17 Februari 2008

Transparansi Syarat Kenaikan Anggaran

Jakarta, Kompas - Komitmen pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan dikhawatirkan tak akan berpengaruh pada peningkatan mutu apabila tidak ada pengawasan dan transparansi pengelolaan keuangan di tingkat sekolah.
Praktik pengelolaan keuangan sekolah yang tidak tertib dan tidak transparan diungkapkan sejumlah guru, orangtua murid, dan aktivis pendidikan dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesian Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Kamis (12/10).
Hadir sebagai pembicara Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal dan Teguh Himawan selaku Koordinator Aliansi Orangtua Peduli Transparansi Dana Pendidikan.
Teguh menuturkan, meskipun pemerintah telah memperbesar anggaran yang diterima langsung sekolah, dana yang dihimpun dari orangtua murid tetap saja meningkat dan hasilnya hampir tidak ada. Beberapa SD di Jakarta, kata Teguh, menerima pemasukan dari bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional dari pemerintah daerah, orangtua murid, dan lain-lain lebih dari Rp 125.000 per anak per bulan. Dana itu lebih besar daripada standar yang dipakai Depdiknas, yakni Rp 125.000 per siswa per bulan. Dari dana itu 85 persen untuk guru dan kepala sekolah, 13 persen biaya operasional, dan hanya dua persen yang langsung untuk kebutuhan murid.
Menurut Teguh, pengelolaan keuangan yang lemah itu juga terjadi di sejumlah SD negeri papan atas di DKI Jakarta.
"Masalah ini menjadi bom waktu ketika orangtua murid makin kritis. Kami seperti diadu domba. Di satu pihak para orangtua disuruh mengawasi keuangan sekolah, tetapi kepala sekolah tidak terbuka dan tidak memiliki keterampilan teknis mengelola keuangan sekolah," ungkap Teguh.
Agus, seorang guru di Tangerang, mengemukakan bahwa selama ini guru tidak pernah diajak dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) maupun dalam mengawasi pengelolaan keuangan sekolah. Guru tinggal dapat jatah. Menurut Agus, sangat sulit bagi guru mengawasi keuangan sekolah karena ia bekerja di sekolah tersebut.
Teguh juga mengungkapkan ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan sekolah di sebuah SD favorit di Jakarta Timur. Dana BOS dari pusat maupun bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI tidak pernah sampai ke orangtua murid. Anggaran sekolah yang mencapai Rp 2,9 miliar tidak pernah ada pelaporan ke orangtua murid. Kasus ini sempat dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polda Metro Jaya, dan Bawasda, namun sejauh ini tidak membuahkan hasil.
Ny Dani, orangtua murid di sebuah SD swasta di Jakarta Timur, juga mengungkapkan kejanggalan dalam pengelolaan dana di sekolah anaknya. Anggaran sekolah, menurut Dani, tidak bisa diakses oleh orangtua murid. Padahal, dana yang diambil dari orangtua murid mencapai Rp 8 miliar per tahun, sedangkan gaji guru rata-rata di bawah Rp 1 juta per bulan.
Fasli Jalal berjanji akan membantu mengatasi permasalahan tersebut, bila perlu dengan meminta Inspektorat Jenderal Depdiknas untuk turun langsung.
Akan tetapi, Fasli juga mengemukakan kesulitan yang dihadapi pemerintah pusat dalam penindakan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran karena wewenang untuk memberikan sanksi kepada guru atau kepala sekolah sepenuhnya berada di daerah. (wis)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/14/humaniora/3025135.htm

Tidak ada komentar: