai alat pemetaan mutu sekolah di seluruh Indonesia dan dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan. Dengan cara ini anggaran UAK akan lebih murah, karena pakar penelitian dan statistik akan dengan mudah menentukan sekolah yang akan dievaluasi dengan mempertimbangkan semua kondisi nyata di Indonesia, mulai daerah kota, desa terpencil dan tertinggal, kaya dan miskin. Hasil evaluasi dipergunakan untuk memperbaiki mutu SD/MI, mulai guru, metode, hingga prasarana dan sarananya.
Tahap berikutnya, jika kondisi SD/MI di seluruh Nusantara sudah tidak berbeda barulah mungkin pada tahun ke-10 UAN dilaksanakan serempak dan ditetapkan sebagai alat kelulusan. Tapi, UAN SD/MI sudah di ambang pintu, seluruh warga negara yang putra-putrinya menjadi calon peserta ujian sudah tergopoh-gopoh menyiapkan mereka untuk try out, bimbel UAN, membeli buku soal, dan segala kehebohan. Bahkan, tampaknya semua kelas kursus yang tidak terkait dengan target kelulusan UAN akan kosong. Semua peserta kursus rela absen demi menyongsong UAN SD/MI. Oleh sebab itu, tidak ada yang bisa kita lakukan selain berucap, Selamat Datang UAN SD/MI Tahun 2008.
Penulis adalah Ketua Dewan Pembina The Centre for The Betterment of Education (CBE)-Jakarta dan Ketua Klub Gu ru Jabodetabek
IPM dan Nasib Pendidik

Ali Khomsan
eputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan 20 persen adalah sudah termasuk gaji guru membuat nasib pendidikan anak-anak kita bak telur di ujung tanduk. Rasanya kita tidak pernah belajar pada negara-negara tetangga yang menempatkan pendidikan sebagai pilar menuju sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Jadi, pantas kalau indeks pembangunan manusia (IPM) bangsa kita terus saja terpuruk. Stagnansi peringkat kualitas manusia Indonesia yang masih di atas urutan ke-100 menunjukkan tidak ada kemajuan berarti dalam pembangunan SDM.
IPM adalah cerminan keberhasilan di bidang pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan. Kegagalan dalam memperhatikan ketiga bidang tersebut akan berdampak serius terhadap nasib bangsa. Kita akan menjadi bangsa yang tertinggal dibandingkan bangsa-bangsa lain. Pendidikan adalah sarana menuju ke kesejahteraan yang lebih baik. Pendidikan menjadikan rakyat melek huruf, kreatif, dan kemudian mampu bersaing dengan tenaga-tenaga profesional dari mancanegara. Sistem pendidikan yang menutup kesempatan bagi orang tak punya untuk bersekolah hanya akan melahirkan bangsa kuli. Di level pendidikan tinggi, konon Universitas Gadjah Mada (UGM) hanya akan menampung mahasiswa sejumlah 18 persen melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Jalur SPMB adalah jalur rakyat jelata. Jadi sisanya yang 82 persen diperuntukkan mahasiswa kaya. Ironis.
Di lapangan, uji coba sistem pendidikan yang aneh-aneh terus berjalan. Dari tingkat SD sampai SMA diselenggarakan program akselerasi yang menyingkat lama pendidikan menjadi satu tahun lebih cepat. Kecerdasan sebagian anak-anak kita mungkin hebat, tetapi kematangan sosialnya belum tentu. Ada lagi program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang memungut uang bangku dan uang SPP lebih mahal. Program SBI kelasnya bermesin pendingin udara dan gurunya sebelum mengajar mengucapkan good morning. Setelah itu, pengajaran di kelas berlangsung seperti kelas-kelas lainnya. Jadi, taraf internasional hanya dicerminkan dari ucapan selamat pagi yang diganti dengan good morning.
Adanya kelas akselerasi dan SBI tentu akan mengurangi jatah murid yang diterima di suatu sekolah. Ini berarti sekolah-sekolah tersebut mengurangi peluang anak dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikannya karena hanya mereka yang mampu membayar SPP lebih mahal yang dapat diterima di kelas-kelas tersebut. Saat ini, kita sibuk memperdebatkan perlu atau tidaknya ujian nasional di berbagai tingkatan. Sementara itu, banyak bangunan-bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai tidak diperhatikan. Murid-murid belajar dengan penuh rasa was-was, khawatir kalau sekolahnya roboh.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan membangun SD Inpres pada sekitar tahun 1970-an bertujuan untuk mendekatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Saat ini kita menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu kebijakan pendidikan dasar sembilan tahun gratis. Pada kenyataannya, masih ada saja SD negeri yang memungut bayaran dengan berbagai dalih. Jadi kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Dua Faktor
Di bidang perbukuan, kebijakan pemerintah dapat dinilai belum signifikan untuk memperbaiki kinerja pendidikan. Pada awalnya dikatakan bahwa buku-buku teks dapat dipakai selama lima tahun. Kebijakan ini belum sempat berjalan lancar, sekarang pemerintah membuat kebijakan lain, yaitu membeli hak cipta buku ajar dan nanti diharapkan siswa dapat mengunduh gratis di internet. Padahal, masih banyak rakyat yang buta internet.
Kalau kita mau sedikit jeli, maka para birokrat pendidikan sebaiknya mencermati bahwa (sebagian) buku ajar yang dicetak Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan dibagikan gratis di sekolah-sekolah umumnya hanya menjadi hiasan perpustakaan sekolah. Tidak pernah dipakai oleh siswa karena guru menetapkan buku ajar lain yang diterbitkan oleh penerbit non- Depdiknas.
Keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan dilandasi oleh dua faktor penting, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras menyangkut sarana prasarana seperti gedung sekolah dan segala fasilitas di dalamnya. Perangkat lunak adalah kurikulum dan kualitas guru. Kritik tajam yang dialamatkan pada kurikulum sekolah di Indonesia adalah siswa harus mempelajari mata pelajaran yang jumlahnya terlalu banyak dengan kedalaman yang mungkin tidak sesuai untuk tingkatan umurnya. Kita berpretensi untuk mencetak anak cerdas, tapi yang dihasilkan adalah siswa stres.
Kurikulum yang disiapkan oleh sekolah ternyata juga tidak menjadi jaminan bagi siswa untuk meraih jenjang pendidikan tinggi. Itulah sebabnya, bisnis bimbingan tes manjamur di mana-mana. Siswa hanya di-drill dengan latihan-latihan soal untuk menghadapi tes masuk perguruan tinggi. Apakah ini cermin kegagalan sekolah?
Kualitas guru kini sedang diupayakan untuk dapat ditingkatkan. Pemerintah secara terbatas menyediakan beasiswa bagi guru yang mau melanjutkan S1 dengan besaran Rp 2 juta per tahun. Pertanyaannya, apakah program S1 dapat diselesaikan dengan hanya Rp 2 juta per tahun? Nasib guru tampaknya lebih buruk daripada dosen perguruan tinggi. Dosen Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dapat melanjutkan pendidikan S2 atau S3 dengan beasiswa hampir Rp 1 juta per bulan.
Keinginan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru perlu diapresiasi. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya ditetapkan bahwa sertifikasi adalah metode untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan guru dan sekaligus mendorong peningkatan kualitas pendidik. Guru-guru kini banyak yang berburu sertifikat (seminar, lokakarya, pelatihan) untuk memenuhi syarat sertifikasi. Isu realisasi sertifikasi pendidik sudah sangat lama, namun pada kenyataannya hingga kini mereka masih harus menunggu. Sebagian guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi diharuskan segera membuka rekening bank, bahkan guru besar di perguruan tinggi sejak Desember 2007 juga diharuskan menyerahkan nomor rekening bank. Ditunggu sebulan, dua bulan dan sampai kini rekening tetap kosong belum ada tambahan seperti apa yang dijanjikan. Menjadi pendidik di Indonesia memang harus sabar.
Tingkat kesejahteraan yang rendah di kalangan pendidik, membuat mereka risau dan selalu berpikir apakah mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi. Ironis, kalau setiap hari mereka mendidik anak bangsa ini supaya cerdas tetapi mereka tidak mempunyai jaminan apakah anaknya sendiri bisa bersekolah dengan baik.
Kita menghargai kinerja pendidik (guru, dosen) dengan gaji sama seperti PNS lainnya. Padahal, pendidik adalah yang sangat bertanggung jawab terhadap mutu SDM. Mengabaikan nasib pendidik akan berdampak buruk terhadap IPM.
Penulis adalah Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor
Bom Waktu Penganggur Sarjana
Oleh Misriadi
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal mengungkapkan, setiap tahun lebih dari 1 juta lulusan perguruan tinggi tidak terserap dunia kerja alias menganggur. Diperkirakan jumlah mereka pada 2007 meningkat lebih tinggi, karena data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Februari 2007 sudah menunjukkan angka 740.206 orang. Jumlah terbesar adalah dari lulusan universitas.
Setiap tahun para lulusan perguruan tinggi ini memasuki dunia kerja. Harapan mereka untuk segera memperoleh pekerjaan yang layak selalu dibalut kecemasan jika ternyata dirinya akan semakin menambah panjangnya daftar "orang nganggur".
Optimisme memang harus dibangun. Akan tetapi realitas yang ada pun tak bisa disembunyikan. Sederet problem ketenagakerjaan yang menjadi penyakit lama negeri ini belum juga tampak ada tanda-tanda menuju kondisi yang lebih cerah dan menjanjikan. Angka pengangguran di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, 54 persen dari angkatan kerja, yakni sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 60 persen (sekitar 30 juta jiwa) terkategori pengangguran terdidik, termasuk sarjana.
Kenapa bisa begitu banyak pengangguran? Sebenarnya banyaknya pengangguran ini paling tidak berpangkal pada tiga hal. Pertama, banyak angkatan kerja baru yang setiap tahun mengalir, namun tidak tertampung dalam dunia kerja. Keadaan demikian yang terus-menerus telah menghasilkan tumpukan pengangguran. Ditambah lagi dengan persoalan kedua, yaitu adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi mereka yang memang sebelumnya bekerja. Ketiga, kebanyakan orang tidak dapat berusaha mandiri akibat tidak memiliki modal, lahan maupun keahlian, kesempatan.
Persoalan pertama dimungkinkan karena tidak seimbangnya penawaran tenaga kerja dengan kebutuhan. Baik karena sempitnya lapangan kerja ataupun tidak sesuainya keahlian yang ditawarkan oleh pencari kerja dengan keahlian yang diperlukan dunia kerja. Tentu hal ini merupakan dampak dari kebijakan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan, sehingga yang tumbuh bukanlah perkembangan ekonomi rakyat, melainkan konglomerasi oleh segelintir orang.
Non-Eksakta
Selain itu, dunia pendidikan yang tidak menukik pada persoalan yang praktis yang diperlukan dalam kehidupan. Apalagi pendidikan yang serba tanggung. Memahami kerangka teoretis setengah-setengah. Ujungnya ke sini tidak ke sana pun tidak. Muara semua itu adalah pengangguran.
Para sarjana yang menganggur itu kebanyakan adalah lulusan program studi non-eksakta (ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan politik). Menurut data, dari 2,2 juta mahasiswa Indonesia (1,6 juta di PTS, sisanya di PTN), 78 persen di antaranya menempuh kuliah di bidang studi pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, sedang 12 persen di bidang teknologi dan hanya 10 persen yang menempuh kuliah di bidang sains.
Menurut beberapa pakar, program studi yang ditawarkan berkaitan dengan sains dan teknologi harus jauh lebih besar dibanding dengan program studi pendidikan dan sosial. Karena, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, yang dibutuhkan adalah pengembangan ilmu-ilmu eksakta, terutama bidang-bidang yang mampu menjawab tantangan industrialisasi.
Tak bisa dimungkiri bahwa maju mundurnya ekonomi suatu negara tidak lepas dari seberapa jauh negara tersebut melakukan pengembangan SDM. Jepang yang 50 tahun lalu hancur akibat kalah perang, kini menjadi adikuasa ekonomi. Begitu juga dengan Malaysia yang pada thun 1970-an masih mengimpor guru dari Indonesia, kini memiliki gross national product (GNP) 4 kali lipat Indonesia.
Berbicara tentang SDM, apalagi dikaitkan dengan tenaga kerja terdidik, menjadi tantangan nasional bagi dunia pendidikan kita. Sejak awal 90-an sebenarnya telah ada kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang secara langsung atau tidak langsung berupaya meningkatkan penerimaan tamatan perguruan tinggi oleh pengguna tenaga kerja (industri), yaitu adanya paradigma baru perguruan tinggi tentang otonomi, akuntabilitas, akreditasi, evaluasi dan mutu.
Kebutuhan
Jika pemahaman makna mutu adalah memenuhi kebutuhan, dan harapan, serta kepuasan pelanggan, maka setiap perguruan tinggi seharusnya selalu memperhatikan kebutuhan pelanggan. Saat ini Ditjen Dikti melakukan studi yang menyangkut employability tamatan perguruan tinggi.
Selama dekade 80-an, ada suatu elemen penting dalam pendidikan nasional yang dianggap penting pada ekonomi modern yang dinamis, terutama karena munculnya berbagai usaha kecil yang diyakini menjadi sumber utama bagi peluang pekerjaan, yaitu gagasan pendidikan kewirausahaan (entrepreunership). Masalahnya kemudian bukan terletak pada pertimbangan tingkat pendidikan mana harus diajarkan pendidikan kewirausahaan ini, tetapi lebih pada apa dan kapan diajarkan serta bagaimana mengajarkannya.
Yang lebih penting lagi adalah untuk dapat menjamin, memberikan suasana dan iklim yang mendukung pengembangan kewirausahaan sebagai salah satu mata rantai perekonomian ini adalah bagaimana mengupayakan adanya kemauan baik pemerintah/negara dalam menata kembali sistem perekonomiannya dengan menyadari bahwa sistem ekonomi Indonesia yang cukup kapitalistik ini telah melahirkan banyak kesenjangan dan ketidakadilan.
Penulis adalah Peneliti di Lembaga Studi HARMONI Bogor
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/09/index.html

Tidak ada komentar:
Posting Komentar